Brand Bondowoso Republik Kopi Tak Lagi Tampak di FKN ke 4

M Fathorrazi

Bondowoso, Bhirawa
Seperti yang diberitakan sebelumnya, bahwa Pemerintah Kabupaten Bondowoso melalui Dinas Pertanian menyelenggarakan Festival Kopi Nusantara 4 yang berlangsung selama dua hari, yakni Jum’at sampai Sabtu (1 – 2/11) di Museum Kereta Api waktu lalu.
Namun dalam event bertaraf nasional itu, Pemkab Bondowoso sama sekali tak menyertakan Brand Bondowoso Republik Kopi (BRK). Tak lagi nampak, baik di panggung utama, stand, spot foto dan semua sisi lokasi acara. Padahal di event yang sama, tiga sebelumnya, brand ini menjadi sesuatu yang tak terpisahkan.
Pengamat Ekonomi, Dr. M. Fathorrazi, M.Si. menyebutkan perihal tidak digunakannya Brand BRK di FKN ke-4 kemarin. Bahwa itu lebih pada kebijakan politik, dan hal itu dianggapnya sah-sah saja. Namun dia menceritakan, bahwa pihaknya pernah melihat bacaan ‘Bondowoso Republik Kopi’ di salah satu bandara. Artinya Brand BRK ini sudah dikenal luas. Maka kata dia, akan menjadi sulit jika harus memulai dari awal.
“Tapi kalau saya sebagai pengamat. Sangat menyayangkan kalau itu tidak dilanjutkan, karena ini sudah tertanam luas di masyarakat Indonesia, di dunia,” paparnya. Apalagi BRK sudah punya Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Sayang kalau tidak digunakan,” ungkapnya.
Pria yang akrab dipanggil Fathor ini menyayangkan, jika Pemerintah Kabupaten Bondowoso benar-benar tidak lagi menggunakan Brand BRK. Mengingat brand BRK sudah punya nilai jual yang sangat bagus. Selama ini banyak orang menyebutkan, bupati Bondowoso sekaligus sebagai Presiden Bondowoso Republik Kopi.
“Menurut saya bukan hanya sukses, tapi sudah luar biasa. Artinya, masyarakat luas sudah mengerti bahwa Bondowoso adalah Republik Kopi. Hal semacam itu, kalau sudah dikenal, sayang sekali kalau tidak dilanjutkan,” katanya.
Apalagi, kata dia, Bondowoso ini didukung dengan sektor kopi yang melimpah. Maka keberlanjutan BRK ini, tak perlu diragukan lagi. “Kecuali kalau kita membuat branding baru, yang sama sekali masyarakat itu tidak ada tradisi. Tidak ada habitly, kebiasaan, maka jadi sulit,” ujarnya.
Sebagai pengamat ekonomi dia menyarankan, jika memang pemerintahan yang sekarang mau menjadikan Bondowoso sebagai Kota Tape, tidak lantas kemudian harus menghilangkkan Brand BRK. Dia juga memberikan penegasan, bahwa kehadiran BRK juga tak lantas menghilangkan Brand Bondowoso Kota Tape.
“Besanding saja berdua. Karena itu sama-sama faktor yang melimpah. Tape banyak, kopi juga banyak,” sambungnya. Dosen Universitas Jember (Unej) ini menjelaskan juga, bahwa menjual produk atau potensi daerah tanpa branding yang bagus, sangat sulit untuk dikenal oleh masyarakat luas.
“Kemudian value added atau nilai tambah itu nanti bisa diambil orang. Misalnya begini, kita punya suatu produk yang masih berupa barang antara. Kemudian difinishing di suatu daerah. Maka nanti akan terkenal sebagai produk daerah tersebut. Maka value added yang dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso, bisa dinikmati oleh orang luar,” tegasnya.
Lanjut Dr. Fathorrazi pun menjelaskan, bahwa kopi itu mempunyai ciri khas di setiap daerah. Misalnya di Situbondo punya Kopi Kayumas. Sementara di Bondowoso terkenal dengan Kopi Java Ijen Raung. Apalagi di sisi lain, didukung masyarakat Kabupaten Bondowoso yang punya habitly atau kebiasaan. Misalnya suka mengonsumsi kopi.
“Misalnya di Aceh. Ada kebiasaan kalau sudah malam kursi ditata di luar rumah. Ternyata itu digunakan untuk orang-orang cangkruk, minum kopi sampai pagi. Hal-hal semacam itu menjadi kebiasaan,” jelasnya.
Dia mencontohkan bahwa di Kabupaten Bondowoso ada Kampung Kopi Pelita, yang terletak di Jalan Pelita Kelurahan Tamansari. Menurutnya, lokasi yang sudah dikenal sebagai Kampung Kopi itu, penting untuk diperhatikan oleh pemerinntah setempat.
“Itu sesuatu yang luar biasa. Itu kan butuh biaya mahal, untuk mencapai ke sana. Itu seharusnya dilanjutkan. Karena kalau ini sukses, masyarakat kita yang sebagian pelaku kopi akan menuai manfaatnya,” saran Dr. Fathor.
Selain itu Dr. Fathor juga menilai, bahwa perkopian di Bondowoso cukup kuat, dengan banyaknya sektor penyokong. Misalnya dibentuknya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang diharapkan bisa mengorbitkan kopi. Di sisi lain kata dia, pemerintahan sebelumnya sudah membuka chanel pemasaran, hingga ke luar negeri atau ekspor.
“Untuk menghasilkan itu harus ada BUMD yang profit oriented. Yakni BUMD yang belinya di dalam, jualnya ke luar. Cuma harus benar-benar dikawal. Sehingga arahnya tidak menyimpang. Dan itu dibantu oleh Presiden SBY pada waktu itu. Presiden SBY itu sampai memperkenalkan Kopi Luwak Australia. Lalu ditanya, kopi tersebut dari mana?. Ternyata dari Bondowoso,” aku Dr. Fathor.
Bayangkan lanjut Pengelola Unej Kampus Bondowoso ini, Kopi Luwak Australia itu berasal Bondowoso. Jadi kata dia, sangat disayangkan jika tidak dikemas dengan brand yang sudah terkenal, dalam hal ini BRK.
Sementara di bidang pendidikan, Bondowoso juga disokong dengan adanya Unej Kampus Bondowoso, yang sengaja membuka Program Studi Perkebunan.
Bahkan, Prodi Perkebunan dan Peternakan sendiri hanya ada di Bondowoso. Sementara di Unej pusat, kedua Prodi itu justru tidak ada. Hal itu, bertujuan untuk mendongkrak perkebunan di Bondowoso.
“Makanya di pemerintah dilahirkan BUMD. Di akademisi dilahirkan Prodi terkait. Kemudian sistemnya di masyarakat sudah ada pemberdayaan koperasi, untuk melanjutkan kopi. Jadi ada banyak faktor yang mendukung terciptanya Bondowoso Republik Kopi (BRK),” pungkasnya.[san]

Tags: