Seluruh bentuk pemilihan beraltar politik (demokrasi), memang sudah biasa disertai ambisi (dan kecurangan). Tak terkecuali pilpres (Pemilihan presiden) sudah biasa diikuti isu miring kecurangan yang bersifat sistemik dan terstruktur serta masif. Bahkan utak-atik satelit untuk pemenangan dalam pilpres juga sudah diwaspadai di berbagai negara. Tetapi sungguh sangat memprihatinkan manakala evaluasi belajar tahap akhir (ujian nasional) juga disusupi aksi kampanye.
Hari pertama Unas SMA (Senin 14 April), diketahui terdapat nama salahsatu Capres (calon presiden) yang telah nyata-nyata dideklarasikan. Dalam soal mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jurusan IPS, terdapat pertanyaan soal dengan paparan biografi capres tertentu. Tidak itu saja, penyusupan yang sama juga terjadi pada hari terakhir Unas (Rabu 16 April) pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Nama capres yang sama, lagi-lagi masuk dalam pertanyaan soal.
Sengaja atau tidak, masuknya nama capres dalam materi soal Unas bisa berekses politik sangat besar. Juga tidak menguntungkan bagi capres yang namanya dicatut dalam soal Unas. Yakni, bisa dianggap melakukan kecurangan terstruktur dan masif, mencuri start kampanye. Ini bisa menjadi bahan olok-olok, dan menurunkan tingkat kepercayaan publik. Capres yang namanya dicatut dianggap tidak jujur dan menghalalkan segala cara.
Perbuatan siapa? Wajib ditelusuri. Tetapi konon, soal Unas telah dibuat sejak bulan Juli hingga Oktober 2013. Mestinya, sebelum tersaji sebagai materi soal nama capres harus diganti. Sebenarnya masih ada waktu untuk mengubah, karena rentang waktu antara deklarasi Capres cukup jauh. Pen-capres-an Jokowi dideklarasikan pada hari Jumat 14 Maret 2014. Artinya, terdapat rentang waktu 30 hari sebelum Unas SMA. Toh yang harus diganti hanya satu soal.
Mengapa tidak diganti? Inilah yang menguatkan dugaan, bahwa pen-catut-an nama Jokowi dalam Unas memang disengaja. Andai tujuannya agar Jokowi lebih populer (sengaja), pastilah dilakukan oleh oknum “brutus” penjilat yang sembrono. Andai tidak disengaja, seharusnya sudah diganti. Sebab, pembuat soal mestilah kaum terpelajar yang mengerti peraturan. Selain itu, soal-soal Unas selalu di-supervisi oleh pejabat setingkat eselon I yang sangat mengerti “cuaca” politik nasional.
Bisa dipastikan, banyak pejabat eselon I dan II pada Kementerian Dikbud yang patut diminta pertanggungjawaban. Bahkan dapat diancam pidana Pilpres. Dinyatakan dalam UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Piplres pasal 44 ayat (1): “Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional … serta pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Pasangan calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum, selama dan sesudah masa Kampanye.”
Sebenarnya Jokowi tidak beruntung benar namanya disusupkan dalam soal Unas. Sebab sejak enam bulan terakhir terus memimpin pada isu figur calon presiden RI tahun 2014-2019. Seluruh lembaga jasa survei memapar hasil yang sama: Jokowi teratas. Tetapi hasil berbagai survei pasangan utak-atik Capres-Cawapres tidak menggambarkan apapun. Selain bukan realita, juga sering meleset.
Menilik hasil quick-count, tidak ada parpol peserta pileg 2014 yang bisa meraih suara 20% untuk bisa mencalonkan Presiden dan Wapres tanpa koalisi. UU Pilpres Nomor 42 tahun 2008, pada pasal 9 dinyatakan: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah Kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR ….”
Selain harus berkoalisi, pasangan Capres-Cawapres (dan gabungan parpol pengsungnya) juga wajib menjunjung tinggi asas pemilu. UU Pilpres pasal 2 mencantumkan asas rahasia, jujur dan adil.
——— 000 ———