Bunuh Diri dalam Perspektif Sosiologis

Umar-Sholahudin (1)Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Unmuh Surabaya

Jawa Timur yang dikenal sebagai provinsi yang cukup berhasil dan mendapatkan banyak penghargaan dalam pembangunan kembali dikejutkan dengan “kejadian luar biasa”, yakni kasus bunuh diri sekeluarga. Seperti diberitakan berbagai media, Yudi Santoso (bapak), Fajar Retno (ibu) dan Theola Nadifa anaknya yang masih kelas 1 SD ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di dalam kamar rumah yang mereka tempati di Dusun Morangan, Jumat 3 April lalu. Diduga ketiganya sudah tewas tiga hari sebelum ditemukan. Saat itu, petugas mengamankan beberapa barang yang dianggap berhubungan dengan peristiwa itu, di antaranya gelas berisi cairan berwarna, satu botol obat semprot serangga, serta surat wasiat.Terkait dengan penyebab bunuh diri, diduga karena tekanan ekonomi.
Kasus bunuh diri di Kediri di atas menunjukkan kepada kita bahwa kasus bunuh diri baik individu maupun berkelompok tidak hanya menjadi domaian perkotaan, tapi juga sudah merembet ke daerah pedesaan. Daerah pedesaan yang selama ini dikenal banyak orang hidup tenang aman, dan nyaman dengan kohesivitas sosial yang tinggi menjadikan individu atau kelompok berani berbuat nekad, termasuk bunuh diri. Namun tekanan sosial-ekonomi eksternal yang menjadikan seseorang atau kelompok bisa juga berbuat nekad, termasuk tindakan bunuh diri.
Peristiwa ini bukanlah peristiwa biasa sebagaimana umumnya kematian, tetapi peristiwa yang luar biasa; yakni bunuh diri sekeluarga. Apalagi jika “benar” disebabkan karena tekanan ekonomi keluarga. Kejadian luar biasa ini terjadi ketika pemerintah propinsi bersama DPRD Jawa Timur sedang membahas capaian-capaian spektakuler pembangunan Jawa Timur melalui laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur. Menjadi sebuah ironi, ditengah kita membahas capaian-capaian spektakuler yang diwujudkan dengan “angka-angka” prestatif, disisi lain, terjadi peristiwa bunuh diri sekeluarga. Hasil-hasil pembangunan dengan sederet penghargaan terasa “tidak memiliki makna” apa-apa, ketika dimasyarakat kita terjadi peristiwa luar biasa tersebut
Kasus bunuh diri atau percobaan diri yang dilakukan seseorang, termasuk kalangan remaja dilatarbelakangi oleh permasalahan yang kompleks. Dengan kata lain, penyebab seseorang melakukan bunh diri atau percoabaan bunuh diri sangat beragam, tidak saja karena faktorpsikis, tapi juga sosiologis. Bagi pelaku bunuh diri,  di antaranya kepribadian yang belum matang dan terjadinnya alienasi sosial rentan mengambil jalan pintas ketika mengalami masalah.
Kajian Sosiologis
Dalam kajian sosiologi, sosiolog E.Durkheim mengatakan bunuh diri bukan disebabkan masalah kemiskinan atau sakit jiwa, namun lebih karena renggang atau lepasnya ikatan-ikatan sosial yang kemudian menjadikan masyarakat mengalami disintegrasi. Nilai-nilai atau kesadaran kolektif (Collective Consciousness) yang menjadi panduan bermasyarakat mengalami pemudaran atau dalam teori Durkheim disebut Anomie, yakni suatu situasi di mana nilai dan norma dalam masyarakat tetap ada, namun tidak lagi berfungsi untuk menjadi standard dan pedoman dalam bertingkah laku.
Dalam konteks teori Durkheim, bunuh diri adalah salah satu bentuk dari penyimpangan perilaku. Durkheim ingin menunjukkan bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri. Dalam teori bunuh dirinya (Suicide), Durkheim membaginya menjadi tiga; 1. Anomie Suicide; yakni bunh diri yang disebabkan karena adanya kekacauan nilai dan norma dalam masyarakat (contoh kasus bunuh diri dalam kondisi masyarakat yang serba kacau), 2. Egoistic Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan dirinya lebih berharga daripada kepentingan orang lain (contoh kasus bunuh diri karena berhutang atau ditinggal pacar), dan 3. Altruisme Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan orang lain/masyarakat lebih berharga daripada kepentingan dirinya (contoh; kasus sekte Harakiri di Jepang)
Para penganut teori social control mengatakan bahwa munculnya perilaku menyimpang atau lebih khusus “jalan pintas” yang terjadi dalam kasus bunuh diri remaja, lebih disebabkan karena lemahnya kontrol sosial dari lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, terutama institusi keluarga. Lembaga ini dinilai gagal dalam mengatur, mendisiplinir dan mengarahkan perilaku dan tindakan anggotanya, begitu juga dengan lembaga sosial di luar keluarga. Masyarakat cenderung memberikan “ruang gerak” kepada individu maupun kelompok untuk berperilaku menyimpang. Selain itu, semakin menjamurnya perilaku dan budaya individualistik masyarakat yang berujung pada semakin renggangnya ikatan sosial di antara kita.
Menurut mantan Guru Besar Sosiologi Unair (Alhm), Soetandyo Wignjosoebroto, mengatakan munculnya kasus bunuh diri lebih disebabkan karena permasalahan struktural yakni terjadinya disorganisasi kehidupan yang berimbas pada terdisintegrasinya -dalam tempo yang relatif cepat- institusi-institusi primer komunitas-komunitas lokal, dengan fungsi-fungsi yang tak segera bisa di ambil-alih dan dilanjutkan oleh isntitusi-institusi penggantinya (yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial). Sementara institusi-institusi keluarga kehilangan keterandalannya, institusi-institusi sekunder yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial nyatanya tidak cukup terkelola dan terpelihara dengan baik untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialisasi dan enkulturasi.
Dengan demikian, ketidakutuhan atau disorganisasi ini yang kemudian menimbulkan gagalnya keluarga dalam memerankan peranannya sebagai agen atau institusi yang dapat memberikan kebutuhan sosial dan psikologis. Kemapanan secara ekonomi yang dimilki suatu keluarga tidak menjamin kebetahan anak dalam keluarga atau menjadikan akan tidak berperilaku menyimpang. Justru karena kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi -walaupun secara ekonomik terpenuhi- menjadikan anak berperilaku delinkuen, termasuk melakukan aksi bunuh diri atau percobaan bunuh diri.
Karena itu dalam konteks inilah, kendali agama merupakan aspek terpenting bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. Unsur-unsur esensial dari agama yang terdiri dari nilai-nilai moralitas bisa dijadikan daya kendali seseorang dari perilaku menyimpang (baca: bunuh diri). Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Selain faktor kedekatan diri dengan agama, faktor sosial, seperti membangun kebersamaan dan kepedulian sosial atas sesama adalah langkah solutif untuk mencegah bunuh diri.

                                                                                               ———————— *** ————————-

Tags: