BNPT Ajak Guru Agama Cegah Terorisme

Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Dr Hj Andi Intan Dulung (tengah) saat menjadi narasumber dalam dialog Integrasi Nilai-nilai Agama dan Budaya di Sekolah dalam Menumbuhkan Harmoni Kebangsaan, Rabu (15/5) kemarin.

Bentengi Sekolah dari Pengaruh Ideologi Radikal
Mojokerto, Bhirawa
Radikalisme terorisme merupakan ancaman yang serius bagi bangsa ini. Oleh karena itu, semua pihak harus ikut terlibat dalam mencegah berkembangnya pahami radikalisme terorisme. Harapan ini disampaikan Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Dr Hj Andi Intan Dulung saat menjadi narasumber dalam dialog Integrasi Nilai-nilai Agama dan Budaya di Sekolah dalam Menumbuhkan Harmoni Kebangsaan, Rabu (15/5) kemarin.
Menurut Andi Intan dunia pendidikan merupakan salah satu dari tiga serangkai lini kehidupan yang harus dijaga dari pengaruh paham radikal terorisme. Dua lini lainnya adalah lingkungan keluarga dan komunitas masyarakat.
“Bisa kita bayangkan beratnya tugas kita ke depan jika dunia pendidikan tersusupi paham radikal terorisme. Oleh karenanya, menjadi kewajiban kita semua menjadikan pendidikan untuk anak-anak kita berjalan baik,” ujar Andi Intang.
Lebih lanjut menurut Andi Intan, belakangan ini muncul fenomena penyebaran paham radikal terorisme yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Hal tersebut tentunya tidak bisa didiamkan begitu saja karena akan dapat membahayakan para generasi muda kita jika nantinya sampai terpapar paham radikal terorisme yang disebarkan oleh guru di sekolah.
Di hadapan ratusan guru agama Islam, Andi Intan Dulung, mengatakan bahwa jika ada guru yang sengaja menyebarkan paham radikalisme ke anak didiknya, maka sebaiknya guru tersebut tidak diizinkan lagi untuk mengajar.
“Langkah ini dilakukan untuk menjaga dan mencegah berkembangnya paham radikalisme yang dilakukan oleh guru terhadap kalangan pelajar dan siswanya. Guru itu sebaiknya di ‘parkir’ menjadi staf saja,” ujar Dr. Andi Intang .
Usulan Andi ini menjawab keluhan sejumlah peserta workshop yang resah dengan adanya oknum guru tertentu yang mengajarkan agar siswa tidak perlu lagi mengikuti apel bendera serta kegiatan sekolah lainnya yang dinilai tidak sesuai dengan paham yang dianutnya.
Menurutnya, empat ciri faham radikalisme dapat dideteksi dari seseorang yang diduga terpapar paham radikalisme, yakni ingin mendirikan negara khusus, mengumbar kebencian, mengkafir-kafirkan orang serta anti terhadap dasar negara Pancasila.
Di tempat yang sama. Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur, Soubar Isman, menilai paham radikal terorisme merupakan bom waktu yang dapat meledak kapanpun untuk merusak keharmonisan hubungan antarmasyarakat.
“Tugas kita bersama untuk tidak mendiamkan ancaman radikal terorisme. Kita harus bersama-sama menjaga agar radikal terorisme tidak menjadi bom waktu yang dapat meledak dan menghancurkan keharmonisan yang sudah kita rajut bersama,” kata Soubar.
Pria penyandang pangkat Komisaris Besar di lingkungan Kepolisian Daerah Jawa Timur itu menambahkan, salah satu aspek yang harus terus ditumbuhkan di kalangan anak didik adalah mengenali keberagaman sebagai hal yang menyatukan di Indonesia. Dia lantas menukil sejarah pendirian Indonesia yang melibatkan orang-orang dengan latar belakang beragam sebagai bagian dari pejuang dalam merebut kemerdekaan.

KH Ainul Yakin

MUI Jatim: Tidak Perlu Ada Khilafah
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH. Ainul Yakin, menyoroti maraknya penyebarluasan paham radikal terorisme di dunia pendidikan melalui kedok sistem khilafah islamiyah. Dia menilai khilafah tidak cocok diterapkan di Indonesia karena telah adanya pemimpin yang amanah.
Demikian disampaikan Kiai Ainul saat menjadi pemateri di kegiatan Integrasi Nilai-nilai Agama dan Budaya di Sekolah dalam Menumbuhkan Harmoni Kebangsaan di Kabupaten Mojokerto, yang diselenggarakan oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur, Rabu (15/5/2019).
“Banyak orang gagap dengan menilai penerapan sistem khilafah adalah solusi. Padahal kita harus mendudukkan khilafah pada posisinya, dan melihatnya bagaimana dengan sistem kenagaraan kita sendiri,” kata Kiai Ainul.
Di hadapan seratusan guru dar tingkat PAUD hingga SMP dan sederajat, Kiai Ainul menambahkan, dari sisi bahasa khilafah adalah orang yang akan menggantikan peran Nabi dalam kepemimpinan penuh amanah. Dalam konteks Indonesia sudah terdapat pemimpin yang mampu menjalankan amanahnya dengan baik.
“Dengan kata lain kita sudah tidak membutuhkan adanya khilafah di Indonesia,” Pemimpin kita adalah pemimpin yang amanah, sehingga keberadaannya sudah bisa kita anggap sebagai khalifah,” tandas Kiai Ainul.
Dalam paparannya Kiai Ainul juga menganggap telah terjadi pembenturan antara agama dan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam upaya pengusungan sistem khilafah. Hal ini berpotensi menjadikan adanya degradasi terhadap pengamalan Pancasila oleh masyarakat, yang apabila diabaikan dapat mengakibatkan perpecahan bangsa.
“Pancasila sendiri merupakan ideologi bangsa yang dihasilkan dari ijtihad para ulama pendiri bangsa. Pancasila sudah memiliki kesesuaian dengan ajaran agama, sehingga tidak tepat mengganti Pancsila dengan sisten khilafah,” jelas Kiai Ainul. [kar]

Rate this article!
Tags: