“Calis” dan Pendidikan Keaksaraan

seng ikiOleh :
Susanto
Penulis Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
SMAN 3 Bojonegoro-Jatim

Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sain lumpuh, pemikiran macet.
Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, “mercu suar” seperti kata seorang penyair “yang dipancangkan di samudera waktu.” Barbara Tuchman (1989)
Ada sejumlah pertanyaan perlu direnungkan. Mengapa sampai saat ini hampir 6,4 juta lebih rakyat Indonesia yang masih buta aksara? Siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban? Pemerintahkah? Benarkah dengan baca-tulis (calis)  dapat mengubah kehidupan dan bebas buta aksara? Benarkah dengan calis dapat  membangun sebuah peradaban? Terus bagaimana idealnya membangun kesadaran masyarakat kita untuk gemar membaca dan membaca sebagai sebuah “budaya” dan sekaligus sebagai upaya pendidikan keaksaraan? Kapan harus memulainya?
Tentang Buta Aksara
Jujur saya harus kita akui bahwa problematika buta aksara atau pendidikan keaksaraan di Indonesia menjadi problematika seirus. Mengapa demikian? Karena kalau kita cermati secara seksama Berdasarkan laporan resmi dari badan sosial dunia, Indonesia mempunyai banyak masyarakat yang masih buta huruf. Pada tahun 2005, penduduk Indonesia yang masih buta huruf pada usia 10 tahun keatas sebanyak 15,04 juta orang. Dengan perincian jumlah penduduk usia 15 – 44 tahun yang buta huruf tercatat 3,.5 juta orang, sedangkan usia 45 tahun keatas yang masih buta huruf tercatat 11,07 juta. Hal ini menunjukkkan bahwa tingkat kesadaran pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Apabila hal ini tidak ditanggulangi, maka Indonesia dapat menjadi negara yang terbelakang, karena sebagian besar penduduknya tidak bisa membaca (Reni Fatma Wilastinova, 2011).
Buta aksara yang ada di Indonesia sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan. Dari pihak negara penjajah memang telah disengaja agar rakyat Indonesia menjadi lebih terbelakang dan bodoh-bodoh agar nantinya tidak merugikan mereka yang menjajah. Pada masa tersebut, tidak ada sekolah untuk rakyat yang bukan keturunan “ningrat”, sehingga rakyat Indonesia yang miskin sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan terjadilah buta aksara. Hal ini sama sekali tidak menguntungkan rakyat Indonesia sendiri, karena menjadikan penjajah makin lama menduduki Indonesia.
Menurut pengamat sosial kemasyarakat Universitas Sebelas Maret, Prof. Dr. Sodiq A Kuntoro menegaskan disamping faktor kemiskinan baik struktural dan absolut, penyebab buta aksara juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia.
Membaca dan Konsistensi Pemerintah
Lantas bagaimana agar masalah pendidikan keaksaraan atau buta aksara ini menjadi bagian terpenting dalam kehidupan kita. Sebab kita tahu bahwa kemajuan suatu bangsa tidak timbul dengan sendiri, melainkan dengan usaha yang tekun dan sungguh-sungguh untuk meraih kemajuan itu. Maka dari itu mari kita menyusun langkah untuk menuju bebas buta aksara dengan budaya membaca dan menulis yang serius. Sangatlah ironis bila kita masih menganggap budaya membaca hanya sekedar hobi, atau untuk mengisi waktu yang kosong atau mengategorikan membaca hanya sebagai kegiatan orang-orang tertentu (kelompok intelektual). Hanya dengan membaca yang serius akan tercipta suatu Ilmu pengetahuan, sehingga dengan ilmu pengetahuan tersebut akan tercipta suatu perdaban yang tinggi dan maju dan akan disegani bahkan ditakuti oleh bangsa-bangsa lain.
Kunci sebuah peradaban bangsa yang besar terukur oleh  sejauhmana tingkat kepedulian aktivitas pribadi bangsanya dalam membaca dan terbebas dari buta aksara. Artinya, bangsa yang besar bukan semata-mata besar dalam jumlah penduduk akan tetapi bagaimana membaca sebagai pola hidup dan kehidupan sehari-hari. Membaca sudah saatnya menjadi gizi. Seperti gizi, seperti itulah buku (Anas AG: 2012: 74).
Dalam konteks yang demikian, sudah saatnya baca dan menulis harus menjadi kebutuhan sehari-hari sekaligus untuk pendidikan keaksaraan. Membaca harus menjadi gizi, “ruh”, dan nafas kita. Kata dokter hidup sehat itu adalah dengan memakan nasi yang sarat empat sehat dan lima sempurna yang lengakap buah-buahan dan juga susu. Hal yang sama juga berlaku  dalam menjalani hidup dan kehidupan kita yang senantiasa harus menjadikan membaca sebagai kebutuhan empat sehat dan lima sempurna juga. Akhirnya membaca harus sebagai pola hidup adalah harga mati. Sebab bagaimanapun membaca adalah kunci  peradaban.
Ada beberapa solusi agar pendidikan keaksaraan (baca: calis) dapat menjadi bagian mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Pertama, membaca dan menulis itu harus selalu dikampanyekan untuk semua lapisan masyarakat. Ada juga pepatah yang mengatakan kalau dengan membaca kita akan membuka jedela dunia.Tapi bagi sebagian  orang khususnya anak-anak itu memang susah untuk diajak membaca, dengan alasan membaca itu bikin ngantuk, membaca itu membosankan, membaca itu blablabla, dan masih banyak alasan ngalor ngidul dan nggak jelas. Saya pun sependapat dengan Nanang Fachrudin (2012: 19-20) dalam bukunya yang berjudul: Membaca untuk Bojonegoro. bahwa realitas yang ada sekarang, membaca bagi sebagian besar masyarakat bukan dimaknai sebagai sebuah kebutuhan, apalagi tradisi. Membaca tak lebih sebagai pengisi waktu luang. Dalam konteks yang demikian,  tentunya agar budaya baca dan tulis menjadi bagian pendidikan sejak dini dalam sebuah keluarga. Dengan demikian, masalah pendidikan keaksaraan dengan spirit meminimalisir buta huruf dapat tercapai.
Kedua, sediakan menu bacaan baru bagi anak atau adik-adik kita. Tentunya sesuaikan dengan umur mereka  biar tidak mengalami kesulitan memahaminya. Pilih buku yang menarik yang disertai dengan gambar dan permainan warna karena bisa menarik minat anak. Mengapa ini perlu kita budayakan? Dengan cara ini anak-anak apalagi dalam fase atau masa kanak-kanak kalau kita sudah kita kenalkan membaca dan membaca secara tidak langsung mendidik anak-anak untuk memahami kehidupan lewat tulisan.
Ketiga, saat anak membaca jangan dibiarkan sendirian, tapi dampingi mereka agar ia paham pesan dari buku tersebut. Jangan terlalu lama, cukup 25 menit saja, selanjutnya biarkan mereka mengeksplorasi diri. Dengan cara ini anak akan dapat mengekspresikan diri setelah mendapatkan informasi atau wawasan yang ada di dalamnya sehingga mereka paham.
Keempat, berikan pengarahan kepada anak agar tidak mengalami kesulitan. Bila sulit memahami, Anda bisa menjelaskannya. Katakanlah anak kita sukar mengeja huruf, beri mereka waktu untuk mencoba. Tapi biasanya kalau berkali-kali anak tidak  bisa, hibur dia dan ajak membaca bersama-sama.
Kelima, pemerintah harus lebih tegas dalam merancang sebuah program agar pada akhirnya suatu program dapat terlaksana dengan baik. Dalam artian, pemerintah harus bekerjasama dengan pihak lain agar angka buta aksara di Indonesia dapat berkurang. Dalam hal ini peran swasta dan juga masyarakat harus ikut bagian dalam proses pengarusutamaan pendidikan keaksaraan.
Keenam, tidak ada salahnya merancang program sekolah gratis, namun pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan harus tetap memonitor agar pihak sekolah tidak menarik biaya terlalu mahal. Artinya, selain itu, perlu juga adanya program diklat. Dengan program itu, harus dibuat semenarik mungkin agar dapat menarik minat masyarakat khususnya para orang tua untuk mengikuti pendidikan keaksaraan.
Nah, dalam konteks yang demikian ini, pendidikan keaksaraan ini sebaiknya pemerintah membentuk sebuah badan khusus untuk menangani masalah buta aksara ini. Permasalahan keterbelakangan masalah pengetahuan dapat diatasi dengan baik karena ada instansi yang memfasilitasinya. Sebab bagaimanapun juga kalau masyarakat kita bebas buta aksara dan bisa bisa mengenyam pendidikan keaksaraan secara otomatis akan terhindar dari keterbelakangan wawasan, pengetahuan dan siap pentas global. Bukankah begitu pembaca?

—————— *** —————–

Rate this article!
Tags: