Bulutangkis (bisa) Bangkit

Bulutangkis (bisa) BangkitCukup lama tim-nas bulutangkis tidak menaiki podium tertinggi pada ajang piala Thomas (dan Uber Cup). Sebelum dekade awal 2000-an, Indonesia adalah pemegang supremasi bulutangkis dunia, pada seluruh even. Thomas Cup, All England, sampai Olympiade, tiada yang bisa menandingi tim Merah-Putih. Tetapi memasuki abad XXI, bulutangkis Indonesia seolah-olah keletihan menjadi juara. Maka dibutuhkan re-kreasi untuk membangkitkan prestasi.
Walau kalah 2-3 dengan Denmark, pada perebutan Thomas Cup 2016 di Kunshan, Tiongkok. Tetapi pelatnas bulutangkis Cipayung, telah berada di track yang benar. Yakni, regenerasi. Bukan sekadar memasukkan potensi muda ke pelatnas, melainkan juga menghadirkan generasi penerus pada momentum bergengsi. Bisa bermain pada ajang super series, Thomas Cup sampai All England. Seperti dialami tiga generas penerus pada piala Thomas 2016.
Kesalahan pelatih, kelewat percaya pada konsep regenerasi, tetapi melupakan tujuan utama kontingen, menang! Seharusnya, diantara tiga tunggal, masih diselipkan yang cukup senior sebagai pembuka laga. Mestinya, tunggal pertama dilakoni oleh Tommy Sugiarto. Sebab pada even bergengi internasional, “jam terbang” menjadi penentu. Ingat, regenerasi yang dilakukan timnas Tiongkok, masih mengandalkan pemain senior.
Memang tidak mudah menjadi supremasi olahraga. Lebih sulit lagi mempertahankan. Paradigma ini bukan hanya pada bulutangkis, melainkan pada seluruh cabang olahraga. Prestasi olahraga hanya bisa tercipta dengan tiga faktor. Yakni potensi bakat (individu), latihan secara sistemik, dan anggaran pembinaan besar. Artinya, negara yang memiliki kekayaan tiga unsur itu, pasti akan menjadi supremasi olahraga. Contohnya, Amerika Serikat dan China.
Pada Olympiade (2012) lalu, China sudah menjadi juara umum sampai H-1. Walau diakhir Olympiade China tergeser pada posisi kedua oleh AS. Namun selisih perolehan medali sangat tipis. China cuma kalah 4 medali emas dan 6 perunggu. Tetapi ini sudah menjadi warning pada olimpiade berikut (2016), bahwa China siap menjadi juara umum.
Dunia juga meyakini paradigma, bahwa prestasi ke-olahraga-an inharent dengan tingkat kemakmuran suatu bangsa. Makin tinggi pertumbuhan ekonominya, akan langsung mengatrol prestasi olahraga. Ironisnya, yang dialami Indonesia adalah surutnya pertumbuhan ekonomi sejak akhir dekade 1990-an. Dan benar, prestasi olahraga pada ajang internasional makin merosot drastis. Terutama bulutangkis, makin jarang mencapai podium tertinggi.
Podium tertinggi terakhir adalah runner-up All England 2014. Kejuaraan badminton paling bergengsi ini memberi dua medali emas sekaligus. Keduanya pada nomor ganda (putra dan campuran). Tetapi RRC memang masih merajai badminton even ini dengan menempatkan perwakilan di seluruh nomor pada babak final, kecuali pada ganda putra.
Istimewanya, untuk nomor ganda campuran (Tontowi Ahmad / Liliyana Natsir) merupakan gelar ketiga berturut-turut dalam ajang yang sama, mulai tahun 2012. Walau sudah menang dua kali pada even Badminton Championship Super Series Premiere, ganda campuran Indonesia bukanlah unggulan pertama. Yang ditempatkan pada posisi teratas adalah pasangan China Zhang Nan / Zhao Yunlei (peraih medali emas Olympiade 2012). Tetapi pasangan China ini selalu bertekuk lutut pada pasangan Tontowi Ahmad / Liliyana Natsir.
Konon, ajang bergengsi kaliber All England dan Thomas Cup bukan sekedar pertarungan teknik dan stamina. Melainkan lebih pada pengalaman. Sang juara di berbagai nomor, rata-rata telah tampil sebanyak enam kali. Sudah hafal benar dengan arah angin, maupun pencahayaan lampu, serta udara dingin. Tentang minimnya pengalaman, itu dibuktikan oleh Tang Yuanting pemain Ganda Putri China.
Maka regenerasi pemain pada jajaran pelatnas, putra maupun putri, perlu dilanjutkan. Juga perlu pembatasan waktu, seberapa lama seorang atlet bisa bergabung dalam pelatnas.

                                                                                                              ———   000   ———

Rate this article!
Tags: