Bupati Amin Temui Putera Kiai Santawi yang Pernah Pimpin NU Dua Periode

Bupati Amin Said Husni saat bersama KH Basuki Abdullah yang tak lain adalah Santawi yang saat ini diabadikan namanya menjadi salah satu jalan di Bondowoso.

Bupati Amin Said Husni saat bersama KH Basuki Abdullah yang tak lain adalah Santawi yang saat ini diabadikan namanya menjadi salah satu jalan di Bondowoso.

Menelusuri Jejak Pahlawan Bondowoso
Bondowoso, Bhirawa
Kisah perjuangan rakyat Bondowoso dalam memerangi penjajah tak bisa dilepaskan dari sosok Kiai Santawi. Sebagai tokoh kultur waktu itu, Kiai Santawi juga tampil di garis terdepan dalam memimpin perjuangan. Sayang, tak banyak terungkap kisah tentang perjuangannya.
Tak banyak literasi sejarah yang mencatat kiprah sosok Kiai Santawi dalam perjuangan di era penjajahan Belanda. Padahal, peran Kiai Santawi kala itu, baik dalam agresi Belanda Jilid I maupun II cukup besar. Dia menjadi pemimpin pertempuran rakyat Bondowoso melawan penjajah.
Saat mengetikkan nama Kiai Santawi Bondowoso di mesin pencari google, terdapat 128 temuan. Namun sayangnya, mayoritas catatan di sana hanya menerangkan nama Jalan Santawi Bondowoso. Hampir tak ada catatan lengkap tentang kisah perjuangannya bersama rakyat Bondowoso.
Santawi sejauh ini memang lebih dikenal sebagai nama jalan di Bondowoso. Hal itu menjadi wajar. Karena ruas Jalan Santawi yang memiliki panjang sekitar satu kilometer tersebut memang terletak di jalur strategis di pusat kota. Tepatnya di jalur utama dari Situbondo menuju Jember.
Karena strategisnya Jalan Santawi, banyak kantor-kantor penting pemerintah berdiri di sana. Mulai dari Kantor Diskoperindag, Dispendik, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama hingga Polsek Kota.
Bahkan sejumlah partai besar juga berkantor di Jalan Santawi. Di antaranya Partai Demokrat (PD), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) hingga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan partai pemenang Pemilu 2014 di Bondowoso. Tak heran jika ada yang menyebut ruas jalan ini sebagai ‘Jalan Partai’
Minimnya literasi sejarah tentang Kiai Santawi membuat pemerintah Bondowoso tergelitik untuk menapak tilasi kepahlawanannya. Tak tanggung-tanggung, kegiatan napak tilas dipimpin langsung oleh Bupati Bondowoso Amin Said Husni. Beberapa waktu lalu, Amin mendatangi kediaman KH Basuki Abdullah, putera Kiai Santawi yang kini tinggal di Jalan Swandak, tepatnya di depan SD Jogotrunan 01 Lumajang.
Dari Basuki itulah, terkuak bagaimana sosok Kiai Santawi mengorbankan jiwa dan raga untuk Tanah Air tercintanya. Bahkan setelah ditangkap dan dijebloskan ke penjara, Kiai Santawi pada 1948 akhirnya diekskusi mati oleh tentara Belanda. Kini jasadnya bersemayam di tanah kelahirannya, Desa Prajekan Lor Kecamatan Prajekan.
Nama asli Kiai Santawi sendiri adalah Sadriyan. Berdasarkan surat keterangan resmi dari dr H Koesnadi, Sadriyan atau Kiai Santawi memang terlahir di Desa Prajekan Lor Kecamatan Prajekan. Dalam keterangan tersebut, tak tercatat tanggal, bulan dan tahun kelahirannya. “Santawi itu sebenarnya nama saya,” ujar Basuki Abdullah.
Namun setelah kelahiran Basuki Abdullah itulah, Sadriyan akhirnya lebih dikenal dengan nama Kiai Santawi.
Di era agresi militer Belanda jilid dua, Kiai Santawi dipercaya sebagai pimpinan pasukan Hizbullah/ Sabilillah anak cabang Prajekan. Sebagai tokoh kala itu, Kiai Santawi pun terlibat dalam berbagai perang gerilya menghadapi penjajah Belanda. Perang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sesekali dari desa itu dia bersama pasukannya menyerbu pos Belanda di kota.
Kekuatan persenjataan pasukan gerilya memang kalah jauh. Namun Kiai Santawi tetap memiliki nyali tinggi. Suatu ketika, rumah Kiai Santawi dijadikan tempat penimbunan senjata olah para pasukan gerilya. Kepemimpinan Kiai Santawi yang berani itu membuat kontak senjata seringkali terjadi di kawasan Bondowoso.
Keterlibatan Kiai Santawi dalam perjuangan itu lambat laun terendus oleh militer Belanda. Berbagai cara pun dilakukan. Salah satunya adalah adu domba dan menyebarkan fitnah. Kiai Santawi yang sehari-hari mengajar kitab kuning kepada beberapa santri itu pun diadu domba dengan pengikutnya sendiri.
Politik adu domba sedikit banyak berhasil. Namun Kiai Santawi tetap tak bergeming. Dia konsisten dalam mengawal perjuangan rakyat untuk lepas dari belenggu penjajah. Belanda yang tak tahan akhirnya menangkap Santawi. “Waktu itu bapak saya dijemput oleh seorang Wedana. Si Wedana itu bilang kalau bapak saya akan diajak berembuk,” kenang Basuki yang waktu itu berusia sekitar 18 tahun.
Namun Kiai Santawi ternyata dibawa untuk dipenjara. Mulanya dia dipenjara di markas Belanda di PG Prajekan. Setelah beberapa hari, dia akhirnya dipindahkan ke penjara. Basuki yang beberapa kali menjenguk ayahnya itu pun merasa tak tega. Saat di penjara, rantai tak pernah lepas dari tangan dan kaki Kiai Santawi. Raut wajah Basuki menyiratkan rasa marah saat mengenang kejadian itu.
Saat di penjara, Kiai Santawi sempat menjalani proses peradilan. Pada putusan pertama, Kiai Santawi divonis hukuman mati. Keluarganya tak terima. Banding pun dilakukan. Namun nasib tak berpihak. Saat putusan kedua, Santawi akhirnya dihukum mati. “Saat dihukum mati, ayah saya minta agar ditembak oleh 40 pasukan Belanda,” kenang Basuki.
Usai peluru Belanda menembus tubuhnya, Kiai Santawi tak langsung meninggal. Dia sempat meminta air minum. Kiai Santawi berkata kepada para penjaga penjara bahwa kesegaran air minum itu untuk keluarga dan anak-anaknya. Dari sipir-sipir penjara itu pulalah, menyeruak kabar tentang kematian Kiai Santawi yang diselimuti wangi bunga.
Kematian Kiai Santawi pun menyebar kepada keluarga dan para pengikutnya. “Waktu itu keluarga diminta agar menjelaskan kepada pengikut bahwa kematian bapak disebabkan karena penyakit,” ujar Basuki. Namun kabar bahwa Kiai Santawi meninggal karena dieksekusi terlanjur didengar pengikutnya. Mereka tak terima. Puluhan pejuang angkat senjata. Mereka menyerang pos-pos militer Belanda. Perang pun pecah. Perjuangan itu terus membuncah meski pemimpin mereka dieksekusi oleh militer Belanda.
Setelah sempat dimakamkan di pemakaman umum di belakang kantor Polsek Kota Bondowoso, setahun kemudian keluarga Kiai Santawi memindahkan makamnya ke Prajekan. Tepat di samping makam Nyai Suha, ibunda Kiai Santawi. “Saya hanya berharap agar nama Jalan Santawi ditambahi dengan Kiai Santawi,” pinta Abdullah kepada Bupati Amin Said Husni.
Pasca kematiannya, Kiai Santawi memang tak meninggalkan banyak harta benda untuk keluarganya. Namun namanya terus mewangi. “Kita mengapresiasi respon cepat Bupati Amin yang saya anggap tidak lupa akan sejarah. Desa kami melahirkan dua pahlawan besar, yaitu Kiai Santawi dan Letnan Amir Kusman,” ujar Fandi Shofa, Kades Prajekan Lor.
Basuki Abdullah yang tak lain nama kecil Santawi dalam perjuangannya pernah memimpin PCNU Kencong selama dua periode. Bahkan bersama sesepuh NU KH Muchit Muzadi pernah menjadi anggota DPRD Jember dari PPP selama dua periode.
Sama seperti ayahnya yang mengalirkan darah NU yang tegas, Basuki selama menjadi anggota DPRD dijuluki Sakerah karena berdarah Madura serta memiliki sikap tegas dan tak pandang bulu jika menghadapi kemungkaran ada di hadapannya. [har]

Tags: