Caleg Incumbent Bertumbangan

151498079Penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) 2014 ini dirasa lebih “gila” dibanding pemilu (2009) lalu. Bahkan jika dibanding dengan pilpres (2009) dan berbagai pilkada, terasa semakin brutal. Kecurangan pemilu dilakukan terang-terangan, terstruktur dan masif. Tetapi Pengawas nyaris tidak berbuat apapun. Partisipasi pemilih juga dipalsukan dan bisa diperjual-belikan. Hasilnyapun liar tak disangka-sangka. Siapa duga akan terjadi TPS fiktif? Solusinya (coblos ulang) pun tak mudah.
Coblos ulang karena terkait kecurangan pemilu, sebenarnya sudah bukan asing lagi. Setidaknya dalam pilkada. Misalnya, untuk memenuhi amar penetapan MK (Mahkamah Konstitusi). Hal itu sudah beberapa kali terjadi, antaralain di Gresik yang meliputi hampir separuh wilayah kabupaten Gresik (9 kecamatan). Setelah coblos ulang, ternyata hasilnya berbalikan, dengan coblosan pilkada  awal. Pasangan Cabup-Cawabup yang semula menang menjadi kalah.
Tetapi coblos ulang di 19 TPS di Sampang, misalnya, sangat sulit diselenggarakan. Seluruh petugas KPPS sampai PPS menyatakan mengundurkan diri. Sedangkan masyarakat pemilik suara juga tak kalah uniknya. Pada saat soblos ulang tiada masyarakat yang buka pintu rumah, dan tidak ada yang bersedia menggunakan hak pilihnya. Masalah TPS fiktif, tak mudah diurai. Sampai KPU meminta Bupati untuk turut membantu.
Maka harus disadari, pileg bukan sekadar penggunaan hak pilih. Melainkan juga bertautan dengan problem sosial, plus inovasi modus ke-bandit-an. Fenomena problem psikologi sosial dalam demokrasi, juga sangat kental dalam pileg 2014 kali ini. Boleh jadi hal itu disebabkan problem kemiskinan masyarakat. Seolah-olah masyarakat  “memakan” demokrasi (pileg, pilpres dan pilkada).
Sangat terasa bandit politik menyusup sebagai penyelenggara dan peserta pemilu. Bukan hanya permintaan uang per-suara, melainkan juga terang-terangan mengubah hasil pemilu. Pada tataran grass-root, juga sudah dikuasai oleh makelar suara. Yang diminta bukan hanya beras, baju (kaos) dan uang, melainkan juga kebutuhan sekelompok masyarakat.
Permintaan makelar harus ditunaikan secara cash, seketika. Bisa berupa sumur bor, perbaikan jalan, atau tempat peribadatan. Tetapi seluruhnya tanpa jaminan bakal dipilih. Maka terjadi tren yang paling tak disangka-sangka, yakni tumbangnya caleg incumbent. Padahal incumbent bukan sembarang caleg, setidaknya telah memiliki modal memadai.
Pada tataran calon DPRD Propinsi Jawa Timur, banyak caleg incumbent yang gagal. Ada Ketua Fraksi, pimpinan Komisi, pimpinan alat kelengkapan dewan yang lain, serta ada “vokalis” dan “selebriti” DPRD. Bahkan Ketua parpol dan Ketua DPRD gagal memperoleh dukungan suara terbanyak di Dapil-nya. Sehingga bisa dipastikan DPRD Propinsi Jawa Timur periode 2014-2019 separuhnya akan diisi muka baru.
Tetapi sebenarnya, pertarungan ketat caleg memang dikehendaki oleh undang-undang. Pada pasal 5 ayat (1) UU Nomor 8 tahun tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dinyatakan, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Frasa proporsional terbuka, berarti bagai persaingan bebas tidak bergantung pada nomor urut. Biasanya, nomor 1 dan 2 ditempati elit parpol.
Jika gagal, caleg incumbent memiliki tingkat gangguan jiwa lebih besar. Gejala telah nampak pada saat proses kampanye, yakni, berubahnya orientasi anggota DPR dan DPRD yang mencalonkan lagi. Hampir seluruh caleg incumbent meninggalkan kewajibannya, memilih lebih getol berupaya kampanye ke Dapil. Artinya, caleg incumbent lebih memilih kepentingan pribadi dibanding kepentingan masyarakat banyak (sosial).
Paradigma WHO (badan kesehatan dunia) diyakini telah terjadi dis-orientasi. Hal itu gejala awal tidak seimbangnya kesehatan jiwa. Caleg incumbent gagal, akan banyak datang muka baru. Sama-sama harus diwaspadai, karena seluruh caleg hampir pasti dihinggapi perubahan orientasi hidup. Yakni, menguatnya kepentingan (ambisi) pribadi diatas kepentingan orang banyak.
———   000   ———

Rate this article!
Tags: