Budaya Baca Indikasi dan Karakter Bangsa

Oleh :
Dewi Ayu Larasati
Staf Pengajar di Universitas Sumatra Utara.

Milan Kundera, sastrawan Ceko, pemenang hadiah Nobel kesusateraan pernah berkata, “Langkah pertama untuk memusnahkan suatu bangsa cukup dengan menghapuskan memorinya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaannya dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau. Dunia sekelilingnya bahkan akan melupakannya lebih cepat.”

Alangkah relevannya pernyataan itu dengan persoalan kita dewasa ini. Bukan saja karena kita terbawa arusnya zaman globalisasi, juga karena kebiasaan dan minat baca lemah pada kita.

Membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan tingkat minat baca masyarakat dari beberapa hasil survei yang masih menunjukkan fakta memprihatinkan. Suatu hal yang sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan laju penggunaan internet dan media sosial yang trennya justru semakin menaik.

UNESCO pernah merilis, bahwa tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang hanya 1 yang minat membacanya baik (dikutip dari www.kominfo.go.id).

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah (dikutip dari laman tribunnews.com, 22/03/2021).

Hasil yang sama buruknya juga ditunjukkan oleh survei bertajuk “World Most Literate Nations” oleh Central Connecticut State University yang menempatkan Indonesia pada peringkat literasi ranking 60 dari 61 negara.

Itulah salah satu bukti budaya literasi di Indonesia masih sangat rendah. Angka membaca Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain di dunia.

Padahal untuk membentuk karakter suatu bangsa dapat dimulai dengan membangun kebiasaan membaca atau literasi. Karakter yang kuat tentunya diperlukan untuk menjadi bangsa yang maju. Tanpa karakter yang kuat, suatu bangsa hanya akan menjadi ‘bangsa pinggiran’, bangsa yang menjadi ajang eksploitasi oleh bangsa – bangsa lain yang lebih maju dalam percaturan global.

Saat ini, indikasi lemahnya karakter masyarakat Indonesia saat ini, khususnya generasi muda, terlihat dalam beberapa hal berikut ini.

Masyarakat Mudah Terjebak Budaya Instan

Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Ricardi S Adnan dalam bukunya Potret Suram Bangsaku (2006) pernah mengungkapkan bahwa potret manusia Indonesia adalah menyukai budaya instan dan konsumtif sehingga minim inovasi. Jika Jepang menganut prinsip first imitation then innovation, menurut Ricardi, orang Indonesia mengikuti prinsip imitasi saja, tanpa diikuti inovasi.

Oleh karenanya, bangsa yang memiliki budaya inovasi yang kuat pasti lahir dari bangsa yang memiliki budaya literasi yang kuat. Negara yang mayoritas masyarakatnya memiliki potensi yang baik dalam literasi, seperti Jepang, tidak akan kesulitan untuk selalu memperbaharui inovasi di bidang ilmu pengetahuan mengikuti perkembangan zaman modernisasi seperti sekarang.

Dengan karakter minat baca yang tinggi, alih-alih menggunakan gawainya seperti masyarakat Indonesia, mereka lebih memilih untuk membaca buku, majalah, atau surat kabar.

Sistem sosial seperti itu yang mendukung budaya dan kecerdasan, serta menimbulkan kesadaran terhadap segala macam isu dan problem yang berkembang di dunia.

Pesatnya teknologi informasi seperti yang terjadi saat ini, seharusnya bisa menjadi terobosan dalam meningkatkan budaya literasi di Indonesia. Sayangnya, masyarakat masih sangat minim dalam hal melek literasi. Gawai justru menjadi kemudahan untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang instan. Informasi yang didapat dari gawai pun sekadar untuk melengkapi tugas sekolah generasi muda dengan cara copy paste. Selebihnya gawai lebih banyak digunakan untuk game, medsos dan hiburan online lainnya.

Maraknya Kekerasan Verbal

Minimnya budaya baca atau literasi membangun karakter bangsa senang mengobral hujatan ketimbang berdebat di forum ilmiah. Akibatnya kekerasan verbal terjadi di media sosial, kerap dan sulit dibendung.

Kekerasan verbal tersebut jelas mengutamakan emosi, menyerang pribadi, atau suka menyalahkan orang saja. Serangan personal membuat individu semakin defensif, semakin emosional. Ketika itu terjadi, otak berhenti berpikir kritis dan rasional demi mendefenisikan kepentingannya sendiri. Hal ini jelas menimbulkan berbagai ketegangan, kegaduhan bahkan perpecahan.

Tingginya kekerasan verbal membuat Indonesia didapuk sebagai negara dengan tingkat kesopanan pengguna internet terendah di Asia Tenggara berdasarkan laporan “Digital Civility Index” yang dirilis Microsoft, akhir Februari lalu (dikutip dari cnnindonesia.com, 25/02/2021).

Sebagai bangsa yang beradab, kita seharusnya belajar menggunakan logika, berdebat dan berdiplomasi dengan cara yang santun dan beretika. Dengan budaya membaca, kita dapat berpikir kritis dan konsepsional.

Mudah Menerima Hoax

Minimnya minat baca menjadikan masyarakat kita mudah menerima hoax. Secara kultural masyarakat kita tergolong “oral society”. Budaya lisan masih melekat pada masyarakat Indonesia. Efek dari sebuah masyarakat yang secara kebudayaan lemah secara literasi lalu secara ekstrem menjadi pengguna medsos teraktif di dunia sering kali menimbulkan kekacauan-kekacauan sebagai akibat dari lemahnya daya baca dan klarifikasi atas apa-apa yang diberitakan media, terutama media sosial. Masyarakat pun dengan mudahnya menerima berita bohong, hoaks, dan sebagainya.

Pada masyarakat modern, budaya lisan atau tutur sudah tergantikan oleh baca dan tulis. Jadi, dengan demikian manakala kita ingin maju, masyarakat harus didorong untuk mau dan mampu membaca.

Slogan Hari Aksara Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 September seharusnya bukan hanya untuk mengingatkan kita akan pentingnya melek aksara bagi individu, komunitas, dan masyarakat, namun sejatinya mampu menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang literat, mampu berpikir kritis, memahami nilai budaya dalam konteks jati dirinya sebagai bangsa yang beradab. Hal inilah yang dapat membangun karakter bangsa yang sesungguhnya. Karakter yang tertanam kuat tentunya akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar.

———- *** ———-

Tags: