BPJS dan Faskes

Karikatur Ilustrasi

Hidup sehat menjadi pengharapan seluruh masyarakat, sekaligus sebagai hak asasi manusia. Tetapi tidak setiap orang memahami dan dan turut mewujudkan lingkungan yang sehat. Bahkan tidak jarang, perilaku masyarakat menyebabkan lingkungan tidak sehat. Berbagai virus dan bakteri bertebaran di sekitar pemukiman. Menyebarkan berbagai penyakit, termasuk colera, campak, sampai TBC. Maka diperlukan kampanye lingkungan hidup sehat, khususnya di kawasan urban.
Hidup sehat sebagai hak asasi manusia telah tercantum dalam konstitusi dasar negara. UUD pasal 28H ayat (1), bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, … serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Menjadi kewajiban pemerintah (dan masyarakat) bersama menyelenggarakan fasilitas kesehatan (faskes). Pemerintah (pusat, dan daerah) serta kalangan swasta telah mendirikan banyak rumahsakit. Masyarakat juga meng-giatkan tanaman obat keluarga.
Sejak dua dekade silam, pemerintah merealisasi program JKSN (Jaminan Kesejahteraan Nasional) berupa jaminan kesehatan. Beberapa daerah yang memiliki anggaran cukup, juga merealisasi jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Paling akhir, pemerintah membentuk Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) sebagai penyelenggara jaminan kesehatan. BPJS menerima titipan premi asuransi (subsidi) kesehatan yang disetor pemerintah (melalui APBN) untuk masyarakat miskin.
BPJS juga menjadi satu-satunya penerima premi asuransi kesehatan program pemerintah yang disetor masyarakat (non-subsidi). Seharusnya, seluruh rumahsakit menjadi mitra BPJS. Namun ironis, banyak rumahsakit dijadikan ladang meraup keuntungan dari kesedihan (pasien). Bahkan mengesankan “adu tarif mahal” bagai layanan hotel berbintang. Dampaknya, banyak pasien ditolak, karena tidak mampu menyediakan uang panjar perawatan.
Begitu pula masih banyak pasien harus membeli obat, dengan biaya di luar tanggungan BPJS. Dalihnya, rumahsakit (tak terkecuali RS pemerintah dan daerah) kehabisan stok obat. Lebih ironis, BPJS juga belum mengurus sertifikasi “halal” asuransi kesehatan. Sertifikasi jaminan produk halal (konsumsi dan jasa), merupakan amanat UU Nomor 33 tahun 2014. Kementerian Agama telah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BP-JPH).
Berdasar hasil ijtima MUI, bahwa pelaksanaan BPJS, pada sistem premi hingga pengelolaan dana ke-peserta-an asuransi kesehatan itu, tidak sesuai dengan kaidah fikih. Alasannya, diduga kuat mengandung gharar atau ke-tidak jelas-an akad terhadap premi. Sehingga bisa berpotensi maysir, dan riba. Maka akad premi patut dijelaskan jenisnya: hibah, sedekah, infaq, atau setoran saham? Merevisi (penjelasan) akad BPJS Kesehatan, tidaklah sulit.
Puncaknya, masalah BPJS berujung pada utang kepada rumahsakit sampai sebesar Rp 7,3 trilyun. Padahal sebagai pemegang premi kesehatan sebanyak 260 juta jiwa, bisa menjadi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang sangat besar, dan memberi keuntungan. Tahun 2017 pemerintah memberi iuran PBI (subsidi premi) sebesar Rp 25,3 trilyun, untuk 92,3 juta jiwa masyarakat miskin. Selama empat tahun (2015 sampai 2018) BPJS menyerap iuran sebesar Rp 234,06 trilyun.
Memperingatan hari kesehatan ke-54, seyogianya dijadikan momentum pembenahan BPJS. Juga kinerja rumahsakit (milik pemerintah dan swasta). Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai berlaku Januari (2014), dilaksanakan oleh BPJS. Ini merupakan realisasi UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. Dengan dimulainya BPJS, tren masyarakat berobat ke rumahsakit semakin membaik. Terutama kalangan penerima bantuan iuran (PBI, masyarakat miskin) yang disubsidi pemerintah. Derajat kesehatan masyarakat meningkat.
Namun hidup sehat, bukan sekadar tanggungjawab rumahsakit. Melainkan pola hidup, dan lingkungan yang sehat. Sarana MCK (mandi, cuci, kakus) menjadi kendala utama. Masih jutaan masyarakat melakukan buang air besar (BAB) sembarangan, karena belum ter-akses sanitasi komunal. Di sungai juga masih terdapat banyak sampah limbah rumahtangga.

——— 000 ———

Rate this article!
BPJS dan Faskes,5 / 5 ( 1votes )
Tags: