BPJS Watch Bakal Gugat Perpres JKN

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Hanya Separo RS di Surabaya Bekerjasama dengan BPJS
Surabaya, Bhirawa
Gelombang penolakan rencana kenaikan iuran  BPJS Kesehatan Kesehatan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 19 Tahun 2016 tentang kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai 1 April 2016 terus bergulir. Kali ini, BPJS Watch Jatim pun secara keras menolak kenaikan iuran tersebut karena dinilai akan membebani masyarakat.
Koordinator BPJS Watch Jatim Jamaludin mengatakan telah meneruskan surat tuntutan dan penolakan itu ke DPR RI dan pihak lain yang terkait. Tak hanya itu, BPJS Watch dalam waktu dekat juga akan melakukan upaya hukum menggugat Perpres No 19 Tahun 2016 ke Mahkamah Agung (MA).
“Kami teruskan ke DPR RI dan yang terkait lainnya. Termasuk kami pertimbangkan uji materi Perpres  ke MA. Karena kenaikan iuran itu tidak efektif dan  lebih parah lagi membebani rakyat di tengah situasi ekonomi lesu seperti saat ini,” Selasa, (15/3).
Menurut Jamal sapaan akrabnya,  pembiayaan kesehatan seharusnya lebih besar menjadi tanggungjawab negara. Selama ini dengan besaran iuran lama kolektabilitas pembayaran iuran rata-rata 60 persen. Pemerintah, lanjutnya, telah melanggar UUD dan undang-undang lain yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan sosial bila menaikkan iuran BPJS.
“Pemerintah tidak hanya melanggar UUD. Tapi juga UU Rumah Sakit, UU Kesehatan, UU BPJS dan UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional),” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2016 mengenai kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 April 2016. Kenaikan iuran tertera antara 19 persen hingga 24 persen sesuai kebijakan baru tersebut.
Dengan terbitnya Perpres tersebut, besaran iuran kelas I yang semula Rp 59.500 naik menjadi Rp 80 ribu, iuran kelas II yang semula Rp 42.500 naik menjadi Rp 51 ribu. Sedangkan iuran kelas III yang semula Rp 25.500 naik menjadi Rp 30 ribu. Selain itu iuran untuk peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) pada aturan sebelumnya sebesar Rp 19.225 per orang per bulan, nantinya naik menjadi Rp 23.000.
Ada beberapa poin yang menjadi tuntutan BPJS Watch Jatim. Antara lain, menolak kenaikan iuran JKN (BPJS Kesehatan), mendesak pemerintah dan BPJS memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, dan memperbanyak fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.
Selain itu, kata Jamal, BPJS Watch Jatim juga menuntut agar pemerintah merealisasikan pembiayaan kesehatan sesuai amanat UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 dengan proporsi anggaran kesehatan minimal 5 persen APBN dan 10 persen APBD. Serta percepatan perbaikan data warga miskin dan tidak mampu.
Beberapa pihak yang kontra dengan rencana pemerintah menaikkan premi BPJS Kesehatan menyoroti belum memadainya pelayanan kesehatan di Indonesia.
Ketua Komisi D Bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Kota Surabaya Agustin Poliana juga mengatakan, kurangnya pelayanan kesehatan tampak dengan adanya fakta bahwa belum semua RS di Surabaya bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Titin sapaan akrabnya menyebutkan, dari total 65 RS yang ada di Surabaya, hanya 34 di antaranya yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang selama ini tidak mengetahui mana saja rumah sakit yang melayani pasien BPJS sering kecele.
“Sudah menjalani perawatan dan berharap keringanan biaya, tapi tetap membayar penuh. Akhirnya sia-sia dia punya BPJS karena tidak bisa digunakan,” kata Titin.
Ia menambahkan puskemas di Surabaya sebagai pelayan kesehatan primer untuk masyarakat, sebagian besar belum memadai. Baik dalam hal pelayanan maupun tenaga kesehatannya. Puskesmas itu diharuskan menangani lebih dari 100 penyakit yang sudah didaftar dan tidak dibolehkan oleh BPJS untuk terlalu mudah merujuk pasien. “Nah, apakah sudah ada evaluasi bagaimana pelayanan di puskesmas? Tenaganya berapa?” ujarnya.
BPJS Watch Jatim pun membenarkan RS peserta BPJS di Surabaya memang belum merata. Data yang mereka himpun, hanya 29 RS di Surabaya yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
“Jadi di kota besar seperti Surabaya ketersediaan fasilitas kesehatan masih kurang merata dan memadai. Rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS masih sangat terbatas,” kata Jamaludin.
Ia menyarankan, sebaiknya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini  bersama Ketua DPRD Kota Surabaya Armuji membuat kebijakan yg mewajibkan semua RS di Surabaya bekerjasama dengan BPJS. Namun, tidak cukup sampai di sana, harus ada penerapan sistem rujukan yang berjenjang dan terstruktur dalam hal penanganan pasien sakit di Surabaya.
“Misalnya berbasis zona wilayah. Mulai dari Surabaya Utara, Pusat, Barat, Timur, dan Selatan. Karena saat ini sistem rujukan masih amburadul,” jelasnya.
Mengenai puskesmas yang ada di Surabaya, Jamal mengatakan seluruhnya harus direvitalisasi. Dengan demikian, pelayanan kesehatan fasilitas primer itu meningkat. “Standarnya puskesmas melayani rawat inap dan buka 24 jam. Dokter maupun bidan, juga perawatnya sudah siaga. Fasilitasnya juga harus lengkap, seperti puskesmas di DKI Jakarta dan Jogjakarta,” pungkasnya.

Pemerintah Harus Subsidi
Polemik kenaikan iuran BPJS  Kesehatan juga mengundang reaksi Gubernur Jatim Dr H Soekarwo. Pria yang akrab dipanggil Pakde Karwo ini menyatakan menolak kenaikan iuran tersebut.
“Menaikkan iuran sama halnya membebani rakyat. Untuk itu, jangan sampai memintakan kekurangan iuran ini ke masyarakat, karena kesehatan ini adalah bagian dari pelayanan yang harus dipenuhi pemerintah untuk rakyat,” kata Pakde Karwo ditemui di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (15/3).
Pakde Karwo menegaskan kenaikan iuran BPJS bukan solusi baik bagi masyarakat. “Harusnya yang dikedepankan adalah mendorong orang untuk hidup sehat. Bukan meminta iuran ke masyarakat,” ungkapnya.
Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah ? Mantan Sekdaprov Jatim itu menegaskan, pemerintah harus menanggung kekurangan biaya yang kini sedang mendera BPJS Kesehatan. “Ya harus menggunakan uang dari APBN untuk menyubsidinya,” tandasnya. [geh,iib]

Rate this article!
Tags: