Bukan Sekadar Penutup Kepala

Oleh :
Heru Patria

Hari ini, untuk kesekian kalinya Anisa pulang sekolah dengan berurai air mata.Penyebabnya tetaplah sama. Tak tahan dengan ledekan teman-temannya. Teman yang dulunya baik dan kompak sama dia. Hingga membentuk genk yang bernama Sawita, yang merupakan singkatan dari nama mereka, yakni: Anisa, Wikantari, dan Thalia.
Namun sejak Anisa memutuskan untuk memakai jilbab dua Minggu yang lalu, suasana jadi berubah.Wikantari dan Thalia tak mau lagi bergaul dengan Anisa.Bahkan tiap kali bertemu, mereka selalu meledek Anisa.
“Hai, Anisa! Ngapain sekarang kau dandan seperti ibu-ibu mau kondangan?Pakai jilbab segala.Buat nutupi rambutmu yang sekarang berketombe, ya?” ledek Thalia.
“Atau lebih parah dari itu, kali ….” Tambah Wikantari.
“Apaan, Wikan?”
“Ya siapa tahu jilbabnya itu untuk menutupi telinganya yang sekarang tinggal sebelah.”
Hahahaha! Wikantari dan Thalia tertawa ngakak.Sementara Anisa wajahnya kian memerah menahan amarah. Ingin sebenarnya ia meladeni atau bahkan melawan ledekan kedua bekas teman dekatnya ini. Namun kalau itu ia lakukan, itu berarti ia tidak ada bedanya dengan mereka. Padahal niatnya pakai jilbab karena ia benar-benar ingin berubah jadi wanita yang solehah. Makanya ia pilih diam saja.
“Anisa, di sekolah ini kita sudah terkenal sebagai cewek gaul dan centil, tapi sekarang kau dandan kayak gini?Memang dengan berjilbab, tidak ribet tuh segala sesuatunya?Mana pakai rok panjang lagi,” goda Thalia tak henti-henti.
“Atau sekadar cari muka ya, biar dibilang alim, gitu?”tambah Wikantari pula.
Anisa tetap diam. Sambil memegang ujung jilbab putihnya, ia berlari ke dalam kelas. Di rumah, barulah iamenumpahkan kekesalan hatinya lewat air mata. Kalau sudah begini, ibunyalah yang jadi penenang hatinya.
“Nisa, tidak perlu kau dengarkan cemooh dan olok-olok temanmu itu.Mereka berbuat begitu karena mereka belum memperoleh hidayah dari Allah. Suatu saat jika mereka sudah dibuka hatinya oleh Allah, pasti mereka justru akan mengikuti jejakmu. Ingat Nisa, apa yang kau alami sekarang hanyalah cobaan. Jadikan itu sebagai cambuk agar kau tetap bertahan dalam jalan kebenaran.”
Mendengar kata-kata dan nasehat ibunya yang bijak, Anisa merasa sedikit tenang. Namun, bila ingat ledekan teman-temannya, rasanya ia tak sanggup lagi. Bahkan sempat terbersit keinginannya untuk menanggalkan kembali jilbab putihnya agar bisa bergabung kembali dalam tawa dan canda dengan mereka.

****

Pagi itu, Anisa baru saja hendak meletakkan tas di laci bangkunya ketika Widianto teman satu kelasnya Wikantari datang menghampiri.
“Anisa, kau sudah dengar belum?”
“Dengar soal apa, Wid?”
“Wikantari.”
“Wikantari??” ulang Anisa tak mengerti.
“Iya.”
“Ada apa dengan Wikantari?”
“Ia terkena musibah.”
“Musibah apa?”
“Begini Nisa, tadi malam ia bermaksud mengerjakan PR di rumahku. Ya, seperti biasa, ia keluar dengan pakaian mininya yang ketat. Nah kiranya di tengah jalan ada orang jahat yang sedang mabuk dan jadi tergoda dengan penampilannya itu.Maka ia pun hampir menjadi korban pemerkosaan.”
“Astagfirllah haladziim, lalu?”
“Tapi untunglah ada warga yang memergokinya.Ia pun selamat karena ditolong oleh ibu-ibu yang mau berangkat yasinan.”
“Alhamdulillah!Terus sekarang di mana dia?”
“Di Puskesmas, ia sock berat dan belum sadarkan diri.”
“Kalau begitu nanti pulang sekolah antar aku menjenguknya, ya Wid?”
“Buat apa? Sekarang ia kan sudah tak menganggapmu teman lagi. Ia juga selalu merendahkanmu.”
“Tidak apa-apa, Wid. Itu karena ia belum mendapat petunjuk dari Allah. Sekarang ia sudah mendapat teguran dari Allah, siapa tahu ia akan berubah. Lagipula kalau aku ikut mendendam, lalu apa bedanya aku sama dia?”
“Iya, ya.Kau benar-benar gadis yang baik, Anisa.Jilbab putihmu benar-benar mencerminkan hatimu.Kau memang pantas memakainya,” puji Widianto membuat pipi Anisa memerah jambu.
“Semua wanita pantas pakai jilbab selama tidak sekedar dijadikan penutup kepala saja.”Anisa berkilah.
“Iya,yatapi maaf, kalau hari ini aku belum bisa mengantarmu ke Puskesmas. Nanti aku harus mengantar ibuku belanja.”
“Ya sudah, lain waktu saja.”
“InshaAllah.”

****

Anisa baru saja selesai sholat ashar ketika terdengar ketukan di pintu rumahnya. Karena itu setelah berdoa sebentar, tanpa melepas mukenanya, ia pun membuka pintu untuk tamunya. Alangkah terkejutnya Anisa saat pintunya sudah terbuka.Ternyata yang datang adalah Wikantari.Satu hal yang membuatnya lebih tercengang lagi, saat itu Wikantari sudah tidak lagi mengenakan pakaian mini dan ketat yang selama ini dibanggakannya.Ia tampil dengan busana muslim yang panjang, lengkap dengan jilbab pula.
Masih dengan rasa penasaran yang hebat, Anisa segera mengajak Wikantari masuk dan duduk diruang tamu. Segelas air putih segera pula ia hidangkan untuk tamunya.
“Lho, kau kan masih sakit, ada apa kemari, Wikan?” tanya Anisa memulai pembicaraan.
“Aku hanya hanya ingin minta maaf padamu, Nisa.”
“Minta maaf, soal apa?”
“Ya, soal sikapku.Selama ini aku selalu menghinamu karena kau memakai jilbab itu.Bahkan sampai mengatakan kalau telingamu tinggal sebelah. Sekarang aku sadar bahwa cara berpakaian yang salah bisa mengundang musibah. Penampilanku yang terlalu seksi, mengundang birahi orang jahat sampai hendak memperkosaku.Mungkin semua itu adalah teguran dari Tuhan.Karena itu mulai hari ini, aku ingin bangkit dan merubah semua itu.Aku akan ikuti jejakmu untuk berpakaian sesuai ajaran agama Islam dan juga berjilbab.”
“Alhamdulillah, kalau kau punya niat seperti itu.”
“Ya, ini semua berkat kau, Nisa.Jadi maafkan aku, ya?”
“Iya, aku sudah memaafkanmu sebelum kau memintanya.Kau tidak salah, cuma belum mengerti waktu itu.”
“Terima kasih, mulai hari ini aku akan menemanimu berjilbab.”
“Ya, tapi kalau mau berjilbab jangan karena aku, tapi karena Allah semata.”
“Iya Nisa, inshaAllah aku mengerti itu.”
“Syukur, deh.”
Wikantari ikut tersenyum.Walau wajahnya masih tampak agak pucat, tapi dengan berjilbab senyumnya sudah enak dilihat.
Kejadian itu membuat semangat Anisa untuk terus berjilbab bangkit semakin tinggi.Ia tahu, jilbab bukan sekedar hiasan kepala, tapi lebih dari itu, jilbab adalah cerminan jiwa dan kepribadian seorang wanita muslim. Jadi dengan berjilbab akan membawa konsekuensi dan tanggung jawab moral yang tinggi.
Apalagi kalau jilbabnya putih, sang pemakai harus berhati bersih. Tidak mudah menyerah untuk melepaskan jilbabnya, meskipun orang-orang terdekat meledek dan mencela. Karena jilbab putih akan menguatkan iman dan hati agar semangat hidup yang mencerminkan nilai keislaman terus bangkit dan tak pernah surut lagi.
Sebelum pamit, Wikantari memeluk Anisa dengan erat seolah mengharap tambahan semangat.Semangat jilbab putih untuk membangkitkan kesadaran umat.Sejak itu selalu berkibarlah jilbab putih mereka seolah mengajak semua wanita didunia untuk memakainya.
Agar jilbab menjadi pengikat cinta sesama manusia.

———— *** —————

Tentang Penulis :
Heru Patria
Nama pena dari Heru Waluyo seorang novelis dari Blitar yang juga suka baca dan nulis puisi. Puisi dan cerpennya banyak dimuat di buku antologi nasional serta berbagai media cetak dan online.

Rate this article!
Tags: