Blarak Kelapa di Rumah Tua

Oleh :
Laelatul Qomariyah
Guru Bahasa Indonesia Penulis Opini dan Puisi

Sekilas memang tak tampak menarik di rumah yang ku tinggali saat ini. Rumah tua peninggalan kakek dan nenekku yang sudah meninggal empat bulan lalu. Sebagai peninggalannya, kakek dan nenek mewariskannya pada ibuku. Semula aku tinggal di kota ikut bersama ayahku yang merantau di Surabaya. Tapi sama saja kehidupanku di kota tak menjamin. Ayahku hanya seorang penjual pernak pernik di objek wisata, yang tentu banyak pesaingnya.

Bahkan pernah suatu ketika, saat libur panjang sekolah aku ikut berdagang dengan ayahku. Banyak pembeli tapi lebih banyak lagi yang menawar padahal ayahku tidak membedakan atau memanfaatkan keuntungan saat hari besar seperti pedagang lain. Tetapi, agar uang ada dalam genggaman terpaksa ayahku mengiyakan barang dagangnya ditawar dengan harga miring. Jika tidak, pembeli akan kabur dan barang dagangan tak ada yang laku terjual. Tak bisa yang dapat kubantu, cukup hanya dengan rajin beribadah dan giat belajar yang selalu dipesankan oleh ayah dan ibuku.

Tetapi, ayah dan ibuku tidak pernah mengeluh atas kondisi yang terjadi dalam hidupnya. Walau bagaimanapun semua yang ada di dunia ini hanya titipan dan mutlak milik Tuhan semata. Untuk membantu ayah, setiap hari ibuku bekerja sebagai rewang di sebuah warung makan. Sedikit dapat meringankan kebutuhan rumah tangga seperti membeli lauk pauk dan kebutuhan hariannya. Hingga suatu hari, ayahku memutuskan untuk membiarkan aku dan ibuku untuk pulang ke desa saja. Guna menempati rumah peninggalan mertuanya yang sudah sering diincar para makelar tanah.

Entah apa yang dipikirkan makelar tanah itu, sebelum nenek dan kakekku meninggalpun sudah bernegosiasi masalah harga. Menurutku, bahkan sama saja mereka seperti sedang menunggu kematian dari kakek nenekku. Rumah kakekku memang cukup besar dengan halaman samping dan depan yang lumayan luas. Dipenuhi dengan beberapa pohon kelapa yang mengisi setiap sudut dan barisan halaman. Walaupun sudah diwarisi, ayah dan ibuku tidak membiarkan rumah ini dijual. Biar Bagaimanapun rumah peninggalan orang tua akan selalu nyaman dan terasa hangat untuk ditinggali. Itu juga merupakan wasiat dari kakekku yang mengatakan, bagaimanapun kondisi rumahnya jangan pernah tergiur dengan uang.

Uang sudah tentu akan habis tapi kenangan dari orang tua walaupun sudah tiada akan selalu menjaga. Entah nanti rumah yang kami tempati dirombak atau direnovasi asal jangan pernah berpikir untuk menjualnya. Memanglah rumah ini tidak pernah direnovasi sejak rumah ini dibangun, cukup tua tetapi masih terlihat kokoh. Bagaimana tidak, orang tua zaman dahulu membangun rumah dengan bahan yang berkualitas tinggi dan belum tercampur material palsu apapun. Kakek dan nenekku sudah ada saat zaman penjajahan kolonial Belanda. Sehingga tahu betul bahan bangunan yang kokoh untuk didirikan sebuah rumah. Bangunan Belanda terkenal akan keawetannya, salah satunya penggunaan semen merah dan batu gamping yang kerap di campur sebagai bahan baku utamanya.

Rumah ini tidak memiliki perabotan rumah tangga yang berharga, bahkan barang sekelas kompor minyak pun di rumah ini tak punya. Menurutku penghasilan yang didapatkan dari ayahku cukup jika dibelikan sebuah kompor, entah mengapa ibu tetap memilih blarak kelapa sebagai bahan bakar alternatif sehari-hari. Hingga setiap kali ibuku memasak ada saja orang berdatangan, mereka mengira bahwa telah terjadi kebakaran. Sebab kepulan asap dari pembakaran blarak kelapa yang membumbung tinggi mengundang tetangga untuk berdatangan. Seharusnya tetangga sekitar tidak ada yang heran atau penasaran, tentu mereka sudah tahu bahwa rumah ini menggunakan blarak kelapa untuk kebutuhan memasak dan lainnya. Tapi entah mereka peduli sungguhan atau hanya mengejek karena tak memiliki kompor. Ibuku santai saja, tidak pernah menanggapi atau mengamini perkataan mereka.

Blarak kelapa memang menghasilkan kepulan asap yang tebal. Hingga setiap pagi, rumahku hanya penuh kepulan asap yang terkadang membuat mataku perih dan tak jarang mengeluarkan air mata. Ibuku yang setiap hari memasak sudah bersahabat dengan asap blarak kelapa. Sebab nenek terbiasa menggunakan blarak kelapa semenjak ibuku kecil. Pernah aku bertanya pada ibuku, mengapa tak membeli kompor minyak atau kompor gas saja. Sekarang rasanya sudah bukan zamannya memasak dengan menggunakan blarak kelapa. Mengapa pula harus bersusah payah memasak dengan tungku yang harus terus dijaga dan ditiup agar apinya terus menyala. Lagi-lagi tak pernah ada jawaban dan tak ada alasan, ibuku hanya tersenyum saja. Dan berkata kelak aku akan tahu.

Setiap hari aku bersama ibu mengais blarak kelapa yang kami kumpulkan di halaman rumah. Kakek menanam beberapa pohon kelapa yang ketinggiannya kurang lebih mencapai tujuh belas meter, tidak ada yang berani memanjat untuk mengambil buah kelapa. Salah sedikit dalam pijakan saja nyawa bisa melayang. Untuk menghindari resiko tersebut, biasanya kakek membiarkan buah kelapa jatuh dengan sendirinya. Serta beberapa blarak kelapa yang mudah terbawa angin karena sudah ringkih dan tua. Biasanya orang akan takut dengan datangnya badai, tetapi tidak untuk kami yang tinggal di rumah tua ini. Justru badai membawa berkah dan rezeki karena jatuhnya blarak dan kelapa-kelapa yang sudah tua.

Kami terbiasa menantikan badai hingga pagi tiba dan akan terlihat halaman yang begitu berserakan dengan tanah yang sudah tertutup blarak-blarak kelapa. Selajutnya, blarak kelapa yang berjatuhan akan disisir dan dipisahkan dari batangnya yang kemudian dijadikan sebagai sapu lidi. Sedangkan kelapanya akan langsung ibuku jual dan sebagian lagi akan ibu gunakan santannya sebagai pembuatan minyak kelapa guna kebutuhan memasak. Di desa tak ada pekerjaan yang dapat ibu lakukan hanya sedikit memanfaatkan hasil bumi yang dimiliki.

….

Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah aku menyiapkan botol yang akan kuisi dengan air minum. Sengaja aku membawa air minum agar tak usah membelinya saat jam istirahat. Di dapur tua yang terlihat menghitam pada bagian dinding dan genting, bukan karena lapisan cat hitam melainkan perubahan alami dari asap blarak kelapa yang digunakan sehari-hari. Perutku yang sudah meminta jatahnya, segera menghampiri ibu yang sedang mengambilkan nasi dan lauk untukku sarapan pagi ini.

“Wah, terlihat enak sekali Bu? Ibu menyiapkan nasi hangat dan telor ceplok kesukaanku. Meskipun masakan ibu terdapat aroma sangit (bau terbakar yang menyengat) yang dihasilkan dari blarak kelapa, rasanya tetap terasa nikmat. Kepulan asap blarak kelapa yang cukup besar tentu akan memasuki seluruh panci dan wajan jika sedang memasak.

“Apa kamu sudah membawa botol minummu Lin?

“Sudah Bu, baru saja. Lin pamit berangkat yah Bu takut terlambat. Aku bersalaman dan berpamitan pada ibuku. Melihat ibu melambaikan tangan membuat aku semakin bersemangat untuk sekolah.

Lima belas menit dari rumah, aku sampai menuju kelas. Baru saja ku duduk, tiba-tiba Mujab teman satu kelasku meminta air minum yang aku letakan disamping sisi tasku. Mujab memang terkenal usil dan cukup nakal. Lantas dengan sergap Mujab langsung meminumnya tanpa menunggu persetujuan terlebih dahulu dariku. Aku sangat terkejut dia menyemburkan minumannya kearahku hingga membuat teman-teman yang lain datang mengerubungi kami.

“Ini air minum apa sih, kok rasanya aneh! “Bukankah ini air putih? Sembari mengendus botol air minum yang sedang dipegangnya.

Mujab menyuruh seluruh teman kelas untuk mencium bau aneh yang ada dalam minumanku. Terlihat wajah teman-teman seperti jijik dan enggan untuk melihat air minum tersebut. Bullyan itu tak sampai disitu saja, mereka menyebut bahwa air minumku mengandung racun karena airnya tidak bersih. Padahal jika mereka tahu, air minum yang dimasak ibuku menggunakan bahan bakar blarak kelapa. Tentu rasa sangit yang ditimbulkan dari kepulan asapnya akan memengaruhi air minum yang dimasak.

Mataku sudah tak terbendung lagi dan tak bisa berpikir panjang, hingga saat itu aku lebih memilih bolos sekolah dari pada mendengar ejekan mereka. Sesampainya dirumah, aku melihat ibu yang sedang merapihkan blarak kelapa. Emosi amarah yang kuat dalam diriku, membuat sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan sebab membuat hati ibuku sakit. Apalah daya karena ejekan dari teman-teman kelasku, aku melupakan didikan yang diajarkan oleh ibu dan ayahku. Untuk selalu berlaku sopan dan menghormati orang tua.

Dengan menangis tersedu-sedu, aku menyuruh ibuku membuang seluruh blarak kelapa, sebab membuat hidupku malu. Sembari menendang gulungan blarak kelapa yang sudah tersusun rapih hingga terbaur berantakan. Ibu yang semula tidak pernah marah terhadap anaknya, kali ini terlihat sangat marah dan menjewer kupingku hingga memerah. Tak apa wajar saja ibu berlaku demikian.

“Apa yang kamu katakan, dan coba lihat apakah ini yang kamu dapat dari sekolah?

Tak lama ibuku langsung memberi tahuku, mengapa ibu lebih baik memasak dengan blarak kelapa dari pada memakai kompor. Dahulu kakek tidak pernah suka bila nenekku memasak dengan blarak kelapa. Sebab aroma yang ada dalam masakan membuatnya tak nafsu untuk makan. Hingga pada suatu hari kakek marah dan membuang seluruh blarak kelapa ditepian sungai. Tak disangka setelah kejadian itu, ibuku sakit hingga tiga bulan lamanya. Berbagai obat dari beberapa orang pintar tak ada satupun yang bisa menyembuhkan sakit ibuku. Lalu pada suatu hari, kakekku bermimpi untuk memasak air dengan blarak kelapa. Air tersebut untuk diminumkan, betapa mustajabnya tak berapa lama ibuku langsung sadarkan diri dan sembuh dari sakit yang dideritanya. Sejak saat itu, kakekku memutuskan untuk terus menggunakan blarak kelapa sebagai bahan bakar yang dipercaya menjadi obat dan penolak bala. Setelah mendengar cerita dari ibuku, aku percaya bahwa sesuatu yang sudah diciptakan alam akan selalu berbuah kebaikan. Walaupun hanya sebuah blarak kelapa yang sudah tua dan sering dianggap sampah tapi memiliki kegunaan yang luar biasa.

———- *** ———-

Tentang Penulis :
Laelatul Qomariyah
Sseorang guru Bahasa Indonesia. Karyanya berupa penulisan artikel opini dan puisi baik di media cetak maupun media sosial.

Rate this article!
Tags: