Catatan Sejarah Politik dari Gestapu ke Reformasi

05282bf03eeaa7Judul  : Dari Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian
Penulis    : Salim Said
Penerbit  : mizan
Cetakan  : II, Januari 2014
Tebal    : 587 halaman
ISBN    : 978-979-433-816-2
Peresensi  : Junaidi Khab
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan
Humanioran UIN Sunan Ampel Surabaya.

Rentetan sejarah panjang Hindia Belanda hingga menjadi negara Indonesia yang merdeka, tak dapat menghindar dari kemelut persoalan politik yang terus bergulir. Usai perebutan kemerdekaan negara Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945 di bawah kepemimpinan bapak Revolusioner Republik Indonesia, Soekarno, yang dikenal dengan Orde Lama (Orla), ternyata terus menelurkan catatan sengketa politik dalam negeri yang semakin memanas.
Hal tersebut bisa diteropong dari sejarah pergolakan politik Gerakan 30 September (Gestapu) pada tahun 1965. Gestapu juga dikenal dengan sebutan Kudeta 1 Oktober 1965 (Gestok), atau G30S/PKI. Prosesi Gestapu tak lain merupakan cermin buram negara Indonesia pada masa itu. Sejarah prosesi Gestapu dari alasan kudeta, pembaiatan, penculikan, hingga pembantaian tak menemukan ujung-pangkalnya.
Walentina Waluyanti de Jonge (2013:170) sempat mengatakan dalam bukunya yang berjudul Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen, bahwa Persoalan pokok yang mendasari Gestapu, Gestok, atau G30S/PKI, yaitu PKI ingin menggeser Angkatan Darat. Sementara, Angkatan Darat juga ingin menggeser PKI. Apalagi ketika itu Soekarno sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin usianya tidak lama lagi. Pada masa itu, siapa cepat, dia dapat. Antara PKI dan Angkatan Darat sudah benar-benar main sikut-sikutan pada masa itu.
Kehadiran buku Salim Said yang berjudul Dari Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian ini, merupakan sebuah oretan sejarah dan bukti kesaksiannya tentang pergolakan politik pasca-kemerdekaan Indonesia, yaitu dari pengalaman pribadinya sebagai wartawan sekaligus peneliti politik pada masa itu. Misalkan, pada 30 September 1965 hingga larut malam, Salim Said meliput pengajian di kediaman resmi Panglima Angkatan Laut Laksmana Madya TNI R. Eddy Martadinata (hlm. 17).
Ada banyak misteri pengalaman yang berhasil diungkap oleh Salim Said, mulai masa Gestapu ke Reformasi, melalui penalarannya yang cukup kuat, tajam, dan mudah dimengerti. Keterlibatannya dalam lapangan secara langsung inilah yang menjadikan kajiannya penuh dengan bukti otentik oretan sejarah pergulatan politik Indonesia sejak peristiwa Gestapu 1965. Dalam catatan kesaksiannya ini, kita bisa melihat secara jelas, siapa yang menunggang dan siapa yang ditunggangi, dalam pacuan kuda politik Indonesia yang penuh dengan jurang-jurang curam pemerintahan.
Cuma uraian pencatatan tentang perjalanan politik yang ada ini, terkesan buru-buru. Dalam hal ini, meski Salim berhasil menguak peristiwa dari kejadian sebelum, pada saat, dan setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 berjalan dengan baik, namun pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri tak disinggung sedikit pun dari persoalan politik yang sedang terjadi. Hal ini yang mengesankan ada hal yang tertutupi. Selain itu, peristiwa penyerahan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) tahun 1966 luput dari ulasan dari sekian pengalaman yang terurai manarik ini. Sehingga sedikit banyak, catatan ini jauh dari sempurna yang mebutuhkan rujukan baru.
Meskipun demikian, buku ini perlu diberi acungan jempol karena telah berhasil menguak dan memaparkan berbagai peristiwa (politik) penting yang pernah terjadi di Indonesia, meskipun tidak secara keseluruhan, termasuk peristiwa kekuasaan Orla-Orba. Pada akhir kekuasaan Orla, Indonesia dipegang oleh dua kekuasaan, yaitu Presiden dan ABRI, sehingga Soekarno terguling. Namun pada masa Orde Baru (Orba), hanya berada di bawah satu komando presiden Soeharto. Jika ada perintah hitam, hasilnya harus hitam. Inilah pemerintahan yang diktartor dan otoriter bertahan lama.
Seiring perjalanan pemerintahan Orba yang otoriter, lambat laun juga menemukan kesurutannya. Meskipun presiden Soeharto berada di balik dukungan ABRI dan militer yang sangat kuat, juga harus menghembuskan nafas kekuasaannya. Sehingga, perlahan sinar Orba harus tenggelam, dan cahaya reformasi menyingsing untuk menyambut masa depan yang lebih cerah. Sejak itulah bangsa ini menemukan kemerdekaan kembali dalam berbagai hal, meski masih berada dalam kekangan euforia kaum kolonial yang terjadi secara tidak langsung.
Perbedaan antara Orde Baru dan sekarang adalah pada lingkungan strategis. Pada awal Orde Baru, Indonesia masih berada dalam era Perang Dingin. Waktu itu cerita tentang HAM belum lagi terdengar, bahkan kubu Barat maupun Timur sama-sama mendukung rezim otoriter dan campur tangan militer dalam politik dengan alasan dan kepentingan masing-masing. Perang Dingin kini telah menjadi objek tontonan dalam museum. Dunia tak lagi menoleransi otoritarianisme, bahkan keterlibatan militer dalam politik makin lama makin dianggap sebagai suatu barang kuno sisi masa Perang Dingin yang harus secepatnya disingkirkan (hlm. 403).
Sebenarnya, ada beberapa indikasi yang menyebabkan pemerintahan Orba berlangsung cukup begitu lama dan otoriter. Pertama, presiden mendapat dukungan penuh dari ABRI dan militer. Kedua, penyalahgunaan kekuasaan terjadi karena kekuasaan negara terlalu besar, sementara perkembangan masyarakat sangat lambat. Ketiga, secara kultural kita mewarisi tradisi negara tradisional yang kuat terhadap kawulanya dan negara kolonial yang amat perkasa terhadap anak jajahannya.
Buku ini sangat menarik, dengan memaparkan berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia. Utamanya terkait pergolakan politik yang semrawut pasca-Indonesia merdeka. Dari sekian kajian yang berdasarkan fakta pengalaman pribadi dan kajian mendalam terhadap suatu peristiwa, mulai dari gestapu ke reformasi, dalam buku ini bisa ditemukan titik terang dan benang merah sebuah kesaksian yang sekian lama terpendam dalam api sejarah perjalanan politik di Indonesia.

—————————- *** —————————-

Tags: