Breeding Farm Harus Berkomitmen Jual DOC, Bukan Telur Konsumsi

11-rakor-unggasPemprov, Bhirawa
Dalam Rapat Koordinasi Perunggasan Tahun 2014 dilaksanakan di Hotel Equator Surabaya, Kamis (10/4)  kemarin, dihadiri 13 dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan di Jawa Timur, dua UPT Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur (UPT PT HMT Kediri dan Magetan), Biro SDA Pemprov Jatim, Biro Perekonomian Pemprov Jatim, Balai Besar Karantina Pertanian serta pelaku perunggasan di Jawa Timur.
Hasil dalam rapat tersebut, diantaranya menyatakan melarang adanya penjualan telur tetas dari breeding farm ke pasaran sebagai telur konsumsi. Sesuai izin usahanya, breeding farm harus menjual DOC (Day Old Chicks) atau anak ayam usia sehari komersial dan bukan menjual telur.
Rapat koordinasi itu merupakan upaya mencari solusi atas permasalahan sektor perunggasan berupa fluktuasi harga komoditas perunggasan (khususnya telur) dan menyeimbangkan kembali bisnis perunggasan di Jawa Timur yang merupakan tulang punggung nasional.
Kondisi itu juga sebelumnya menilik permasalahan utama saat ini yang terjadi di Jawa Timur, harga telur di tingkat peternak lebih rendah dari BEP (break even point) sementara demand (permintaan) telur konsumsi pangan tinggi perlu segera mendapatkan solusi untuk menyelamatkan peternak.
Hasil rapat lainnya, Kepala Dinas Peternakan Jatim, Ir Maskur juga memaparkan, dalam sektor perunggasan kini masih diperlukan pengendalian populasi melalui pembatasan kuota impor Grand Parent Stock dan Parent Stock (berdasarkan data supply dan demand perunggasan, red).
Selain itu, lanjut Maskur, diperlukan pembentukan industri pengolahan dalam bentuk egg powder dan egg liquid untuk menyerap telur tetas yang berlebih di pasaran untuk diekspor ke luar negeri.
“Pengelolaan dana APBN untuk pembentukan industri egg liquid untuk menyerap kelebihan telur dilakukan oleh perwakilan PINSAR (Pusat Informasi Pasar) Perunggasan di Blitar,” katanya.
Ditambahkannya, harus ada buffer pada daerah penghasil telur bila harga telur terpuruk.
Selain itu, juga harus membangun transparansi dengan cara pembatasan rasio pembudidaya unggas antara UKM dengan skala besar dengan rasio 60 persen UKM dan 40 persen skala besar.
Selanjutnya, pemerintah perlu punya peranan dalam menetapkan HPP telur dan daging unggas dengan syarat telur dan daging unggas ditetapkan sebagai bahan pangan pokok. Dan juga pemerintah terus menggalakkan gerakan konsumsi protein hewani (telur dan daging) yang sehat, murah dan mudah didapat.
Rapat koordinasi itu diawali dengan paparan Kepala Dinas Peternakan Jatim yang dilanjutkan dengan arahan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Syukur Iwantoro,  Dirjen PPHP Yusni Emilia Harahap, dan Ketua Federasi Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), Don P Utoyo. Diakhiri dengan diskusi untuk menghasilkan jalan keluar dari permasalahan unggas. [rac]

Kata Mereka
Syukur Iwantoro
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
“Kalau dikatakan swasembada, sektor unggas sudah swasembada baik dari dagingnya maupun telurnya. Saat ini, jika pasarnya hanya dalam negeri dan pelaku semakin banyak, maka indikasi persaingan semakin ketat. Hal itu bisa dilihat dari produk unggas baik daging maupun telur ditingkat konsumen itu harga relatif stabil, Justru hancurnya ditingkat peternak. Kondisi itu, maka bisa dilihat permasalahannya diantaranya harus memperbaiki tata niaganya yang dinilai tidak sehat. Bahkan, dari segi produksi, kualitas, dan kesehatan hingga higienitas tidak ada masalah. Memang problem berada di hilir, dan belum kondusif. Disisi lain, Indonesia kini akan menjajaki kembali kerjasama dengan Jepang.”

Yusni Emilia Harahap
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
“Dari hasil rapat koordinasi tersebut, sebenarnya dari semua peserta dari berbagai elemen sudah menyadari mengenai permasalahan yang sedang terjadi dan bisa mencari solusi jalan keluar yang akan ditempuh. Kini yang dibutuhkan adanya sebuah kepedulian dan komitmen bersama yang perlu dibangun baik mulai dari hulu mulai dari hilir. Misalkan jika terjadi over capacity, maka seharusnya sudah ada langkah selanjutnya dalam menangani hal itu, diantaranya perlu ada unit pengolahan. Memang perlu keterbukaan dan transparan dari berbagai pihak. Sehingga tidak ada lonjakan harga dan nilai tambah juga bisa didapatkan.”

Don P Utoyo
Ketua Federasi Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI)
“Dalam mengatasi permasalahan ini, tidak hanya diselesaikan melalui Kementerian Pertanian, tapi Kementerian Perdagangan juga turut andil didalamnya. Sehingga, ke depan bisa menyeimbangkan antara supply dan demand produk perunggasan ini, baik daging maupun telurnya. Sehingga di tingkat peternak, harga tidak menjadi jatuh.  Selain itu perusahaan peternakan juga mendapatkan keuntungan. FMPI juga mengajak Masyarakat Peduli Gizi (MPG) untuk selalu mengkampanyekan daging dan telur agar produksi terus berjalan dengan baik.”

Tags: