Buruh Jatim Tolak Pengesahan Raperda Perlindungan Ketenagakerjaan

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Nasib sedikitnya lima juta pekerja di Jawa Timur dinilai belum membaik. Banyak kebijakan pemerintah daerah yang dibuat belum berpihak pada buruh, terutama bersamaan era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Raperda ketenagakerjaan disebut justru memberikan karpet merah pada Tenaga kerja Asing (TKA).
Raperda Perlindungan Perlindungan Ketenagakerjaan yang rencananya disahkan DPRD Jatim selambat-lambatnya 17 Agustus 2016, dinilai para pekerja justru akan merugikan pihaknya. Raperda itu cenderung berpihak ke pengusaha serta tenaga Kerja Asing (TKA).
Pekerja pun menolak pengesahan. Ini terungkap saat diskusi yang digelar Aliansi Buruh Jawa Timur, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, dan Gerakan Buruh Rakyat (Gebrak) Jatim, di Kantor LBH Surabaya, beberapa hari lalu.
Koordinator Gebrak Jatim Nurudin Hidayat  mengatakan, kebijakan pemerintah daerah berupa Raperda Perlindungan Ketenagakerjaan yang dibuat  masih belum berpihak kepada pekerja atau buruh. “Padahal ini (kesejahteraan tenaga kerja) merupakan janji politik Gubernur Soekarwo pada saat hari buruh sedunia (May Day)  2015 lalu.
Gubernur ketika itu menyebut selambat-lambatnya 31 Desember 2015 akan disahkan  dan efektif akan berlaku pada 1 Januari 2016, tetapi meleset. Janji tinggal janji,” tandas Nurudin pada pers rilisnya yang diterima Bhirawa, kemarin.
Pada Mayday 2016 giliran DPRD Jatim menjanjikan pengesahan Raperda Perlindungan Tenaga Kerja dan akan disahkan selambat-lambatnya 17 Agustus 2016. “Penyusunan Raperda tenaga Kerja Jawa Timur melalui  studi banding hingga ke Amerika, yang diawali  draft Raperda Tenaga Kerja inisiatif  Pemerintah Provinsi . Namun isinya  justru menghilangkan pasal-pasal menyangkut  perlindungan pekerja yang menjadi aspirasi pekerja atau buruh Jatim,” urainya.
Selanjutnya, kata Nurudin, dilakukan pembahasan  Raperda Perlindungan Ketenagakerjaan  jilid 1 hingga 4 secara tertutup dan sembunyi-sembunyi  oleh  Komisi E DPRD Jatim dan Baperda. Ada pakar  dari Universitas Airlangga (Unair), Universitas Narotama dan Universitas Surabaya dilibatan dalam pembahasan. Hasilnya, ada 15 Bab dan 81 Pasal  yang isinya juga menghilangkan substansi krusial menyangkut perlindungan dan kesejahteraan.
Koordinator Aliansi Buruh Jatim Jamaludin yang hadir dalam forum kajian itu menambahkan, alih-alih Raperda Perlindungan Ketenagakerjaan arahnya melindungi pekerja, sebaliknya justru lebih  berwatak kapitalis bergeser menjadi Raperda Perlindungan Pengusaha dan Pro Tenaga Kerja Asing (TKA).
“Raperda ini justru memberikan karpet merah terhadap Tenaga Kerja Asing merajalela di Jatim. Raperda tidak mengatur secara ketat pembatasan, larangan dan sanksi terhadap pelanggaran Tenaga Kerja Asing,” kata Jamaludin.
Raperda tersebut, menurut Jamaludin,  melanggengkan upah murah terhadap pekerja atau buruh Jatim. Pasalnya, tidak mengatur kewajiban pemberi kerja memberikan skema upah layak dalam bentuk skala upah yang proporsional untuk pekerja yang bermasa kerja lebih dari satu tahun dan sudah berkeluarga.
Masalah lain, raperda membiarkan praktek perbudakan modern dengan pengaturan yang longgar mengenai sistem magang, kontrak , outsourcing, pemborongan dan pekerja lepas. Selain itu, mengabaikan perlindungan khusus terhadap kelompok tenaga kerja perempuan, anak, penyandang disabilitas, pekerja rumahan, sektor media dan maritim.
Dalam raperda memuat ketentuan sanksi  yang minim sehingga dipastikan mandul
implementasinya, berpotensi besar  dilanggar dan tidak akan efektif. “raperda juga tidak memperhatikan peningkatan kesejahteraan pekerja atau buruh Jatim melalui penguatan program Jaminan Sosial dan pemenuhan hak dasar pekerja atau buruh Jatim melalui kepemilikan saham, koperasi, perumahan dan pendidikan,” pungkas Jamaludin.
Sementara itu, Abdul Wachid Habibulloh dari LBH Surabaya membeber, 40% kasus yang masuk ke LBH adalah kasus buruh yang bersumber dari regulasi yang masih  bermasalah dan buruknya penegakan hukum. “Harapannya raperda ini  menjadi solusi. Namun draft raperdanya malah lebih berpihak kepada pengusaha bahkan TKA,” sebut Wachid.
Menurutnya, jika draf akhir ini dipaksakan disahkan dan diundangkan maka posisi buruh akan semakin terekploitasi dan termarjinalkan. Dia menilai negara kembali abai dan  tidak hadir sehingga raperda menjadi  tidak protektif, berpotensi melegitimasi pelanggaran HAM dan  kontra produktif. Bahkan, mereduksi sanksi pidana yang ada di peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
“Secara substansi Raperda Perlindungan Ketenagakerjaan versi Komisi E dan Baperda DPRD Jatim tidak ubahnya hanya rangkuman peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya. Belum  dapat menjawab kebuntuhan dan atau kekosongan hukum tentang Ketenagakerjaan selama ini,” nilainya.
Berangkat dari paparan itu, keputusan kajian dan diskusi, menolak Raperda hasil pembahasan akhir Komisi E dan Baperda Jatim. Mendesak  kepada Pimpinan DPRD Jawa Timur, Pimpinan Fraksi/Partai , Pimpinan  dan Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur  untuk beberapa hal.
Di antaranya, mevisi untuk memasukkan, menyerap dan mengakomodir aspirasi buruh yang memuat skema perlindungan dan kesejahteraan pekerja atau buruh Jatim. Terutama mencegah dan menindak TKA, mewujudkan upah layak dan kesejahteraan pekerja/buruh, menghapus sistem kontrak, outsourcing, pemborongan.
Mendesak ada jaminan hak normatif khusus untuk  kelompok tenaga kerja perempuan, anak, penyandang disabilitas, pekerja rumahan, sektor media dan maritim serta memuat ketentuan sanksi pelanggaran yang tegas. Melakukan pembahasan Raperda secara terbuka dan demokratis. Mempertimbangkan menggugat hukum jika  Raperda tersebut disahkan dengan isi yang merugikan buruh maka akan  dilakukan  Judicial Review ke Mahkamah Agung. (geh)

Tags: