BMT dan Reformasi Ekonomi Umat

Oleh:
Kurnia Intan Nabila
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang; aktif di organisasi Mahasiswi Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) 

Baitu al- Maal wa at- Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah yaitu Baitu al- Maal dan Baitu at- Tamwil. Baitu al- Maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infak dan shodaqoh. Sedangkan Baitu at- Tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. BMT beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. Untuk menjamin operasi bank Islam tidak menyimpang dari tuntunan syari’ah, maka pada setiap bank Islam hanya diangkat manager dan pimpinan bank yang sedikit banyak menguasai prinsip muamalah Islam.
BMT adalah hasil inovasi umat islam yang dahulu dikenal dengan Baitu al Maal (BM), diprakarsai oleh khalifah ke-3 Umar bin al- Khattab R.A. Baitu al Maal tak lain adalah sebuah kantor perbendaharaan negara yang mengumpulkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS). Pada mulanya ZIS itu diberikan langsung secara individual dari muzakki (pembayar zakat) kepada mustahiq (penerima zakat), maka adanya BM ini merupakan inovasi terbaru di lingkungan birokrasi. BMT juga merupakan salah satu “proyek unggulan” ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang disebut sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan sistem Syari’ah. Ternyata, jauh sebelum pemerintah kota yang dipimpin oleh khalifah Umar tersebut membentuk Bait al Maal, al- Qur’an telah mengisyaratkan di surat At- Taubah: 60 agar dibentuk lembaga amil zakat. Namun, muncul pertanyaan “Siapa yang berhak membentuk? Masyarakat atau pemerintah?” Agaknya, pemerintahlah yang harus turun tangan mengambil alih ini. Sehingga hal ini dilakukan oleh khalifah Abu Bakar dan kemudian Umarlah yang membuat lembaganya. Tapi, ketika masa kekhalifahan Usman bin Affan beliau membuat inovasi dengan memulai pemungutan ZIS kepada masyarakat sendiri.
BMT sebagai Lembaga Bisnis
Sejak awal pendiriannya, BMT (Baitu al- Maal wa at Tamwil) diharapkan oleh banyak kalangan mampu menunjang pemberdayaan ekonomi masyarakat. BMT yang juga termasuk lembaga keuangan juga sangat diharap- harapkan mampu untuk meningkatkan perekonomian kaum miskin dan menunjang pembangunan ekonomi . Apalagi BMT beroprasi di daerah pedesaan yang juga menjadi sasaran bagi rentenir dengan memanfaatkan situasi atas sulitnya akses keuangan serta tingkat pendidikan dan ekonomi yang masih rendah.
Sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan, yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan yakni menghimpun dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkan kepada sector ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi BMT untuk mengembangkan lahan bisnisnya pada sector riil maupun sektor keuangan lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa BMT merupakan organisasi bisnis juga berperan sebagai sosial. Dilihat dari prospektif sebagai lembaga sosial, Baitu al Maal memiliki kesamaan fungsi dan peran dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat milik pemerintah. Oleh karenanya, Baitu al Maal harus didorong untuk mampu berperan secara professional menjadi LAZ yang mapan. Fungsi tersebut tidak hanya meliputi upaya pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan sumber dana sosial yang lain, tapi juga upaya penyaluran zakat kepada golongan yang paling berhak sesuai dengan ketentuan delapan Asnab.
BMT dan Konsepsi Keadilan Ekonomi
Salah satu penerapan BMT yaitu pada Bank syaria’h yang mana mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan pengujian pada skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung. Dan di Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Berangkat dari sini, Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syari’ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Awal berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan eksistensi bank Islam nantinya. Di tengah-tengah bank konvensional, yang berbasis dengan sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi Indonesia, bank Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang banyak timbul. Jawaban itu mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai dengan krisis moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Salah satu dari 73 bank tersebut, terdapat Bank Mu’amalat Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari bank-bank lain, yaitu dengan memberlakukan sistem operasional bank dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syari’ah sangat berbeda dengan sistem bunga, di mana dengan sistem bunga dapat ditentukan keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung jumlah beban bunga dari dana yang di simpan atau dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang telah diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra bank syari’ah.
Hal ini membuktikan bagaimana sistem perbankan syariah yang berakar dari BMT (Baitu al- Maal wa at- Tamwil) dan kemudian bertransformasi menjadi berbagai nama, nyatanya membawa dampak positif dikemudian hari. Penerapan sistem bagi hasil ini nyatanya mampu menunjang kehidupan finansial masyarakat menghadapi tantangan kontemporer. Pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dilakukan oleh BMT disadari dan didukung oleh berbagai pihak, mulai dari para praktisi, para ilmuwan, serta lembaga- lembaga inkubasi dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Misalnya, pemerintah telah mengeluarkan UU tentang perkoperasian, yang termasuk didalamnya mengatur tentang BMT. Wallahu A’lamu bi Ash Shawwab.

———- *** ————-

Rate this article!
Tags: