Catatan Kaki atas RUU Sisdiknas

Oleh :
Muh Syaikhul Islam
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Pusat Forum Guru Muhammadiyah (FGM).

Pemerintah telah resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan Tahun 2022 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Usulan tersebut disampaikan dalam pada Rapat Kerja Pemerintah dengan Badan Legislasi, pada Rabu (24/8/2022) lalu.

Secara global, RUU Sisdiknas mengintegrasikan dan mencabut tiga Undang-Undang terkait pendidikan, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

RUU Sisdiknas dimaksud memang memantik pro dan kontra di kalangan pemangku pendidikan di tanah air. Bagi yang pro untuk dibahas dan disahkannya RUU ini karena dinilai banyak pengaturan dalam UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti pengaturan tentang cakupan wajib belajar dan jumlah jam mengajar. Sementara sudah banyak pelajaran yang dapat diambil dari UU Dikti, misalnya pengaturan tentang perguruan tinggi negeri badan hukum. Sementara kalangan yang kontra dan berharap agar RUU ini ditunda pembahasan dan pengesahannya di DPR lantaran ada beberapa pasal yang dinilai tidak mendukung upaya peningkatan kesejahteraan guru dan eksistensi sekolah Islam.

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia menyampaikan bahwa pemerintah punya semangat meningkatkan martabat guru, salah satunya upaya peningkatan kesejahteraan melalui penghasilan yang layak. Pendapat senada juga disampaikan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) yang mengapresiasi atas RUU Sisdiknas yang disusun dengan sungguh-sungguh berdasarkan basis data dan menjawab permasalahan di lapangan. Salah satunya adalah pengakuan PAUD yang melayani anak-anak usia 3-5 tahun sebagai PAUD formal. Dengan demikian juga pengakuan kepada pendidiknya yang memenuhi syarat sebagai guru.

Forum Pendidikan Tenaga Honorer Swasta Indonesia (FPTHSI) merupakan salah satu pihak yang tegas menolak RUU Sisdiknas dengan salah satu alasannya guru non-ASN akan dikelola berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang dinilai tidak lebih baik dibandingkan dengan UU Guru dan Dosen, terutama dalam kontrak kerja dan upah. Penolakan dari kalangan ormas dan tokoh Islam juga cukup santer, salah satunya dari Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) lantaran tidaknya adanya penyebutan frasa ‘madrasah’ dalam RUU tersebut. Penghapusan frasa ‘madrasah’ dalam RUU Sisdiknas dianggap tidak sesuai dengan teks dan spirit UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5. Menyikapi pro dan kontra yang ada, Kemendikbudristek memberikan konfirmasi bahwa pihaknya terbuka dalam menerima saran dan masukan dari publik. Selama tahap perencanaan, pemerintah telah mengundang puluhan lembaga dan organisasi untuk memberi masukan terhadap draf versi awal dari RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya. Masyarakat, baik individu maupun lembaga dapat ikut mencermati semua dokumen dan memberi masukan melalui laman resmi Kemendikbudristek. Menurut Kepala Badan Standar, Asesmen, Kurikulum, dan Pendidikan (BSKAP) Anindito Aditomo, masukan dari publik tersebut merupakan bentuk pelibatan publik yang bermakna sesuai amanat undang-undang dan akan menjadi bahan pertimbangan dalam tahap penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang.

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, penulis memberikan catatan kaki berupa 5 aspek positif dalam draf RUU Sisdiknas tersebut. Pertama, perluasan program wajib belajar. Pada UU Sisdiknas cakupan wajib belajar adalah pendidikan dasar 9 tahun. Pada praktiknya, perluasan wajib belajar ke pendidikan menengah kerap dilakukan di daerah tanpa memastikan kualitas pendidikan dasar. Pada RUU Sisdiknas, program wajib belajar menjadi 13 tahun dimulai dari 10 tahun pendidikan dasar (prasekolah dan kelas 1-9) lalu 3 tahun pendidikan menengah. Perluasan ke pendidikan menengah dilakukan secara bertahap pada daerah yang kualitas pendidikan dasarnya telah memenuhi standar.

Kedua, pendanaan wajib belajar semakin jelas. Pada UU Sisdiknas, satuan pendidikan negeri seringkali menghadapi masalah jika masyarakat ingin berkontribusi secara sukarela, misalnya dapat diklaim sebagai pungutan liar. Sedangkan, pada RUU Sisdiknas pemerintah berkomitmen mendanai penyelenggaraan wajib belajar, sehingga satuan pendidikan negeri tidak perlu memungut biaya, namun, masyarakat dapat berkontribusi secara sukarela tanpa paksaan dan ikatan.

Ketiga, mobilitas pelajar pesantren formal dengan satuan pendidikan lain semakin mudah. Pada UU sebelumnya, pesantren diatur secara terpisah dari sistem pendidikan nasional. Lulusan pesantren formal seringkali kesulitan jika ingin pindah ke sataun pendidikan lain di luar pesantren. Pada RUU yang baru, standar nasional pendidikan berlaku pada keseluruhan jalur pendidikan formal, termasuk pesantren formal. Lulusan pesantren formal bisa lebih mudah pindah ke sekolah, madrasah, maupun perguruan tinggi. Begitupun sebaliknya.

Keempat, pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran wajib. Pada UU Sisdiknas, Pancasila bukan merupakan muatan maupun mata pelajaran wajib di kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Pada RUU Sisdiknas, pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran wajib bersama dengan pendidikan agama, dan Bahasa Indonesia. Selain mata pelajaran tersebut, juga ada muatan wajib matematika, IPA, IPS, seni budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kecakapan hidup, dan muatan lokal.

Kelima, definisi guru yang lebih inklusif. Pada UU sebelumnya, pendidik pada PAUD, pendidikan kesetaraan, dan pendidikan pesantren formal tidak mendapat pengakuan sebagai guru. Pada RUU yang baru, individu yang menjalankan tugas selayaknya guru dan memenuhi persyaratan akan diakui sebagai guru. Dengan demikian, pendidik pada PAUD 3-5 tahun, pendidik pada pendidikan kesetaraan, dan pendidik dalam pesantren formal mendapat pengakuan dan haknya sebagai guru.

Tidak ada gading yang tidak retak. Demikian pula dalam penyusunan RUU Sisdiknas oleh pemerintah. Hemat penulis, sikap terbuka pemerintah melalui Kemendikbudristek dalam menerima saran dan masukan dapat dijadikan wadah bersama untuk menyempurnakan draf usulan yang ada. Sedangkan, pada aspek perubahan yang berorientasi pada perbaikan sistem pendidikan nasional yang ada mari kita dukung, sehingga RUU Sisdiknas akan semakin meneguhkan keberpihakan dan komitmen pemerintah dalam memajukan pendidikan nasional dan memuliakan para pendidik sebagai aktivisnya.

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: