Bukan Negara Palsu

Atok Miftachul HudhaOleh :
Atok Miftachul Hudha
Pengajar FKIP dan Trainer P2KK Universitas Muhammadiyah Malang

WHAT IS indeed a study destination? Obviously the goal is to first of all get the science, not a job, let alone academic degrees. That is the essence of education.
Apakah sesungguhnya tujuan menuntut ilmu? Jelas sekali tujuannya pertama-tama ialah mendapat ilmu, bukan pekerjaan, apalagi gelar akademik. Itulah hakikat pendidikan. Dengan ilmu, orang bisa mendapat pekerjaan. Karena ilmu yang dimiliki, seseorang berhak menyandang suatu gelar akademik. Akan tetapi, banyak orang membolak-balik hakikat menuntut ilmu. Yang mereka kejar pertama-tama ialah ijazah dan gelar akademik. Ilmu bahkan mereka singkirkan dari daftar utama tujuan pendidikan.
Proporsi Ilmu Vs Gelar
Di dunia pendidikan tinggi, pola berpikir terbalik seperti itu cuma memproduksi orang bergelar akademik, tapi tak berilmu. Orang yang berpikir terbolak-balik tersebut gemar mengoleksi gelar akademik di depan dan di belakang namanya, tapi otaknya kosong melompong.
Sistem sosial di negara ini ikut mendorong lahirnya orang-orang yang gemar mengoleksi gelar. Kita cenderung lebih menghargai dan menghormati orang karena gelar, bukan ilmunya.
Pejabat negara, apalagi pejabat di lembaga akademik, merasa kurang dihargai dan diakui masyarakat bila tak bergelar. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang mengejar gelar. Entah kapan mereka kuliah, tahu-tahu terpampang gelar pada nama mereka. Yang celaka ialah bila mereka mendapat gelar tanpa mengikuti kuliah, tetapi dengan membeli ijazah. Itu jelas ijazah palsu. Jumlah orang yang ingin mendapat ijazah atau gelar akademik secara instan itu tak sedikit.
Apalagi, sistem rekrutmen dan penaikan pangkat atau golongan di instansi pemerintah  terlalu formalistis, mensyararatkan ijazah atau gelar, tanpa memeriksa dengan saksama keabsahan ijazah itu. Bukan tidak mungkin banyak pejabat palsu di institusi pemerintah karena ijazah mereka juga palsu. Dari sisi ekonomi, ada pasar besar bagi bisnis atau jual beli ijazah dan gelar palsu itu.
Bermunculanlah universitas abal-abal yang obral ijazah dan gelar. Bahkan beberapa di antaranya mengaku punya afiliasi dengan perguruan tinggi tersohor di luar negeri. Praktik jual beli ijazah dan gelar palsu sesungguhnya bukan perkara baru. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang baru-baru ini mendapat pengaduan ihwal banyaknya perguruan tinggi yang menerbitkan ijazah palsu membuat perkara lama itu mencuat kembali.
Kita semestinya menjadikan hal itu sebagai momentum untuk membenahi sistem  pendidikan tinggi kita. Yang paling penting kita lakukan ialah mengubah cara pandang kita  yang formalistis menuju cara pandang yang substantif. Cara pandang itu ialah bahwa substansi menuntut ilmu bertujuan memperoleh ilmu, bukan mendapat ijazah atau gelar formal belaka.
Sekolah atau kuliah merupakan upaya institusionalisasi program pendidikan. Konsekuensinya, produk yang dilahirkan akan mengalami formalisasi oleh negara. Bentuknya adalah sertifikasi kemampuan akademik dan bahkan profesional melalui penyematan ijazah sebagai tanda tamat belajar.
Namun, ujung proses pendidikan adalah memanusiakan manusia melalui pengembangan dan penguasaan kemampuan serta keahlian tertentu. Istilah terkininya adalah kompetensi. Juga, pendidikan sejatinya berorientasi untuk menumbuhkan potensi keterampilan personal-sosial peserta didik yang diperlukan untuk kehidupan ke depan (life skill). Nah, ijazah merupakan ukuran simbolis atas penguasaan kompetensi yang dimaksud.
Ironi besar segera muncul saat ijazah direduksi hanya sebatas formalitas tanpa substansi. Praktiknya, ijazah diberikan hanya untuk kepentingan gagah-gagahan. Kepentingannya untuk menambah kemewahan formalitas semu pribadi. Apalagi formalitas itu berproses melalui mekanisme instan, culas, dan berorientasi bisnis material belaka.
Praktik jual beli ijazah yang kini kembali menyeruak melalui sejumlah kasus di perguruan tinggi menyadarkan bahwa ironi besar tersebut bukan isapan jempol. Sebanyak 18 kampus di Jabodetabek dan satu lagi di NTT dilaporkan Kemenristek Dikti telah melakukan praktik jual beli itu.? Ijazah S-1 diperjualbelikan dengan kisaran harga Rp 16 juta-Rp 25 juta. Kini Kemenristek Dikti menelusuri praktik jual beli ijazah tersebut.
Kasus jual beli ijazah itu mengingatkan kita pada kasus serupa di beberapa kota pada 2008. Istilah populer untuk menggambarkan kasus tersebut saat itu adalah ”sarjana bodong” atau ”mahasiswa dan sarjana gadungan”. Kasus-kasus itu tidak saja terjadi di kampus swasta, melainkan juga di kampus negeri.
Kasus jual beli ijazah tidak menjadi dominasi nomenklatur keilmuan tertentu. Pada 2008, jual beli ijazah terjadi pada program studi yang terkait dengan teknologi dan kedokteran. Kini praktik itu kebanyakan terjadi di jurusan-jurusan yang terkait dengan ilmu ekonomi dan hukum.
Membereskan Pemalsuan
Itu semua menjelaskan bahwa praktik culas jual beli ijazah terjadi hampir merata di berbagai disiplin keilmuan. Karena itu, terasa mendesak bagi kita semua untuk menelaah dan merefleksikan kembali filosofi serta substansi dasar konsep ijazah. Penelaahan ini penting dilakukan agar bisa menjadi bahan baku sekaligus langkah awal untuk membenahi moral pendidikan tinggi nasional.
Sistem ijazah, awalnya, memang merupakan proses dan bentuk sertifikasi personal (personal certification). Yakni, pemberian otoritas akademik lebih didasarkan pada kredibilitas personal seorang individu dan dilakukan melalui jaringan personal. Namun, dalam perkembangan berikutnya, sertifikasi kelembagaan (institutional certification) menguat.
Ijazah diproporsikan sebagai bentuk otorisasi yang menunjuk pada ketepercayaan dan penjaminan menjadi suatu tradisi dan kompetensi tertentu yang kemudian ditransmisikan atau dialihkan melalui jaringan tepercaya lintas generasi. Mekanisme ijazah seperti itu penting untuk menjamin sistem transmisi otoritas akademik dan ketersambungan otentisitas. Sebagai refleksi atas kondisi saat ini, praktik pemberian ijazah selayaknya menunjuk pada dua makna mendasar.
Pertama, pemegang ijazah berarti bahwa kompetensinya pada bidang yang ditekuni sudah diakui. Pengakuan atas kompetensi itu menunjukkan bahwa penguasaan yang bersangkutan terhadap standar kemampuan yang diinginkan diakui secara formal.
Kedua, pemegang ijazah berarti bahwa otoritasnya dalam bidang yang dikuasai dianggap sudah terjamin. Sebagai akibat langsung dari penjaminan otoritas yang dimaksud, pemegang ijazah diakui sangat layak dijadikan referensi bagi standardisasi kemampuan dan keterampilan apa pun yang terkait dengan bidang yang ditekuni.
Mengacu pada prinsip tersebut, praktik jual beli ijazah hanya akan meruntuhkan substansi ijazah yang begitu luhur. Tidak ada manfaat substantif dari praktik jual beli ijazah kecuali justru membanting harga kemanusiaan bangsa ini. Kalau praktik culas jual beli ijazah tersebut tidak ditangani serius, pendidikan yang sejatinya memanusiakan manusia justru akan menjerumuskan manusia ke jurang kehinaan karena praktik hidup tanpa makna substantif.
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mesti membubarkan perguruan tinggi abal-abal yang memproduksi dan memasarkan ijazah dan gelar akademik palsu. Pemalsuan jelas tindakan kriminal. Oleh karena itu, Polri harus mengambil langkah hukum  terhadap semua yang terlibat di dalamnya.
Setelah beras palsu, kasus ijazah palsu telah menambah daftar yang palsu-palsu di negara ini. Oleh karena itu, kita harus serius membereskan ijazah palsu, juga beras palsu, dan segala yang palsu-palsu lainnya, karena kita bukan negara palsu.

                                                                                                   ————————- *** ————————–

Rate this article!
Bukan Negara Palsu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: