Budaya Literasi Bekal Melintasi Era Disrupsi

Oleh :
Imawati
Pegiat Literasi, Guru di SD Al Falah Darussalam, Tropodo Sidoarjo
Kita sedang berada di dunia yang serba canggih. Sepuluh tahun lalu, mungkin kita masih bangga berkomunikasi dengan short message service (SMS) dan telpon dengan pulsa regular. Sekarang telpon boleh dibilang gratis dengan aplikasi dari whatsapp (WA), tanpa beli pulsa regular. Sepanjang, ada paket internet maka dunia serasa sudah ada digenggaman.
Selalu akan ada sisi positif dan negatif atas perkembangan teknologi. Apakah kita takut dan akan menghindar atau menyatakan perang di era disrupsi ini? Janganlah, selain banyak sisi negatif kita juga menikmati banyak sisi positifnya bukan.
Dari banyaknya informasi yang di share di media sosial, maka angka melek huruf dan minat baca literasi tinggi. Otomatis. Menurut Unesco, angka melek huruf Indonesia sekarang sudah tinggi sekitar 95 persen. Tingkat melek huruf kaum muda bahkan lebih mengesankan di 99,67 persen. Namun demikian, indikator pendidikan masih kalah dengan Malaysia dan Thailand.
Nah dari data tersebut, yang dulu orang-orang terutama remaja malas untuk membaca buku sekarang semua orang sregep (rajin) baca. Meskipun baca dari layar handphone info di whatsapp, berita on line, beauty blogger dll. Literasi sudah pasti meningkat, kalau hanya tolak ukurnya dari baca dan tulis. Yang jadi pekerjaan rumah (PR) apakah zaman yang sudah canggih era disrupsi tolak ukur literasi hanya sedangkal itu? Tentu tidak, kita harus meningkatkan lagi targetnya menyesuaikan perkembangan zaman.
Hidup di Era Disrupsi
Disrupsi adalah perubahan menjadi suatu inovasi yang lebih berbasis teknologi (internet), di mana tidak lagi menggeser tapi sudah mengganti secara massif sistem lama menjadi baru. Pemain-pemain lama menjadi pemain baru. Perubahan massif menjadi suatu keniscayaan. Rhenald Kasali, pakar manajemen yang juga guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dalam bukunya The Great Shifting. Dalam buku tersebut banyak mengungkapkan apa itu disrupsi. Dengan gambaran sederhana tidak mempunyai mobil tapi bisa kemana-mana naik mobil. Tidak punya agen travel tapi bisa kemana-mana naik pesawat dan sewa hotel. Disrupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tercabut dari akarnya. Dengan kata lain perubahan dasar atau fundamental.
Berdasarkan fakta disrupsi yang ada di lapangan serasa corak kehidupan yang “tradisional” sudah tidak lagi berguna. Ternyata tidak, menurut The Great Shifting justru ada banyak sisi yang tidak bisa digantikan meskipun era sudah sangat canggihpun. Apakah itu? yaitu soft skills dan life skills. Ternyata jiwa dan hati manusia tidak bisa digantikan oleh apapun dan itu menjadi modal kita untuk menangkal sisi negatif dari disrupsi.
Seperti halnya dalam dunia pendidikan dengan pintarnya google serasa murid lebih membutuhkan google dan you tube untuk belajar daripada butuh seorang guru. Mencari materi yang susah dan melihat video eksperimen tinggal klik sudah selesai, bahkan pembelajaran lebih menarik. Pendidikan semakin canggih dengan banyak media pembelajaran digital. Bukan lagi what to learn tapi how to learn. Lalu apakah peran guru masih dibutuhkan?
Ternyata kita masih membutuhkan interaksi, komunikasi, adab, ilmu sopan santun, rasa empati, saling menyapa, saling tersenyum dll. Dan itu didapat dari guru di sekolah bukan on line. Terdengar mungkin hal yang remeh dan biasa, akan tetapi justru itu yang menjadi senjata paling ampuh untuk mengendalikan disrupsi. Seperti inti dari buku Rhenald Kasali lebih baik pegang kendali daripada dikusai. Dengan kemampuan soft skill dan life skill yang mumpuni kita bisa tetap mengendalikan efek negatif dari secanggih-canggihnya zaman.
Budaya Literasi
Setelah melek huruf sudah meningkat dan zaman sudah canggih, lalu apa korelasi disrupsi dan literasi? Salah satu contoh. Kita bisa tahu resume dan analsisis sebuah buku dari banyak blogger. Ada banyak macam-macam literasi diantaranya literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewarganegaraan. Yang kesemuanya itu bisa kita dapatkan contohnya dari internet.
Sekarang literasi tidak hanya sekedar bisa membaca dan menulis. Tapi lebih ke mencerna informasi dan bisa berkomunikasi. Banyak berita yang tidak benar beredar atau hoax. Dengan banyak membaca terutama berita yang up to date membuat cakrawala pemikiran kita luas dan dewasa.
Saat ini dengan gencarnya era disrupsi, pemerintah Indonesia mulai gencar menggaungkan BUdaya LIterasi KEluarga (Bulike). Literasi keluarga mengacu pada orang tua dan anak-anak (remaja). Mereka literasi bersama di rumah. Literasi bisa dimasukkan ke dalam agenda kegiatan rutinitas sehari-hari mereka. Dengan ancaman lingkungan dan dunia digital yang mulai “tidak kondusif”, keluarga sangat dibutuhkan. Dengan keluarga menghasilkan bounding yang baik antara anak-anak dan literasi.
Dengan meletakkan sejenak canggihnya dunia dan beralihlah ke konvensional alangkah nikmatnya. Coba kita amati, dulu setiap depan teras rumah bapak-bapak ditemani secangkir kopi dan tidak lupa koran di tangan. Sekarang hanya segelintir yang membaca koran, bapak-bapak sudah asyik membaca koran lewat HP dan menggeser-nggeser jari mencari berita on-line yang lain. Apakah salah? Tentu tidak ada yang salah mereka justru menikmati era disrupsi.
Nah, bagaimana seandainya kita kembali mengkonsumsi koran yang bisa kita pegang dan bolak-balik secara fisik. Tentu menumbuhkan kerinduan tersendiri bukan. Dengan lebarnya tiap halaman hingga menutup separoh badan kita saat kita membacanya. Dan tiap anggota keluarga berebut halaman koran yang disukai. Menggunting artikel yang penting dan dikoleksi di binder. Atau bahkan menggunting foto artis favorite kita dan menempelnya di kaca kamar kita. Sungguh nostalgia yang dirindukan.
Bagaimana kita bisa menghadirkan koran kembali sebagai wujud budaya literasi keluarga di rumah kita? Apakah dengan cara-cara di atas, boleh saja akan tetapi kita lebih mengemasnya menjadi lebih menarik dan modern.
Literasi di Ruang Keluarga
Budaya literasi keluarga merupakan salah satu solusi yang ampuh untuk menangkal berita hoax dan bisa juga untuk melatih kemampuan dalam berkomunikasi. Menyajikan koran di rumah bisa menjadi alat literasi. Tidak melulu dengan buku tebal yang identik membosankan.
Di dalam koran ada banyak macam berita. Ada tentang politik, pendidikan, kriminal, remaja dll. Dengan bermodal satu koran kita bisa membagi tugas dengan anggota keluarga yang lain. Misal si bapak membaca bagian politik. Ibu membaca bagian resep masakan dan fashion. Kakak tertua tentang kriminal dan pendidikan. Adik paling kecil belajar membaca judul berita.
Di saat makan bersama bisa di atas meja makan atau diruang keluarga, kita bisa meluangkan waktu untuk saling bercerita tentang berita yang kita baca hari ini. Handphone, TV, laptop bisa dimatikan sejenak untuk menghargai family time. Setiap anggota keluarga akan berkomunikasi dan belajar presentasi. Selain itu dengan rutin membaca habis koran maka kita bisa mengikuti aliran berita terbaru yang terjadi saat ini.
Misal koran yang dibaca kakak (anak remaja) tentang kriminal, ternyata benar banyak terjadi kejahatan seksual pembullyan tawuran dll yang ada dimasyarakat. Dan benar ada pihak polisi yang jelas mengusut dan mau menangkap mereka.
Dari banyak membaca kejadian peristiwa tersebut maka si kakak ketika akan melakukan hal yang dilarang, ia akan berpikir seribu kali. Betapa malu orang tua dan rugi bagi dirinya sendiri juga jika hal itu menimpa dirinya.
Setidaknya ketika ia “presentasi” di tengah keluarga nasihat dari orang tua lebih masuk dalam hati dan menjadi pegangan ia saat bergaul di manapun. Karena sehebat apapun nasihat kalau tidak ada rem dan sadar dari dalam diri sendiri maka semua akan sia-sia.
Dengan pembiasaan literasi, presentasi, dan berkomunikasi maka bounding keluarga akan semakin erat. Hanya butuh waktu 30 menit sehari saja, kita bisa bercengkrama lewat literasi koran. Jika tiap keluarga melakukan budaya literasi keluarga maka generasi bangsa tidak akan merasa yatim piatu di kelurga yang utuh sendiri. Berorangtua tapi serasa tidak ada orang tua. Serta kengan keluarga dan literasi bisa meminimalisir efek buruk dari dunia maya zaman sekarang. Mari bersama-sama kita kembalikan dan hadirkan kembali para keluarga hebat di Indonesia.
———— *** —————

Tags: