Budaya Literasi Bukan Pameran

nur-kholis-hudaOleh : 
Nur Kholis Huda, MPd
Guru SDN Jetis III Lamongan

Berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan GLS (Gerakan Literasi Sekolah). Kata yang digunakan adalah menumbuhkan, bukan menanamkan. Karena pada pada dasarnya, anak sudah mempunyai modal dasar budi pekerti. Pelaksanaan gerakan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat membaca dan menulis pada siswa.
Salah satu kegiatan yang digalakkan dalam GLS adalah kegiatan 15 menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Tujuannya, meningkatkan keterampilan membaca, agar pengetahuan dapat dikuasai lebih baik. Materi baca pada buku bisa berupa nilai-nilai budi pekerti, kearifan lokal, nasional, dan global, sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Menindaklanjuti Gerakan Literasi Sekolah (GLS), sudah banyak sekolah yang menerapkan kegiatan-kegiatan dalam mendukung terwujudnya gerakan tersebut. Masyarakat sudah dapat melihat bentuk kegiatan yang dimaksud baik di level pendidikan dasar hingga menengah.
Kita perlu memahami makna dari penumbuhan budi pekerti melalui budaya literasi itu sendiri. Kegiatan literasi tidak hanya identik dengan aktivitas membaca dan menulis saja. Literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. GLS merupakan gerakan sosial yang harus mendapat dukungan kolaboratif berbagai elemen.
Memang benar, salah satu kegiatan yang dicontohkan dari pemerintah dalam GLS, yaitu berupa pembiasaan membaca peserta didik selama 15 menit. Namun dalam pelaksanaannya di sekolah, masih banyak terjadi salah persepsi dalam memaknai kegiatan membaca ini sebagai wujud budaya literasi.
Masih banyaknya sekolah yang hanya berpatokan pada kegiatan membaca saja, namun bukan kegiatan budi pekerti yang ditumbuhkan. Seakan budaya literasi ini hanya sebuah “pameran”. Bagaimana tidak, siswa diarahkan menuju ke tengah lapangan dengan duduk berjajar yang kemudian membaca buku secara bersama. Dengan begitu, seakan apa yang diharapkan dalam literasi ini tercapai.
Hal semacam ini hanya akan menjadikan ajang pameran, bahwa sekolah yang bersangkutan sudah melaksanakan budaya literasi. Kita juga perlu memaknai penumbuhan budi pekerti dan budaya literasi ini secara utuh. Budaya literasi harusnya ditumbuhkan dengan rasa kesadaran. Lantas, bagaimana kesadaran itu tumbuh? Di situlah peran guru menjadi sentral.
Peran Guru
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru pada semua mata pelajaran. Dalam semua pembelajaran apapun, membutuhkan bahasa, aktifitas membaca dan menulis. Sesuai dengan prinsip-prinsip GLS, pelaksanaan budaya literasi harus disesuaikan dengan pertumbuhan karakteristik siswa dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Jika memang gerakan membaca selama 15 menit dengan membaca buku non pelajaran dilaksanakan, hendaknya guru juga mempertimbangkan hal-hal yang dapat mengarahkan siswa terhadap kegiatan yang dilaksanakannya.
Misalnya, memberikan arahan jenis buku yang dibaca sesuai dengan pertumbuhannya. Jangan sampai anak membaca buku non pelajaran, tapi sangat jauh menyimpang dari apa yang menjadi tujuan awal. Yakni, tentang budi pekerti dan kearifan lokal ataupun nasional.
Guru juga perlu melakukan pendampingan dan pembimbingan dalam pelaksanaan gerakan tersebut. Pada anak sekolah dasar, misalnya. Bisa dengan cara guru membaca dengan keras, yang diikuti oleh siswa yang membaca dalam hati. Jadi, yang diharapkan dalam kegiatan ini adalah tumbuhnya kebiasaan budi pekerti yang terarah. Bukan sekadar melaksanakan seremoni atau formalitas.
Sebagai pendidik, sudah semestinya guru tidak hanya menerima perbedaan, namun turut merayakannya dalam agenda literasi sekolah. Buku-buku bacaan yang disediakan untuk bahan bahan bacaan peserta didik harus bisa merefleksikan kekayaan Bangsa Indonesia. Supaya, peserta didik mengenal pada aspek multikulturalisme nasional sevariatif mungkin.
Ruang Baca
Kegiatan membaca perlu dilakukan pada kondisi yang memungkinkan atau mendukung pelaksanaannya. Untuk itu, yang juga perlu ditekankan adalah keberadaan ruang baca yang kondusif. Keasyikan membaca bisa lahir dari sudut baca kelas atau di taman baca perpustakaan. Bisa juga, muncul dari titik lain, seperti, taman sekolah. Yang jelas, harus ada spot yang nyaman bagi siswa untuk melahap buku-buku.
Ada banyak kegiatan literasi sekolah yang dilakukan di halaman sekolah dengan duduk berjajar. Dilakukan oleh anak sekolah dasar yang jumlahnya banyak, dan memiliki kecenderungan suka bermain-main. Imbasnya, tak sedikit siswa yang malah bercanda bahkan tiduran di halaman, karena mereka menganggap halaman tersebut seperti ruang bebas.
Sebagai wujud dukungan terhadap penumbuhan budi pekerti yang diwujudkan dalam GLS, kegiatan-kegiatan pendukung yang dilaksanakan sekolah memang sangat diperlukan. Akan tetapi, sekali lagi, kita perlu mengingat bahwa GLS perlu mempertimbangkan banyak aspek di semua tahapan. Mulai dari segi pelaksanaan, pembimbingan, dan pemilihan ruang baca yang tepat. Sehingga, kita semua bisa berharap banyak dari kegiatan ini. Yakni, terciptanya masyarakat yang berkarakter dan berbudi pekerti.
Keseriusan dalam tahap perencanaan sampai pelaksanaan yang berkelanjutan adalah kunci. Jangan sampai GLS hanya terjebak pada simbol. Sedangkan keberlanjutannya nihil. Tujuan utamanya meleset. Kalau sudah begitu, bangsa ini tidak akan becus menancapkan budaya membaca pada relung hati anak-anak.

                                                                                                                ————- *** ————-

Rate this article!
Tags: