Cegah dan Lindungi Diri dari HIV/AIDS

Oryz-SetiawanOleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Genderang perang terhadap HIV/AIDS terus ditabuh, mulai dari sisi peraturan, kebijakan hingga standar tata laksana kasus, terutama dalam aspek pencegahan (preventif) atau mencegah sedini mungkin setiap probabilitas resiko penularan serta deteksi dini (early warning system). Hingga detik ini, penyakit HIV/AIDS masih menjadi sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat meski upaya untuk menekan laju penyebaran HIV/AIDS melalui serangkaian sosialisasi dan penyuluhan di berbagai media begitu beragam. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pemahaman masyarakat tentang kehebohan HIV/AIDS sudah mulai berubah, berbeda dengan kondisi sekitar 2-3 dasawarsa yang lalu, penyakit HIV/AIDS kini sudah tidak menjadi momok yang menakutkan bak monster pembunuh bagi pengidap terutama di wilayah perkotaan (urban). Namun demikian, bila melihat sisi perkembangan penyebaran dan jumlah kasus yang terus meningkat kita patut kawatir dan cemas, bila tidak ada upaya yang serius dan masif untuk menekan laju penularan terutama kini mulai perkembang pada kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Dewasa ini tingkat perkembangan penyakit HIV/AIDS di Indonesia dinilai telah mencapai taraf yang mengkawatirkan.
Di sisi lain penderita atau Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) juga memiliki hak untuk di’manusia’kan seperti layaknya orang biasa sehingga upaya pengucilan ODHA merupakan bentuk pelanggaran HAM akibatnya kian menyulitkan dalam penanggulangan virus mematikan tersebut. Namun demikian ODHA juga harus menjaga diri agar tidak menyebarkan HIV ke orang lain. Bahkan dikatakan bahwa HIV/AIDS adalah sebagai kejahatan sektor kesehatan yang laur biasa atau (health extraordinary crime) sehingga diperlukan perhatian serius dan komitmen bersama stakeholder. Isu HIV-AIDS kini tak pelak menjadi isu yang strategis dan mendasar pada bangsa ini seperti halnya kelangkaan energi (BBM), krisis pangan, bahkan seekstrim terorisme. HIV/AIDS adalah salah satu bentuk “terorisme kesehatan” dimana juga dapat memakan korban yang memiliki efek mematikan. Oleh karena itu upaya penanganannya mutlak membutuhkan kerjasama lintas sektor, terintegrasi dan holistik semua pihak. Sekali lagi kesehatan merupakan muara dari dampak penyakit HIV/AIDS.
Berdasarkan Laporan Kementerian Kesehatan RI, jumlah kasus HIV di Indonesia mulai tahun 1987 hingga tahun 2014 sampai Bulan September sebanyak 150.285 kasus HIV dan 55.799 kasus AIDS dengan jumlah kematian 9,796 jiwa. Sementara prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mencapai 23,48 per 100.000 penduduk. Laporan UNAIDS juga menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV/AIDS relatif cepat. Kondisi tersebut menunjukan bahwa proporsi kasus AIDS pada semua level umur mengalami peningkatan yang sangat signifikan bahkan cenderung ‘case booming’  sehingga inilah yang melatarbelakangi peringatan Hari AIDS Sedunia, 1 Desember yang mengusung tema “Cegah dan Lindungi Diri, Keluarga dan Masyarakat dari HIV/AIDS dalam rangka Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)”. Pada tahun ini secara khusus peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun 2014 akan berfokus pada upaya perlindungan HAM. Sebagai bagian dari HAM, setiap orang memiliki hak untuk bebas terhadap setiap ancaman HIV/AIDS terutama kemungkinan terjadinya resiko penularan. Publik berhak atas informasi terhadap sumber-sumber potensial penularan terhadap diri, keluarga dan masyarakat dari ancaman HIV/AIDS.
Salah satu wujud komitmen tersebut adalah dibentuknya Komite Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan Komite Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di sejumlah daerah. Namun hingga kini efektivitasnya patut diragukan karena hanya bersifat formalitas, minim aksi, gerakan kurang membumi terbukti jumlah kasus terus meningkat hampir seluruh wilayah Indonesia terutama diperkotaan dan sebagian luar Jawa. Ironisnya gerakan anti AIDS lebih terjebak dalam upaya mencegah penularan penyakit semata seperti kampanye kondom atau kondomisasi masih perlu dipertanyakan terutama dalam upaya efektivitas penularan HIV-AIDS. Sesungguhnya kondomisasi hanyalah untuk menghindari kelompok berresiko dalam penularan, padahal kelompok yang tidak beresiko lebih mendominasi sehingga takpelak lagi bahwa upaya kondomisasi adalah justifikasi untuk melegalkan hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan yang sah.
Akselerasi Riset
Berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa “setiap penyakit pasti ada obatnya” sehingga penderita HIV/AIDS kelangsungan hidupnya sangat tergantung dari obat antiretroviral yang mampu memperpanjang daya tahan tubuh dan umur harapan hidup. Selain dilakukan pengobatan secara rutin dengan memperkuat ketersediaan logistik obat retroviral, juga dibutuhkan akselerasi riset untuk menemukan obat yang lebih efektif untuk mengeliminasi berkembangnya virus HIV. Meski dilakukan berbagai upaya penatalaksanaan prosedur medis hingga intensifikasi penelitian penemuan obat antivirus HIV namun upaya penanganannya menitikberatkan pada aspek pencegahan (preventif) dan tindakan antisipatif sehingga potensi penyebaran HIV/AIDS dapat dicegah sejak dini. Menurut Blum, 1979 menyatakan status kesehatan seseorang sangat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu faktor lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan (genetik). Jika dikaitkan dengan penyakit HIV/AIDS, tampak faktor perilaku masyarakatlah yang paling dominan memberi andil dalam penyebaran penyakit maut itu. Oleh karena itu pola penekanan program pencegahan harus mengacu pada upaya melakukan perubahan perilaku masyarakat sesuai dengan tingkat pemahaman, karakteristik wilayah, derajat kompleksitas epidemisitas hingga struktur dinamisasi masyarakat tanpa mengabaikan ketiga faktor lain yang saling terkait.

                                                                                        ——————— *** ——————-

Rate this article!
Tags: