Bojonegoro Matoh, Melampui Batas Maksimal

(Eksplorasi Migas Ubah Tatanan Bumi Angling Dharma)

“Bojonegoro tempatku bermimpi. Wujudkan masa depan nan jaya. Makmur damai sejahtera. Hijau indah asri tampak dimata. Tunas-tunas muda tumbuh subur. Dan smangat slalu lahir trobosan. Dalam semua lirih kehidupan. Saling mencinta senafas dan sejiwa. Tanah gerak hujan dan banjir. Kering waktu kemarau. Kekurangan keterbatasan. Cambuk untuk berkarya jaya. Bojonegoro smangat berbenah. Bojonegoro tak henti berkarya. Bojonegoro semua pasti suka. Bojonegoro matoh”.

Zainal Ibad, Harian Bhirawa

Demikian lirik lagu ‘Bojonegoro Matoh’, karya Kang Yoto. Mampu menggambarkan kondisi, semangat dan keterbatasan bumi Angling Dharma. Kata ‘matoh’ pada judul lagu tersebut ada yang mengartikan sip, baik dan keren. Lagu ‘Bojonegoro Matoh’ yang dinyanyikan Kang Yoto, panggilan akrab Drs Suyoto MSi yang sehari-hari menjabat Bupati Bojonegoro ini, telah menjadi spirit perubahan bagi kabupaten yang dulu terkenal dengan jumlah kemiskinannya yang sangat banyak.
Bojonegoro yang berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa ini pernah mengalami kemiskinan amat parah (endemic poverty). Seperti yang tercantum dalam riset Dr CLM Penders berjudul ‘Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia’. “Banyaknya angka kemiskinan di Bojonegoro ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemiskinan zaman dulu yang sangat parah. Dimana penduduknya mayoritas bekerja sebagai petani, sedangkan infrastruktur irigasi tidak mendukung,” kata Kang Yoto, saat ditemui Bhirawa di Pendopo Kabupaten Bojonegoro, Sabtu (3/9).
Menurut dia, hampir 40,67 persen lahan di Bojonegoro bukan milik daerah, tapi lahan Perhutani. Sehingga pemerintah daerah dan masyarakat tidak bisa leluasa dalam pengelolaannya. Cuaca ekstrim yakni kekeringan saat musim kemarau dan kebanjiran saat musim hujan, turut andil dalam menciptakan kemiskinan. Apalagi faktor kualitas SDM (sumber daya manusia) yang rendah menambah buruknya kondisi Bojonegoro.
“Tak cukup disitu, kemiskinan itu juga tidak luput dari wilayah geografis. Seperti diketahui, Kabupaten Bojonegoro tidak masuk dalam jalur utama lalu lintas. Misalnya jalur Pantura atau jalur selatan. Kondisi geologi Bojonegoro sebagai daerah tanah gerak, juga menjadi kendala pembangunan infrastruktur,” jelasnya.
Perlu diketahui, Kabupaten Bojonegoro dibagi menjadi 28 kecamatan, 419 desa dan 11 kelurahan dengan luas wilayah 230.706 hektare. Disebelah selatan berbatasan dengan Nganjuk, Madiun dan Ngawi. Di timur berbatasan dengan Lamongan, di utara berbatasan dengan Tuban sementara di barat berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah, tepatnya Blora.
Sebesar 40,67 persen wilayah Bojonegoro merupakan hutan negara, sebagian besar berada di wilayah selatan Bojonegoro. Sedangkan 32,58 persen berikutnya berupa sawah yang sebagian besar berada di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo. Lalu sebanyak 22,42 persen adalah tanah kering, sisanya 4,85 persen perkebunan dan lain-lain.
Pembangunan Berkelanjutan
Pelan namun pasti, kondisi Bojonegoro kini jauh lebih baik dibanding 10 tahun lalu. Hal itu berkat melimpahnya sumber daya alam minyak dan gas (migas) yang terkandung di perut bumi Bojonegoro. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Bojonegoro dari tahun ke tahun menunjukkan tren positif, seperti pada 2015 mencapai 19,47 persen. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi ini pun menurunkan jumlah kemiskinan di Bojonegro.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Bojonegoro, jumlah warga miskin di Bojonegoro menunjukkan penurunan yang cukup tajam. Pada 2008 lalu jumlah warga miskin mencapai 292.710 jiwa, 2009 menjadi 262.040 jiwa, 2010 jadi 227.200 jiwa dan 2011 sebanyak 212.860 jiwa. Angka ini terus turun pada 2012 jadi 203.300 jiwa dan 2013 tinggal 196.000 jiwa.
Kang Yoto mengatakan, beberapa strategi yang menjadi kunci kebijakan untuk mengantarkan capaian penurunan kemiskinan ini adalah, memanfaatkan potensi migas yang dieksplorasi untuk kesejahteraan rakyat. Caranya dengan mengoptimalisasi potensi lokal baik tenaga kerja, barang maupun kesempatan bisnis bagi pengusaha lokal Bojonegoro.
Untuk masalah ini, Pemkab Bojonegoro telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Migas, atau lebih dikenal dengan ‘Perda Konten Lokal’. Perda ini dibuat untuk memahami rentannya konflik sosial sebagai akibat ketidakberdayaan masyarakat seperti kerusakan infrastruktur, kemiskinan, pengangguran, lemah skill, serta dalam upaya pemberdayaan potensi lokal agar turut berperan tidak menjadi penonton dalam kegiatan migas.
“Melalui perda ini, terbuka kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam industri migas sebagai pengusaha lokal dan sebagai tenaga kerja. Karena perda ini mengharuskan agar pekerjaan yang unskill dikerjakan sepenuhnya oleh tenaga kerja lokal,” ungkapnya.
Kang Yoto juga memastikan, semua pendapatan migas yang kini di eksplor perusahaan migas Exxon Mobil Oil Indonesia ini hanya untuk belanja yang akan berdampak pada pertumbuhan berkelanjutan. Maksudnya untuk penguatan SDM, infrastruktur yang relevan bagi pertumbuhan pembangunan dan penguatan fiskal dalam jangka panjang.
DBH (Dana Bagi Hasil) Migas diinvestasikan dalam beberapa program yang secara langsung, maupun tidak langsung bersentuhan dengan penanganan kemiskinan. Antara lain melakukan investasi modal di bank, sebagai investasi yang dapat dinikmati generasi yang akan datang, saat migas sudah tidak ditemukan lagi di perut bumi Bojonegoro.
Kemudian untuk menguatkan dan mendukung pembangunan ekonomi, melalui investasi modal di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) senilai Rp400 miliar. Investasi ini untuk mendukung permodalan bagi pelaku UMKM, serta mendukung terciptanya iklim kewirausahaan kondusif. DBH Migas juga digunakan untuk setor modal di Bank UMKM Jatim dan ditargetkan hingga Rp100 miliar atau menjadi pemilik saham terbesar kedua setelah Pemprov Jatim.
Migas Bakal Habis
Keseriusan Pemkab Bojonegoro mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan juga terlihat dalam dokumen perencanaan daerah. Baik itu jangka panjang, menengah atau tahunan. Sehingga visi perencanaan dirumuskan dengan ‘Terwujudnya Pondasi Kabupaten Bojonegoro sebagai Lumbung Pangan dan Energi Negeri yang Produktif, Berdaya Saing, Sejahtera dan Berkelanjutan’.
Semua program pendayagunaan penerimaan DBH Migas menggunakan pendekatan strategi ‘dual track’. Pendekatan ini dilakukan lantaran kondisi perekonomian yang saat ini tidak lagi didominasi sektor pertanian, namun bergeser ke sektor migas. Melalui pendekatan ‘dual track’, kegiatan ekonomi tidak serta merta mengandalkan sektor migas sebagai pendorong utama, namun sektor non migas juga harus dapat lebih berkembang.
“Kami sadar sektor migas hanya bersifat sementara dan hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati dan memiliki masa produksi singkat. Diperkirakan akan habis dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Makanya kita manfaatkan betul aliran dana yang sekarang ada untuk masa depan anak cucu kita,” kata Kepala Dinas Pendapatan (Dipenda) Kabupaten Bojonegoro, Herry Sudjarwo.
Pada 2016 ini, Pemkab Bojonegoro akan menerima DBH Migas dari pemerintah pusat senilai Rp800 miliar. Namun dengan catatan harga minyak mentah dunia konsisten dikisaran 40 USD per barel. Namun jika harga minyak mentah dunia mencapai 100 USD per barel seperti 2014 lalu, DBH Migas bisa mencapai Rp1,2 triliun.
Penerimaan DBH Migas itu berasal dari produksi minyak mentah lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, yang kini produksinya mencapai 180 ribu barel per hari. Selain itu dari lapangan minyak Sukowati dengan produksi 16.000 barel per hari. Ada pula dari lapangan Tiung Biru sebesar 2000 barel per hari, serta minyak mentah dari sumur tua Wonocolo sebanyak 2.000 barel per hari.
Tahun ini, Herry mengatakan, DBH Migas diprioritaskan membangun sektor pendidikan dan infrastruktur. Untuk infrastruktur, Pemkab Bojonegoro menyediakan dana Rp1 triliun untuk pembangunan jalan poros kecamatan. Jalan itu berupa jalan cor beton dengan ketebalan 25 centimeter yang diperkuat konstruksi baja.
Sedangkan sektor pendidikan, akan diambilkan sekitar Rp100 miliar dari DBH Migas. Dana itu, digunakan untuk membiayai program menekan angka putus sekolah di tingkat SMA dan sederajat. Caranya adalah memberikan bantuan Rp2 juta per siswa di seluruh Bojonegoro.
Berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro, jumlah penerima bantuan siswa-siswi setingkat SMA/SMK/Aliyah, baik negeri maupun swasta, dari kelas satu hingga kelas tiga, sebanyak 49.340 orang.
Banyaknya program yang langsung bisa dirasakan masyarakat itu, menjadi bukti migas telah mengubah tatanan wajah Bojonegoro yang sejak zaman kolonial terkenal daerah termiskin, banjir, kekeringan dengan SDM rendah kini perlahan namun pasti semakin membaik.
Bahkan World Bank pada Agustus 2015 lalu melaporkan hasil studinya, bahwa Bojonegoro termasuk 10 kabupaten yang berkemampuan tercepat mengurangi kemiskinan. Bojonegoro benar-benar matoh dan mampu lampui matas maksimalnya. Good job !. [iib]

                                                                                               ———————–*** ———————–

Tags: