Cara Mengkritik Tanpa Membenci

Judul Buku : Ini dan Itu Indonesia
Penulis : Berthold Damshauser
Penerbit : Diva Press
Cetakan : Pertama, Februari 2021
Tebal Buku: : 284 halaman
ISBN : 978-602-391-984-2
Peresensi : Mohammad Cholis
Penulis Lepas di Garawiksa Institute Yogyakarta

Bahasa merupakan suatu system yang melekat di dalam diri manusia, dalam hal ini manusia bisa melakukan interaksi dan mengekspresikan banyak hal dengan menjadikan bahasa sebagai mediumnya. Termasuk di dalam melakukan aktivitas mengkritik. Seseorang perlu akan bahasa-bahasa untuk disampaikan dengan baik, misalnya untuk membungkus sebuah aspirasi. Karena bahasa tidak akan terlepas dari makna dan maksud pemakainya. Sehingga perlu pendekatan, perenungan dan pengkajian mendalam pada suatu tatanan bahasa yang ingin digunakan. Agar kritikan tersebut tidak terbawa arus kebencian, cacian, sentiment dan rasisme yang menyakiti perasaan seseorang.

Seperti dalam aktivitas mengkritik, seseorang sangatlah penting akan semiotika berbahasa. Seperti halnya, kita harus melihat objek yang akan dikritik dengan melihat bagian-bagian yang ingin kita kritik. Dalam hal ini kita harus mengedepankan argumen dari pada sentiment. Dengan maksud menghindari hal-hal yang sifatnya personal. Teknik semacam ini kerap dipakai untuk mengungkapkan kritikan tanpa harus melukai seseorang yang ingin dikritiki. hal ini kadang juga ditunjang dengan memasukkan humor sebagai bumbu dari penyampaiannya. misalnya dalam buku yang berjudul “Ini dan Itu Indonesia” yang ditulis oleh Berthold Damshauser, seorang indonesianis dari Universitas Bonn di Jerman. Buku ini merupakan sumbangsih Berthold kepada keadaan Indonesia saat ini yang kerap mengemukakan argumennya berlandaskan sentiment, kebencian dan cacian.

Tertuang dalam esai singkat dalam buku ini, Berthold mengkritik gejala-gejala yang terjadi di Indonesia tentang budaya mengkritik yang kadang tidak dilandasi argumen. Misalnya, ketika kita mengkritik system kepemerintahan di era Pak Jokowi. Tentu apa yang kita sebut kritikan bukan lagi tentang penilaian beliau secara ras, bahasa atau bahkan fisik. Tetapi penilaian yang sifatnya argumentative, narasi kritis dan konstruktif tentang kebijakan, mekanisme pemerintahan dan kekurangan-nya untuk bisa diperbaiki.

Dari contoh di atas, kita bisa memahami bahwa kritikan benar-benar ditujukan pada kekuasaan bukan pada personal. Akan tetapi yang terjadi hari ini malah sebaliknya, kritikan yang lahir bukan lagi dari kepedulian melainkan ujaran-ujaran kebencian yang menyerang secara individual. Maka dari itu, kritikan seyogianya dilayangkan dengan bijakasana, serta saat menerima dan menyikapinya. Kritikan akan lebih baik lagi bahkan menarik jika pelaku bisa membukusnya dengan menggunakan gaya bahasa yang halus namun menyentil, seperti gaya satire yang biasanya disampaikan dalam bentuk ironi.

Menariknya, kritikan di dalam buku ini ditulis dengan menggunakan ironi dan terkesan subjektif. Dengan maksud menekankan pembaca untuk belajar berfikir aktif dan memerdekakan mereka untuk menarik kesimpulan sendiri atas pemahaman yang ditangkap. Dapat dikatakan bahwa dalam buku ini, penulis menggunakan disiplin sastra. Tendensi dari beragam sajian problematis dengan meningkatkan ketaksaan bahasa akan lebih menarik untuk dibaca.

Demikian juga dengan peran kita sebagai penulis, gaya bahasa semacam ini memang terkesan seperti main-main, guyon, bahkan tidak serius. Tapi hal ini, bisa menjadi bahan pelajaran bagi kaum penulis maupun intelektual dalam menyajiakan sebuah problem tanpa ingin menampilkan suatu sikap. Terkadang seseorang terlalu keterlaluan dalam meracik bahasa, sehingga seakan sedang membuat kuburan untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain dia gagal untuk menyampaikan sebuah kritikan. Melainkan sebuah kebencian dan sentiment yang berkeliaran.

——– *** ———-

Rate this article!
Tags: