Catatan Kritis Perda Pengembangan Pesantren

Oleh :
Lilik Hendarwati
Anggota Pansus Raperda Pengembangan Pesantren DPRD Provinsi Jatim dari PKS

Setelah melalui proses cukup panjang dan inteisf, akhirnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pengembangan Pesantren disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda).

Perda Fasilitasi ini akan fokus dan hanya mengatur masalah pemberian fasilitasi dan/atau dukungan terhadap Pengembangan Pesantren tentu saja disesuaikan sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah Provinsi Jawa Timur. Fasilitasi ini sebagai dukungan penuh DPRD bersama pemerintah provinsi terhadap setiap pesantren yang ada di Jawa Timur dalam menjalankan fungsi kelembagaan pesantren, tidak hanya pada fungsi dakwah Islam, tetapi juga pada fungsi pendidikan, pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya, dalam kesempatan ini, setelah membaca dan mencermati draft terakhir, perkenankanlah penulis, menyampaikan catatan akhir terhadap Perda Provinsi Jawa Timur Tentang Fasilitasi Pengembangan Pesantren yang baru saja disahkan. Setidaknya ada tujuh point yang dapat disampaikan, di antaranya sebagai berikut ; (1). Terhadap Pasal Pemberdayaan Ekonomi sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a, dan Pasal 7 Raperda, penulis mengusulkan agar dalam implementasinya, Pemerintah Daerah memperhatikan karakteristik daerah/ wilayah sekitar pesantren dan karakteristik demografi dan potensi ekonomi lokal. Pesantren yang dekat dengan daerah pesisir Jawa Timur baik pantai utara maupun selatan atau yang berlokasi di pulau kecil, agar dilakukan fasilitasi pemberdayaan ekonomi berbasis ekonomi maritim, seperti budidaya perikanan, industri perikanan, wisata bahari berbasis wisata halal/religi, dan pemberdayaan ekonomi pesisir lainnya. Sementara pesantren yang berlokasi di daerah agraris dan potensial berkembang di sektor pertanian dan peternakan, agar dilakukan fasilitasi pemberdayaan ekonomi berbasis pertanian, peternakan, kehutanan dan perkebunan. (2). Penulis juga mengusulkan agar fasilitasi yang terkait dengan permodalan sebagaimana yang dibahas dalam pasal fasilitasi pemberdayaan ekonomi pesantren, agar dalam implementasinya, Pemerintah daerah terus bekolaborasi melibatkan BUMN, BUMD, OJK dan lembaga keuangan khususnya yang terkait dengan perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah dan atau fintech syariah, juga termasuk meningkatkan literasi keuangan syariah di lingkup pesantren dan masyarakat sekitanya. (3). Terhadap pasal fasilitasi pembangunan kesehatan, sebagaimana tercantum dalam pasal 6 ayat (2) huruf b dan pasal 8 dan pasal 9 raperd, penulis mengusulkan agar dalam implementasinya Pemerintah daerah juga harus memberi fokus pada program dan kegiatan dalam rangka untuk pengurangan prevelensi stunting dan gizi buruk, untuk peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak khususnya di masyarakat sekitar pesantren. (4). Terhadap pasal fasilitasi pembangunan kesehatan, penulis juga memberi apresiasi dan mendukung Raperda ini yang masih mempertahankan tugas Pemerintah Provinsi dalam fasilitasi pembentukan pos kesehatan pesantren, juga penempatan tenaga kesehatan pada pos tersebut, bantuan sarana prasarana dan kendaraan operasional untuk pos kesehatan pesantren. Hanya saja, dalam implementasinya, pemerintah Provinsi dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah kabupaten/kota maupun kementerian kesehatan atau rumah sakit daerah. (5). Terhadap ketentuan di raperda awal yang berkaitan dengan pembentukan tim pengembangan pesantren, penulis memberi apresiasi karena di draft raperda akhir ketentuan tersebut dihapus dan diganti menjadi ketentuan Pasal Koordinasi (pasal 14 Raperda). Selain karena di dalam UU No. 18 tahun 2019 tentang pesantren, tidak diatur terkait kewenangan Pemerintah Daerah membentuk tim atau sebutan lain, dalam pengembangan pesantren, penghapusan ini juga sejalan dengan harapan penulis agar tidak terjadi inefisiensi anggaran APBD dan panjangnya rantai birokrasi akibat terlalu banyaknya organ atau tim yang dibentuk dalam pengembangan pesantren. Oleh sebab itu, besar harapan kami, koordinasi yang diamanatkan kepada pemerintah provinsi tersebut agar dilakukan secara intensif dan melibatkan stakeholder misalnya ulama, ormas, tokoh dan kyai, dan asosiasi pesantren. (6). Berikutnya, berkaitan dengan pasal sistem data dan informasi pesantren daerah (SDIPD), penulis memberi catatan sebagai berikut : UU 18 tahun 2019, tugas melakukan pendataan pesantren hanya dilakukan oleh Kementerian Agama (pasal 47 UU 18 tahun 2019 dan sebagaimana telah dirinci dalam Peraturan Menteri Agama / PMA nomor 30 tahun 2020 dan PMA nomor 31 tahun 2020 pasal 89 dan 90). Tidak ada penugasan atau pendelegasikan oleh UU atau Peraturan Menteri kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan pendataan atau pendaftaran atau sebutan lain dalam hal informasi terkait pesantren. Dengan menambahkan pasal SDIPD, maka beban pesantren akan bertambah dengan mengisi data / informasi dua kali, satu segmen ke Kementerian Agama dan satu Segmen ke SDIPD Pemerintah Daerah Jatim. (7). Hal yang sama akan dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Maka penulis sangat berharap agar implementasi pasal ini tidak membuat panjangnya rantai birokrasi pendataan, duplikasi pendataan dengan kementerian agama, dan penyalahgunaan data. Sehingga komponen pendataan dan informasi pesantren cukup dilakukan sistem managemen satu atap dengan kementerian agama. penulis juga berharap agar ketentuan terdata di SDIPD sebagai syarat pesantren untuk mendapatkan berbagai fasilitasi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 ayat (3) untuk ditinjau ulang, agar tidak menjadi syarat administrasi yang memberatkan pesantren yang mengalami kesulitan/ kendala dalam pengisian SDIPD. Sekali lagi penulis mengingatkan dalam UU Nomor 18 tahun 2019 tidak ada ketentuan di pasal-pasalnya, yang memasukkan terdaftar di sistem informasi data pesantren sebagai syarat administrasi pesantren mana yang berhak mendapatkan bantuan fasilitasi pemerintah/ pemerintah daerah.

Partisipasi Masyarakat
Kata kunci dari Perda ini adalah Fasilitasi pengembangan Pesantren. Pertama, Fasilitasi internal, dapat dimaknai bahwa pemerintah memberikan berbagai kemudahan dan akses serta support dalam pengembangan lembaga pesantren agar dapat tumbuh-kembang menjadi Lembaga pendidikan, sebagai sarana dakwah, dan sebagai agen

pemberdayaan masyarakat yang unggul, modern, dan berkemajuan. Kedua, fasilitasi eksternal melalui partisipasi masyarakat, dalam arti, pemerintah provinsi dapat memfasilitasi pengembangan pesantren melalui bantuaan dari pihak ketiga atau swasta, melalui partisipasi masyarakat dan dunia usaha (Bab IX, pasal 19). Dengan demikian, fasilitasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah provinsi, tetapi juga pemerintah memfasilitasi pengembangan pesantren melalui bantuan dari pihak ketiga/swasta. Hal ini mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah provinsi, sehingga perlu untuk menggandeng atau berkolaborasi dengan pihak swasta untuk bersama-sama mengembangkan pesantren.

Dengan hadirnya Raperda ini, diharapkan selain akan meningkatkan kualitas kelembagaan dan produk yang dihasilkan pesantren, sebagai sebagai Lembaga pendidikan, sebagai sarana dakwah dan sebagai agen pemberdayaan masyarakat; juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pada kemajuan, pembentukan karakter dan peradaban bangsa.

———- *** ————

Tags: