Catatan Kritis RAPBD Jatim 2021

Oleh :
Lilik Hendarwati
Anggota Komisi C DPRD Jatim dari PKS

Saat ini, gubernur bersama DPRD Provinsi Jawa Timur sedang membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) tahun anggaran 2021. Dalam nota Keuangan 2021, saudari gubernur menyampaikan, kondisi ekonomi global dan nasional saat ini masih belum stabil, masihmengalami pelambatan akibat pandemi Covid-19 yang belum berlalu. Sampai saat ini, vaksin untuk Covid-19 masih belum tersedia. Sehingga pandemi Covid-19 ini masih belum berkepastian. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh pada ikhthiar Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam merancang dan mengimplementasikan program pemulihan kondisi sosial-ekonomi akibat pandemi di tahun 2021 melalui instrumen kebijakan fiskal 2021. Pemulihan kondisi sosial-ekonomi masyarakat masih akan menemui hambatan, jika pandemi Covid-19 masih terjadi di masyarakat.

Tema RKPD Provinsi Jawa Timur 2021 adalah Mempercepat Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Sosial, dengan focus pembangunan Pemulihan Industri, Pariwisata dan Investasi, Reformasi Sistem Kesehatan Jawa Timur, Reformasi Sistem Perlindungan Sosial, Reformasi Sistem Ketahanan Kebencanaan dan Optimalisasi Agrobisnis berbasis Sinergitas Desa-Kota. Tema ini adalah tema untuk menjawab persoalan real yang terjadi saat ini yakni, tahap pemulihan akibat apndemi Covid019. Namun demikian, pemulihan sosial dan ekonomi dapat berjalan dengan baik dan produktif, jika pemuliihan masalah kesehatan atau pandemi Covid-19 sudah bisa diatasi secara maksimal. Faktor kesehatan masyarakat, khususnya terkait dengan pendemi Covid-19, menjadi faktor utama dan prasyarat utama bagi pemulihan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

APBD 2021

Untuk keperluan pencapaian tema RKPD dan pemulihan sosial-ekonomi akibat pandemi Covid-19, gubernur mangajukan perangkaan Rancangan APBD 2021 sebagai berikut. Pendapatan Daerah 2021 diproyeksikan sebesar 30,754 triliun rupiah lebih, yang terdiri dari PAD sebesar Rp 15,812 triliun lebih; Dana Perimbangan sebesar Rp 14,758 triliun; dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 174,738 miliar rupiah lebih. Sedangkan belanja diproyeksikan sebsar 32,400 triliun rupiah lebih.

Dengan melihat struktur perangkaan antar pendapatan dan belanja daerah tersebut diatas, maka diproyeksikan defisit anggaran pada tahun anggaran 2020 diperkirakan sebesar Rp 1,654 triliun lebih, yang mana defisit ini yang akan ditutup dengan pembiayaan netto, yang bersumber dari penerimaan Pembiayaan sebesar Rp 1,690 triliun lebih, yang bersumber dari dari SILPA Tahun Anggaran sebelumnya dikurangi pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp 36 miliar

Catatan Kritis

Darai uraian di aatas, da beberapa catatan kritis yang dapat disampaikan pertama, penulis sangat menghargai Penetapan target/asumsi pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur tahun 2021 yang dipatok sebesar 4,07-5,7%. Sebuah pertumbuhan yang bisa dibilang over estimate dan optimis, karena pada tahun 2021 persoalan pandemi Covid-19 masih belum berlalu dan penuh dengan ketidakpastian. Kita memang harus optimis, tetapi optimisme kita harus berbasis pada data dan prediksi yang objektif. Pertanyaannya, apa dasar objektif dan prediktif pemerintnah provinsi Jawa Timur menetapkan target/asumsi pertumbuhan Ekonomi Jatim 4,07-5,7%. Kedua, Masalah Optimalisasi penerimaan PAD melalui ekstensifikasi Retribusi Daerah berasal dari penambahan objek baru dan penyesuaian tarif Retribusi Daerah. Penulis menghargai ikhtiar pemerintah provinsi dalam menggali optimalisasi sumber-sumber PAD. Namun demikian, yang perlu dikritisi apakah sudah dipertimbangkan secara masak-masak? Amat kurang bijak, jika ada penambahan objek baru dan atau penyesuaian tarif baru untuk retribusi daerah dilakukan di saat kondisi sosial-ekonomi masyarakat belum pulih. Jangan sampai kebijakan tersebut menambah beban sosial-ekonomi msyarakat di tengah beban sosial-ekonomi msyarakat yang sudah serba sulit.

Ketiga, belanja daerah. Khususnya untuk bidang pendidikan yang angka cukup besar, yakni mencapai 38% lebih. Peulis sangat mengapresiasi alokasi anggaran untuk pendidikan yang cukup besar, 38,33% yang dibelanjakan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di Jatim. Namun demikian, yang perlu dikritisi adalah bagaimana skenario implementasi dan dampaknya terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Jatim. Bagaimana dengan pendidikan gratis untuk SMA/SMK sederajat? Fakta di lapangan pendidikan gratis untuk tingka SMA/SMK sederat, ternyata tidak gratis tis, masih ada pembayaran-pembayaran/beban lain yang ditanggung peserta anak didik.

Keempat, persoalan ada beberapa kab/kota yang dalam beberapa tahun terakhir ini, kondisi IPM nya tidak beranjak naik (tidak ada perbaikan signifikan) alias stagnan dan berada di papan bawah, yakni Kab. Sampang, dan beberapa daerah tapal kuda. Kab. Sampang sampai saat ini masih menjadi dengan tingkat IPM dan kemiskinan terburuk di Jawa Timur. Perbaikan dan peningkatan IPM hanya terpusat atau terkosentrasi di center city, seperti Surabaya dan sekitarnya, Malang, dan Jember.

Kelima, Di tengah pandemi Covis-19 ini, pondasi ekonomi Jatim, yakni UMKM relativ cukup survive dan tahan krisis. Dan ini tentu saja harus menjadi perhatian serius dari pemeritnah Provinsi terhadap keberadaan UMKM. Namun demikian, sangat disayangkan, alokasi anggaran untuk pemulihan ekonomi, berbasis UMKM masih sangat kecil (87,807 M). Bagaimana komitmen pemerintah provinsi terhadap program pemulihan ekonomi UMKM ini?. Keenam, Dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor pertanian tentu saja menjadi sektor ini “mati suri”. Sebelum ada pandemi pun nasib sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, cukup memprihatinkan (baca: tingkat pertumbuhan sektor pertanian masih minim/tidak lebih dari 3%). Pada saat yang sama, sektor pertanian masih menjadi ladang pencaharian sebagian besar masyarakat Jatim di pedesaan. Kondisi sektor pertanian cukup memprihatinkan, tetapi yang sangat disayangkan perhatian pemerintah terhadap pemulihan dan perbaikan sektor pertanian masih sangat minim. Hal ini ditunjukkan dengan masih minimnya anggaran untuk sektor pertanian ini (Rp 230 miliar).

Ketujuh, Politik anggaran defisit. Pemerintah provinsi menerapkan kebijakan belanja progresif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya desifit anggaran yang cukup besar, Rp 1,654 triliun lebih. Penulis berpendapat, kebijakan belanja progresif ini sudah tepat untuk menjawab problem real, yakni pemulihan kondisi sosial-ekonomi akibat pandemi di 2021. Akan tetapi yang perlu dikritisi adalah masalah peruntukannya. Penulis berharap defisit anggaran ini bernada positif, artinya anggaran defisit tersebut bukan dibelanjakan untuk kebutuhan kaum elit, tetapi kaum alit akibat pandemi Covid-19. Bukan untuk belanja rutin/pegawai dan operasional, melainkan untuk kebutuhan pembangunan atau kebutuhan masyarakat yang lebih riil. Pemanfaatan politik anggaran defisit lebih diorientasikan untuk kebutuhan yang lebih produktif sebagai wujud dari pemulihan sosial-ekonomi masyaakat.

Oleh karena itu mencermati perangkaan di atas, pada waktu pembahasan, penulis merekomendasikan agar Komisi dan Badan Anggaran untuk lebih kritis dan cermat dalam membahas perangkaan potensi dan proyeksi pendapatan daerah dan proyeksi belanja daerah yang lebih rasional dan objekti dan benar-benar berorientasi pada tema pemulihan sosial-ekonomi masyarakat akibat pandemi Covid-19.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: