BPK Peringatkan Pemkot Surabaya Terkait PAD

Karikatur-Korupsi-Kemiskinan[1]Dewan Surabaya, Bhirawa
Meskipun Pemkot Surabaya telah menjadi rujukan beberapa kota/kab lain seluruh Indonesia dalam berbagai hal termasuk system birokrasi dan penggunaan APBD,dan APBN, nyatanya menurut catatan BPK masih memiliki catatan buruk di tahun 2013 pada sector PAD yakni sejumlah masalah transaksi keuangan, di antaranya penerimaan sewa gedung aset Pemkot dan penerimaan dari sektor perhotelan, serta pendapatan dari parkir yang nilainya Rp 5,99 Miliar atau hampir mencapai Rp 6 Miliar.
Data tersebut merupakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Jawa Timur (Jatim) yang diterbitkan Mei 2014. Meski begitu, data tersebut tak banyak diketahui publik, sebelum akhirnya dirilis kembali oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Firtra) Jatim, kemarin.
Berbicara di kantor Fitra Jatim di Surabaya, Koordinator Fitra Jatim Dahkelan menyampaikan, Surabaya masuk dalam lima besar kota/kabupaten yang berpotensi merugikan negara tertinggi pada 2013. Surabaya berada di posisi kedua, di bawah Bojonegoro, yang dievaluasi berotensi merugikan negara sebesar Rp 10 miliar.
Dahkelan menjelaskan, sejumlah transaksi yang bermasalah dalam laporan keuangan Kota Surabaya 2013, yang terbesar adalah persewaan Gedung Siola Tunjungan Center, jembatan penyeberangan dan pertokoan yang belum dilunasi kewajibannya sebesar Rp 3,6 miliar. Selain itu, ada juga potensi kerugian dari pajak hotel sebesar Rp 1,8 miliar, dan pertanggungjawaban belanja makan-minum reses anggota DPRD sebesar Rp 191 juta.
Dikonfirmasi, Pemkot Surabaya membenarkan data hasil audit BPK tersebut. Meski begitu, pihak Pemkot menjelaskan, pihaknya sudah menjalankan seluruh rekomendasi dari BPK terkait hasil temuan tersebut. Asisten Pemkot Surabaya Bidang Pemerintahan Yayuk Eko Agustin mencontohkan, penerimaan sewa gedung sudah diterima dan laporannya sudah diteruskan ke pihak BPK.
“Begitu juga yang lainya, seperti pajak hotel. Soal pemasukan dari sektor parkir, sebelumnya ada kesalahpahaman, jumlah juru parkir di lapangan lebih banyak dari yang resmi terdaftar, tapi itu semua sudah kami sesuaikan,” ujar Yayuk, berbicara di Balai Kota Surabaya, kemarin.
Selain soal potensi kerugian negara, Fitra Jatim juga menyoroti rendahnya penyerapan anggaran belaja APBD. Hingga triwulan ketiga, menurut pihak Fitra Jatim, Pemkot Surabaya baru menyerap anggaran sebesar 22 persen. Hal tersebut, menurut Koordinator Fitra Jatim Dahkelan, mengindikasikan masih bannyaknya program-program yang belum berhasil diselesaikan hingga menjelang akhir tahun anggaran.
Secara umum, Dahkelan menyampaikan, di tingkat Provinsi Jatim, penyerapan anggaran hingga triwulan ketiga menunjukan kejomplangan (perbedaan yang jauh). Kejomplangan tesebut adalah besarnya angka belanja pegawai, yang mencapai 47 persen. Sementara, dia menambahkan, penyerapan untuk belanja barang dan jasa hanya 34 persen dan belanja modal hanya 19 persen.
“Ini artinya menunjukan, alokasi anggaran lebih besar tersedot oleh gaji dan berbagai tunjangan pegwai, sementara pencapaian pekerjaan masih rendah,” kata dia. [gat]

Tags: