BPJS Kesehatan Defisit, Iuran Naik

Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Perhatian publik belakangan ini banyak tersita pada masalah jaminan kesehatan. Pasalnya ada kenaikan iuran yang ditujukan pada peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS. Adapun, kenaikan iuran peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial disebabkan kondisi anggaran BPJS tengah mengalami defisit. Mau tidak mau tentu saja potret defisit BPJS Kesehatan ini menyita perhatian semua pihak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan selalu defisit kas sejak pertama kali beroperasi. Pada 2014, defisitnya Rp 1,9 triliun. Setahun kemudian, membengkak menjadi Rp 9,4 triliun. Pada 2016, defisit turun sedikit menjadi Rp 6,7 triliun karena iurannya dinaikkan. Penerima bantuan iuran (PBI) naik menjadi Rp 23 ribu dan non-PBI kelas III menjadi Rp 25.500 per bulan. Namun, defisit kas ini berlanjut pada 2017. Setahun lalu, defisit BPJS Kesehatan membengkak lagi dan diprediksi makin besar pada tahun ini.
Realitas tersebut semakin diperkuat dari data Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terdapat 50.475 badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS. Ada 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.134 badan usaha. Ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji dengan benar.
Menengok kenyataan tersebut, tak heran jika pemerintah pun melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan. Pasalnya, setiap tahun, lembaga tersebut terus mengalami defisit dengan nilai yang terus meningkat. Bahkan, hingga akhir tahun ini, BPJS Kesehatan diprediksi bakal defisit hingga Rp 32,8 triliun.
Salah satu upaya solusi menangani masalah defisit BPJS Kesehatan inipun, akhirnya pemerintah mengambil langkah menaikan iuran BPJS. Ketika kita perhatikan, nilai kenaikan iuran cukup fantastis. Bagi peserta kelas I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang. Artinya, peserta harus membayar Rp160.000 per bulan dari saat ini yang hanya dikenakan Rp 80.000 per bulan. Kemudian, peserta kelas mandiri II diusulkan naik Rp59.000 per bulan menjadi Rp 110.000 dari posisi sekarang sebesar Rp 51.000 per bulan. Sementara, peserta kelas mandiri III naik dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000 per peserta setiap bulannya.
Berkaca dari pengalaman 2016 lalu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 menetapkan besaran kenaikan iuran menjadi Rp 30.000. Berbagai protes pun muncul sebagai bentuk reaksi atas kenaikan tersebut. Maka sebulan kemudian muncul Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2016 di mana besaran iuran kelas III untuk peserta mandiri menjadi Rp 25.500.
Kenaikan iuran itu bukanlah yang terakhir karena sesuai Perpres Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan memungkinkan dilakukan peninjauan kembali setiap dua tahun sekali. Bahkan, kenaikan pun terus berlanjut sampai saat ini. Melihat kenyataan demikian, banyak pihak pun sebenernya keberatan dengan langkah pemerintah tersebut. Pasalnya, besaran kenaikan iuran tersebut sebenernya terlalu tinggi.
Berbagai masukan, saran dan kritik pun tak bisa terbenduk dan tertolakkan dari peserta BPJS. Pemerintahpun, tentu saja harus siap dengan masukan inovatif dari peserta BPJS. Besar harapan agar setiap kenaikan apapun yang mengalami kenaikan yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah. Sebab, bagaimanapun juga kita semua tentu tidak berharap defisit ini ibarat bola bergerak liar yang tidak berkesudahan.
Mengoptimalkan pelayanan
Mengingat kenaikan iuran BPJS tentu saja harus ada kompensasi yang harus bisa dipertaruhkan untuk perbaikan pelayanan peserta Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS. Berbagai masukan, saran dan kritik pun tak bisa terbenduk dan tertolakkan dari peserta BPJS. Pemerintahpun, tentu saja harus siap dengan masukan inovatif dari peserta BPJS. Berikut beberapa hal yang bisa lakukan BPJS dalam memfasilitasi peserta.
Pertama, terkait masalah pelayanan. Selama ini ternilai oleh public masih minimnya pelayanan medis yang diberikan pada peserta JKN PBJS. Itu artinya, pelayanan yang dinomorduakan, itu lebih kepada oknum Rumah Sakit. Sikat kata, BPJS perlu melakukan koordinasi dan pembinaan yang baik dengan pihak rumah sakit yang rujuk. Mereka harus diberi pemahaman bahwa pasien BPJS bukan pasien gratisan.
Kedua, mengedepankan koordinasi dan kontrol yang baik dengan jasa kesehatan yang dirujuk. Koordinasi, terkait praktek dilapangan masih dirasa kurang memberikan pelayanan yang kurang optimal pada peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS. Pelayanan yang dirasa belum optimal membuat banyak masyarakat memadang sebelah mata BPJS.
Ketiga, perlu dilakukan perbaikan yang lebih terhadap fasilitas kesehatan (faskes) yang melakukan tindak kecurangan. Itu artinya, masih ditemukannya pengesampingan pelayanan terhadap pasien dilapangan yang tidak sesuai pelayanan yang mestinya diterima oleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS.
Keempat, perlu juga dilakukan penertiban badan usaha yang melakukan kerja sama dengan badan pemerintah tersebut. Berangka dari temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terdapat 50.475 badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Ada sekitar 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha. Selain itu, ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji dengan benar.
Kelima, harus ada transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana BPJS Kesehatan. Bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, BPJS mesti mengecek detail klaim dari rumah sakit. Semua pihak bersinergi dan sama-sama ber peran. Rakyat mendapatkan manfaat dari iuran yang mereka bayarkan tanpa hambatan, APBN pun tetap sehat.
Melalui kelima masukan atau evaluasi diatas, sekiranya bisa menjadi masukan bagi BPJS sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Semua itu tentu saja sangat bersinergi dengan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Besar harapan, dengan adanya kenaikan iuran, maka sudah semestinya penataan yang baikpun mulai dari pelayanan, koordinasi, transparansi dan akuntabilitas serta kualitas yang diberikan dari BPJS perlu terus dievaluasi dan ditingkatkan. Semua itu, setidaknya dapat mendukung terwujudnya keadilan kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Sebab, bagaimanapun juga tanpa kesadaran dari masyarakat sendiri, BPJS tidak akan berjalan dengan baik.
——— *** ————

Rate this article!
Tags: