Butuh Inovasi Pembelajaran Jelaskan Keberagaman dan Toleransi

Guru Kelas V SD TPI Gedangan Sidoarjo Khoirun Nisak saat memperagakan permainan di tengah murid-muridnya.

(Dorong Guru Ciptakan Alat Peraga yang Perkuat Nasionalisme)

Perang kata-kata dan tagar di media sosial menjelang Pemilu Presiden 17 April 2019 sungguh memantik kecemasan. Saling serang dengan isu-isu suku, agama, dan ras antar golongan (SARA) pun begitu mudah berseliweran di media sosial. Situasi ini akan semakin membahayakan ketika masyarakat tidak memiliki kedewasaan dan budaya literasi yang memadai dalam menerima paparan informasi yang teras menerjang tersebut.

Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa

Selasa (12/3) pagi, di depan ruang kelas V Sekolah Dasar (SD) Taman Pendidikan Islam (TPI), Gedangan Sidoarjo Jatim, siswa sedang asyik bermain game disaksikan guru kelasnya. Game yang sedang dimainkan layaknya seperti sedang main undian dengan memutar sebuah bidang papan berbentuk lingkaran seperti roda dengan jarum penunjuk. Masing -masing kelompok yang terdiri dari 5 siswa bergiliran memutar roda dengan memperhatikan jarum penunjuk.
Ketika Bhirawa mencoba mendekat, kelompok yang dipimpin Nabila sedang mendapat giliran bermain. Tangan mungil siswa yang mengenakan seragam batik dan kerudung warna hijau itu pun memutar roda dengan wajah harap harap cemas. Demikian juga dengan empat anggota kelompoknya. Bahkan ada yang mencoba menutup matanya, saat bidang papan berbentuk roda mulai berputar. Setelah putaran roda berhenti, jarum ternyata menunjuk pada tulisan yang berbunyi Provinsi Bali. Lantas anggota kelompok Nabila pun mengambil kartu dalam kotak yang terletak di dekat roda putar. Ketika kartu dilihat ternyata bertuliskan Tarian. Serta merta anggota kelompok Nabila setengah berteriak menyebutkan jenis-jenis tarian yang berasal dari Provinsi Bali.
“Tari pendet, Tari Kecak, tari Legong, Tari janger,” begitu anggota kelompok bersahutan menyebut tarian yang diketahuinya. Begitu riuh kedengarannya, bahkan sesekali diiringi tawa lepas karena salah menyebut nama tarian sesuai dengan asal daerahnya.
“Kami harus terus mendidik anak-anak kami untuk mengerti tentang apa itu perbedaan dan apa itu toleransi,” kata guru kelas V SD TPI Gedangan Sidoarjo Khoirun Nisak, SPd yang ditemui Bhirawa sambil memantau jalannya permainan anak didiknya, Selasa (12/3) kemarin.
Menurut Nisak, tidak mudah memang untuk menanamkan nilai-nilai seperti itu di tengah godaan arus informasi yang setiap saat datang menerjang.
“Anak didik kita sudah terbiasa berteman dengan gadget dan smartphone miliknya. Butuh metode pembelajaran yang menarik yang bisa membuat mereka mau mendengar pesan-pesan semacam toleransi, keberagaman, nasionalisme dan sebagainya,” kata guru muda alumnus Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.
Berawal dari kegelisahan tentang pentingnya membangun kesadaran ber-Bhineka Tunggal Ika, Nisak pun akhirnya merancang sebuah permainan yang diberi nama “Gus Dur ke Subang”. Pemilihan nama permainan tersebut juga bukan tanpa alasan. Nama Gus Dur misalnya, adalah dengan mempertimbangkan Gus Dur alias Abdurraham Wahid adalah bapak bangsa yang juga dikenal sebagai tokoh tolerasansi dan pluralism.
“Mendengar nama Gus Dur, orang pasti akan ingat pluralisme, sementara Subang adalah nama Kota yang pernah diusulkan Gus Dur untuk menjadi nama Ibu Kota. Silakan baca sejarah kalau nggak percaya,” kata Nisak sambil tertawa. Selain itu, lanjut Nisak, nama permainan tersebut juga merupakan akronim dari Gunakan Usaha dan Putar Keragaman Suku Bangsa yang disingkat Gus Dur ke Subang.
Menurut Nisak, kompetensi dasar yang ingin dibangun melalui permainan tersebut adalah menghargai keragaman suku bangsa di Indonesia.
“Sebagian besar siswa kurang memiliki rasa ingin tahu khususnya dalam keragaman budaya bangsa. Hal ini terlihat dari bagaimana kesulitannya mereka untuk mengidentifikasi keragaman suku bangsa. Peserta didik lebih hanya terfokus pada keragaman di sekitarnya, bukan skala nasional,” jelas Nisak.
Kondisi itu kalau dibiarkan tentu hanya akan memperkuat rasa kedaerahan mereka, tetapi melemahkan rasa kebanggaan nasional. Sementara pada sisi lain, suasana pembelajaran dengan studi pustaka juga terlihat belum mampu menjadikan peserta didik memiliki gambaran yang nyata mengenai apa yang dipelajari.
“Akibatnya, keterampilan yang berhubungan dengan identifikasi bentuk keragaman budaya kurang terasah,” jelasnya. Berdasarkan hasil pengamatan selama penggunaan alat peraga Gus Dur Ke Subang, terlihat siswa begitu menikmati proses pembelajaran. Motivasi belajar siswa mengalami peningkatan, terlihat dari aktivitas siswa dalam hal berpendapat, bertanya, menjawab, dan ikut serta dalam bermain.
“Suasana pembelajaran menjadi menyenangkan dan penuh kegembiraan,” jelas Nisak bangga.
Saat dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Saiful Rahman mengaku mengapresiasi kreativitas yang dilakukan para guru dalam menciptakan alat peraga pembelajaran khususnya yang ditujukan untuk memperkuat rasa nasionalisme dan rasa kebangsaan.
“Anak anak usia sekolah adalah saat yang tepat untuk menanamkan karakter dasar masa masa depannya. Untuk itu butuh kreativitas yang ekstra agar para pendidik bisa mengambil hati para siswanya,” jelas Saiful Rahman. Di mata Saiful saat ini tantangan dan sekaligus ancaman bagi dunia pendidikan adalah maraknya berbagai tayangan hiburan baik lewat media televisi maupun dunia internet, termasuk juga ancaman radikalisme dan terorisme
“Benih-benih radikalisme juga akan tumbuh di sekolah karena nasionalisme dan toleransi tidak disemaikan sejak dini. Kalau para guru tidak kreatif maka anak-anak akan lebih mudah terpapar informasi yang tidak mendidik baik berupa hiburan maupun paham-paham yang radikal,” jelasnya. Untuk itu, pemerintah memang harus terus meng-up date kualitas dan kapasitas guru agar bisa sejalan dengan perkembangan jalan.
“Namun di lain pihak, para guru juga harus tetap terpacu untuk selalu meningkatkan kapasitas dirinya agar selalu bisa menemukan metoda pembelajaran yang sesuai dengan generasi yang dihadapinya,” jelas mantan Kepala Badan Diklat (Badiklat) Provinsi Jawa Timur ini.
Keragaman Jadi Pemersatu Bangsa
Pakar sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Aminudin Kasdi saat dimintai pendapatnya terkait situasi politik yang menghangat karena isu-isu terkait SARA mengajak semua pihak untuk kembali ingat pada nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi jadi diri bangsa.
“Ini sangat penting sebagai dasar dan jalan kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan,” ujar Aminudin. Menurut profesor yang juga pendiri masyarakat Sejarawan Indonesia ini, spirit Bhineka Tunggal Ika sebagai sesuatu yang luar biasa terhadap kondisi Bangsa Indonesia yang beragam-beragam adat budayanya.
Di Indonesia jelas Aminudin, terdapat empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sehingga menjadi suatu kebutuhan yang penting dalam menjaga keragaman masyarakatnya.
“Kita sebagai bangsa Indonesia bersyukur memiliki Pancasila karena mampu menjadi penengah ketika kondisi krisis dan kritis,” jelasnya. Hal ini terbukti, kata dia, ketika bangsa ini krusial karena krisis politik dan ekonomi, tapi Pancasila dicari untuk menjadi pemersatu.
“Jadi, itulah sebenarnya kesaktian Pancasila. Dan sudah menjadi sebuah keharusan bahwa amalan yang terkandung dalam sila-silanya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata guru besar kelahiran Nganjuk Jawa Timur ini lagi. Lebih lanjut menurut Aminudin, sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman baik suku, agama, adat istiadat serta bahasa. Keragaman inilah yang mempersatukan rakyat dan menjadi kekuatan Indonesia untuk semakin maju dan memenangkan pertarungan di era globalisasi seperti sekarang ini.

——— *** ———-

Tags: