Budidaya Kembang Pacar Banyu di Sumobito, Jombang

Siati, salah seorang petani Kembang Pacar Banyu sedang menanen di lahan miliknya di Dusun Trawasan, Desa Trawasan, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. [arif yulianto]

Hanya untuk Kebutuhan Ziarah, Harga Jual Naik pada Waktu-waktu Tertentu
Kab Jombang, Bhirawa
Kisah petani yang membudidayakan Kembang Pacar Banyu, mungkin tak seperti petani pada umumnya yang menanam tanaman padi atau hortikultura. Budidaya bunga ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Apalagi diwaktu-waktu tertentu, harga Kembang Pacar Banyu bisa menjadi sangat mahal. Salah satu daerah yang membudidayakan adalah di Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang.
Pacar air atau dalam bahasa Latin Impatiens balsamina adalah tanaman yang berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara, namun telah diperkenalkan ke Amerika pada abad ke-19. Tanaman ini adalah tanaman tahunan atau dua tahunan dan memiliki bunga yang berwarna putih, merah, ungu, atau merah jambu.
Bentuk bunganya menyerupai bunga anggrek yang kecil. Tinggi tanaman ini bisa mencapai satu meter dengan batangnya yang tebal namun tidak mengayu dan daunnya yang bergerigi tepinya. Tanaman ini tidak dapat hidup di lingkungan yang kering. Berbagai bagian tanaman ini biasa digunakan sebagai obat tradisional.
Menurut salah seorang petani kembang Pacar Banyu di Dusun Trawasan, Desa Trawasan, Sumobito, Kabupaten Jombang, Siati, harga jual Kembang Pacar Banyu miliknya memiliki harga jual lumayan mahal pada waktu-waktu tertentu. Seperti pada waktu maleman menjelang Idul Fitri, ataupun pada hari menjelang malam Jumat legi yang mencapai Rp15 ribu per tiga taker (wadah) plastik kenduri. Untuk waktu lain di luar waktu-waktu tadi, harga jual Kembang Pacar Banyu, hanya berada pada kisaran harga Rp4 ribu hingga Rp5 ribu per tiga taker.
Siati memiliki lahan yang ditanami kembang Pacar Air berukuran lebar sekitar 2,5 meter dengan panjang 100 meter, tepatnya di sisi selatan jalan beraspal antara Desa Tugusumberejo, Peterongan dengan Desa Trawasan, Sumobito. Dia sudah dua tahun terakhir menanam tanaman tersebut. “Awalnya biji kembang ini beli di Dukuh Klopo (Kecamatan Peterongan). Ini harus disemai dulu, kemudian setelah siap benih siap dipindah, ditanam di lahan,” tutur Siati.
Ibu tiga anak ini mengatakan, butuh waktu sekitar 20 hari sejak disemai, baru benih Kembang Pacar Banyu bisa di pindah ke lahan. Di lahannya kini terdapat berbagai warna Kembang Pacar Banyu.
Tampak Kembang Pacar Banyu warna merah lebih dominan ditanam di sini. Selebihnya, ada warna putih, merah muda, maupun putih bersirat warna ungu. Setelah tanaman yang telah ditanam di lahan berumur sekitar 40 hari, kuncup-kuncup kembang sudah mulai muncul.
“Kalau sudah umur seminggu, dipupuk, dikocor, total empat kali pemupukan dari taman sampai panen. Nanti kalau sudah umur 40 sudah mbelik’i (muncul kuncup bunga), tapi masih jarang-jarang,” jelasnya.
Jika tanaman memasuki umur sekitar 60 hari setelah tanam, lanjut Siati, lahan miliknya sudah terlihat penuh dengan bunga yang mekar. Saat ini, mayoritas tanaman Kembang Pacar Banyu miliknya sudah beberapa kali menghasilkan bunga, bahkan sudah hampir memasuki usia akhir. Tampak sebagian tanaman berusia tua di lahannya sudah digantikan tanaman muda yang kurang lebih sudah tertanam umur seminggu.
Siati mengaku, ia dan suaminya menjual kembang-kembang itu ke Pasar Mojoagung, dan Peterongan, Jombang. Kecuali jika waktu-waktu tertentu seperti Megengan (menjelang bulan puasa Ramadan), ataupun musim maleman (malam-malam ganjil Ramadan), banyak bakul yang datang untuk membeli kembangnya.
“Kalau hari-hari seperti sekarang, tiga taker cuma 5 ribu rupiah. Kalau pas prepegan (musim ziarah) tiga taker bisa 10 sampai 15 ribu rupiah. Karena hanya sekali, ndak seperti pelanggan yang mengambil tiap hari,” kata Siati.
Jika telah memasuki masa panen, di kembang-kembang milik Siati bisa dipanen dua hari sekali, dengan hasil 1 glangsing (karung plastik) setiap kali panen. Bahkan bisa 2 glangsing jika pas puncak panen. Jika di ukur dengan taker, satu glangsing kembang sama dengan 60 taker. “Kalau harga murah meski 2 glangsing ya lumayan, bisa buat nempur (beli beras). Gimana lagi, karena bapaknya (suaminya) sudah tidak kuat bekerja lain,” ucapnya. [Arif Yulianto]

Tags: