Cadar Dan Fenomena Sosial

Oleh:
Muzayyinatul Hamidia, M.Pd
Dosen STAIN Pamekasan-Madura
Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Sejak dulu, pemakaian cadar selalu menjadi kontroversi publik khususnya di Indonesia yang notabene masyarakat islam moderat. Hal ini ditandai dengan pelarangan pemakaian cadar di beberapa institusi islam negeri. Tidak berhenti disitu, sekarang isu cadar kembali booming karena disentil dalam puisi berjudul, “Ibu Indonesia” yang dibacakan oleh ibu Sukmawati.
Isi puisi tersebut, tidak hanya melarang, namun sudah masuk ke ranah syariat (hukum islam) yang jelas mengandung isu SARA. Pertanyaan besarnya adalah mengapa cadar selalu menjadi isu kontroversial khususnya di Indonesia? Hal inilah yang penting untuk kita bahas agar bisa memberikan pemahaman baru baik bagi masyarakat muslim secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum.
Sejarah Cadar
Secara definitif, cadar adalah pakaian yang digunakan untuk menutupi wajah, minimal untuk menutupi hidung dan mulut. Di dalam islam, kaum wanita diperintahkan untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh (Q.S; Al-Ahzab; 59) ayat inilah yang kemudian dijadikan landasan setiap wanita islam untuk mengenakan jilbab, bahkan ada yang menyikapinya dengan menggunakan cadar (Sari, et al ,2012).
Menurut Qurash Shihab dalam (Muttaqin, 2015) memakai pakaian tertutup termasuk cadar bukanlah monopoli masyarakat arab dan bukan pula berasal dari budaya mereka (2014), bahkan menurut ulama Iran kontemporer, Murtada Muttahhari, pakaian penutup (seluruh badan wanita termasuk cadar) telah dikenal di kalangan bangsa kuno, jauh sebelum datangnya Islam dan lebih melekat pada orang-orang Persia. Pakar lain menambahkan, bahwa orang-orang Arab meniru orang Persia yang mengikuti Agama Zardasyt, dan menilai wanita sebagai makhluk tidak suci ,karena itu mereka diharuskan menutup mulut dan hidungnya dengan sesuatu agar nafas mereka tidak mengotori api suci yang merupakan sesembahan agama Persia lama.
Masih dalam penelitian Muttaqin (2015) menjelaskan bahwa intelektual kontemporer asal Pakistan Abu al’al al-Mawdudi menjelaskan, banyak sekali tuduhan-tuduhan tidak penting terhadap islam yang datang dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti halnya mereka menuduh hijab dan cadar (niqab) berasal dari budaya perempuan-perempuan Arab jauh sebelum islam masuk, tepatnya di masa Jahiliyah, kemudian berlanjut warisan Jahiliyyah ke orang-orang muslim di abad-abad berikutnya, khususnya setelah masa Nabi.
Mereka sangat pandai untuk berusaha menghantam ajaran Islam seperti mencari sejarah lahirnya cadar yang dikaitkan ke masalah syariah. Agar menggoncang pembahasan yang telah ditetapkan oleh ulama sebagai ahlinya (Al-Mawdudi, 1964:307).
Dengan demikian, secara historis, cadar bisa berasal dari orang-orang Persia atau wanita-wanita Arab jahiliyah sebelum datangnya Islam, dan hal ini tidak lantas menjadi bahan untuk mengecam agama dan masyarakat tertentu. Permasalahan cadar terlepas dari asal-usulnya sudah menjadi pembahasan ulama klasik bahkan sejak masa nabi Muhammad (Muttaqin, 2015).
Cadar Dalam Konteks Sosial
Bagi sebagian umat muslim, bercadar adalah konsekuensi logis dari proses pembelajaran lebih intens mengenai hakikat perempuan, namun hal tersebut kembali kepada kepercayaan masing-masing. Permasalahannya, cadar sering kali diasosiasikan dengan attribut organisasi islam yang fanatik, fundamental dan garis keras (Ratri dalam Sari, 2012).
Hal ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa mayoritas istri dan keluarga dari para pelaku bom bunuh diri dan para teroris yang selama ini menjadi terdakwa teror peledakan di indonesia memakai kerudung cadar tersebut. Berdasarkan hal itulah, akhirnya banyak timbul stigma negatif dari masyarakat atas keberadaan wanita bercadar.
Selain stigma negatif tersebut, wanita bercadar akan mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan pelayanan publik, seperti transaksi jual beli dan proses belajar-mengajar. Seperti pengalaman penulis sendiri, sebagai dosen, kesulitan sekali ketika memberikan tugas presentasi kepada mahasiswa yang memakai cadar, bahkan sebagian teman-temannya mengeluh karena tidak bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Maka tidak heran, jika ada beberapa PTKIN ataupun UIN yang melarang mahasiswanya menggunakan cadar, selain itu mereka dicurigai akan membawa ajaran Islam garis keras untuk masuk ke kampus. Namun dalam konteks ini, penulis tetap memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk menggunakan cadar ataupun tidak, yang terpenting adalah mereka tidak keluar dari syariat Islam serta memiliki nilai-nilai keislaman yang terintegrasi dengan nasionalisme.
Disinilah titik permasalahannya, jadi tidaklah heran jika cadar selalu menjadi kontroversi khususnya di Indonesia, karena muslim indonesia menganut Islam moderat, yaitu tidak memperlakukan agama mereka laksana monumen yang beku, namun memperlakukannya lebih ke dalam suatu kerangka iman yang aktif dan dinamis dan sangat menghargai berbagai macam pencapaian yang diperoleh dari sesama muslim di masa lalu, namun mereka juga hidup di zaman sekarang (Khaleed Abou el-Fald dalam urutparaahli.com).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cadar itu sendiri merupakan bagian dari syariat Islam jadi kita tidak boleh mencaci orang yang memakai cadar, yang bisa menimbulkan kemudharatan adalah pemakainya ketika berhubungan dalam ranah sosial, artinya pemakai cadar harus memiliki kesadaran diri bahwa ia harus berinteraksi dengan orang lain dan ia juga hidup di Indonesia yang masyarakatnya tidak lepas dari pluralisme, serta penganut Islam moderat. Semoga dapat dipahami!

——— *** ———-

Rate this article!
Cadar Dan Fenomena Sosial,5 / 5 ( 1votes )
Tags: