Cegah Eskalasi Kejahatan Remaja

Yunus Supanto(Mengawasi Telepon Selular Berbasis Android)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Khazanah sosial nasional berduka karena tragedi (perkosaan dan pembunuhan) Rejanglebong, Bengkulu. Tragedi yang sangat miris, diluar nalar kemanusiaan. Menjadi sejarah kelam kebiadaban remaja. Lima orang anggota kabinet (menteri) yang perempuan menangis. Presiden sampai memberi perhatian seksama terhadap tragedi itu sebagai “warning” yang harus segera diantisipasi. Ini menyangkut tren kehidupan sosial remaja, generasi penerus.
Bahkan beberapa pakar anak-anak yang dibawahkan oleh PBB, UNICEF (United Nations International Childrens Emergency Fund), juga mengarahkan pandangan ke Rejanglebong. Ada apa dengan perubahan sosial anak-anak di Indonesia? Serentetan kejahatan berat terhadap gadis belia, seolah-olah terjadi sambung-menyambung. Ingat, kebiadaban yang dialami (almarhumah) Nur Faizah, di Kalideres, Jakarta (Oktober tahun 2015)?
Setelah diperkosa, bocah perempuan yang masih duduk di bangku SD kelas 2 itu, dibunuh. Jasadnya dibuang di semak-semak di pinggir jalan tol. Tubuhnya diikat lakban, dimasukkan dalam kardus. Kasus ini  belum memasuki persidangan. Namun bersyukur, Polda Metro Jaya (Jakarta) menetapkan kasus ini sebgai extra-ordinary crime. Kejahatan luar biasa, sejajar dengan terorisme, serta pelanggaran HAM berat. Pelakunya bisa diancam pidana maksimal,  hukuman mati.
Tetapi Rejanglebong, merupakan kota kecil di propinsi Bengkulu, Sumatera bagian selatan. Kawasannya berupa pegunungan dengan hamparan perkebunan yang luas dan indah. Namun kawasan yang asri itu tiba-tiba menghentak dunia, melalui tragedi pemerkosaan oleh 14 remaja terhadap seorang gadis belia, pekan awal bulan April lalu. Biadabnya, korban juga dibunuh, jasadnya dibuang di tebing curam pinggir hutan.
Pelakunya sudah mulai dijadikan tersangka. Namun ancaman hukumannya sangat ringan, tidak menimbulkan efek jera. Tujuh pelaku yang masih remaja dituntut masing-masing 10 tahun, plus denda Rp 200 juta. Sedangkan lima pelaku dewasa (lebih dari 18 tahun) akan disidangkan menyusul dengan tuntutan lebih berat. Juga pelaku dewasa yang masih buron, boleh jadi akan dituntut hukuman mati.
Tuntutan jaksa, diprotes oleh Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Walau diakui, terdapat UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya terdapat advokasi khusus untuk anak sebagai pelaku kejahatan. Hukumannya harus beda (lebih ringan) dibanding pelaku kejahatan dewasa. Tetapi diperlukan syok terapi untuk pelaku kejahatan luar biasa, termasuk pelaku dibawah umur (anak-anak).
Hukuman Syok Terapi
Kekerasan terhadap anak, khususnya anak perempuan, makin meningkat. Tahun lalu (2015), bagai melesat. Terutama kejadian dengan pemberatan (hingga korban meninggal) cenderung meningkat. Anak-anak, bukan hanya menjadi korban, melainkan juga menjadi pelaku tindak kekerasan pada teman sebaya. Di dalam kelas (sekolah) pula! Meningkatnya tindak kekerasan pada anak, sungguh  sangat ironis, karena Indonesia telah menjamin hak asasi anak dalam konstitusi dasarnya.
Konstitusi menjamin hak asasi anak. Sebagaimana tertulis dalam UUD pasal 28-B ayat (2) , mengamanatkan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.” Tetapi penegakan hukum terhadap tindak kekerasan pada anak masih menggunakan KUHP. Juga advokasi UU Perlindungan Anak, seyogianya mengecualikan extra ordinary crime. Tidak menghalangi hukuman maksimal.
Hukuman yang tak seberapa, menyebabkan banyak kasus serupa terulang. Faktanya, banyak pula anak-anak yang harus “diamankan” dengan model pendidikan khusus di dalam penjara. Toh masih terdapat remisi yang mempertimbangkan perbaikan mental. Sehingga hukuman berat (selain hukuman mati) bisa dikurangi. Namun syok terapi patut dilaksanakan untuk menimbulkan efek jera.
Tren peningkatan kejahatan anak pada kuantitas maupun kualitas modus, bisa menjadi yang terparah di dunia. Berdasar analisis KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), sejak tahun 2015 sudah dalam situasi darurat perlindungan anak. Dari 6006 kasus, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap anak terkait pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait kesehatan dan NAPZA, dan 1032 kasus cyber crime dan pornografi. Per-angka-an ini merupakan potret situasi ke-gawat-an kriminal anak.
Mengapa anak-anak menjadi berandalan? Karena itu ke-seksama-an perhatian terhadap sistem perlindungan anak, menjadi sangat urgen, strategis dan kritis. Penegakan hukum (yang membuat jera), dapat menjadi alat  untuk memutus mata-rantai “pemikiran jahat” anak. Terutama situs porno yang dapat diakses secara bebas oleh anak-anak. Begitu pula kejahatan anak yang tidak tergolong sangat berat, dapat menebar kecemasan (ketakutan) yang masif di tengah masyarakat.
Perbuatan iseng dengan menyakiti orang lain marak, dilakukan oleh anak-anak (usia 13 – 17 tahun)! Dikhawatirkan rakyat akan membalas setimpal, pelaku bisa dikeroyok. Bahkan bisa mengancam jiwa. Maka kewaspadaan mesti ditingkatkan, terutama oleh jajaran Kepolisian, dengan memper-kerap patroli keliling. Begitu pula sekolah dan orangtua bisa memberi wejangan pencegahan.
Ke-jahil-an Remaja
Modus pepet pukul, tidak hanya dilakukan di arena sepi pada malam hari. Melainkan juga dilakukan di tempat ramai. Aksi ini dilakukan oleh kelompok pen-jahil yang sedang beriring-iringan sepedamotor. Telah terjadi 17 kasus di Yogya, Magelang dan Bali. Penyerangan dilakukan dengan cara menyayat, memukul dengan benda keras, dan dengan menembakkan senjata (jenis airsoft-gun). Jika tidak sigap, korban bisa jatuh dari kendaraan, mengakibatkan kecelakaan lebih fatal.
Dalam keadaan syok, lemah (bercucuran darah) korban ditinggalkan begitu saja. Tidak ada perampokan, juga tidak ada perampasan barang. Ciri-ciri pelaku tindakan pembegalan, rata-rata anak remaja belia (berusia dibawah 18 tahun). Pemuda yang bisa digolongkan sebagai “bermasalah psikologis.” Sangat mungkin dilakukan dibawah pengaruh miras atau narkoba. Kejahatan dilakukan karena tidak memiliki kegiatan produktif (bermanfaat).
Berdasar catatan polisi, pelaku biasanya berkelompok mengendara sepedamotor. Namun ciri yang paling khas adalah, tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi), serta melanggar peraturan lalulintas. Misalnya tanpa helm. Sehingga patut diduga telah menyandang penyakit sosial atau gangguan psikologis. Bahkan mungkin pula bagian dari geng motor. Tengara pengalaman sebagai residivis dan geng motor, terbukti dari “ketrampilan” menghilang setelah ber-aksi.
Hal itu juga menandakan, bahwa pelaku telah mempelajari situasi wilayah. Boleh jadi, dilakukan oleh remaja sekitar tempat kejadian. Maraknya aksi ke-jahil-an, juga menuntut kerja keras kepolisian. Sudah beredar sms berantai berupa himbauan kewaspadaan terhadap aksi ke-jahil-an disertai kekerasan. Isi sms: Kepolisian Jawa Timur akan menyelenggarakan razia besar-besaran, sampai di tingkat Polsek (kecamatan). Kinerja kepolisian ini patut diapresiasi.
Polda DIY (Yogya), dan Polres Magelang secara khusus menggelar razia dan memperkerap patroli, termasuk pada jam sibuk. Pengemudi tidak hanya ditanya SIM maupun STNK, karena tujuannya memberantas kejahatan jalanan. Sasaran razia adalah remaja dan pemuda yang membawa senjata ilegal, senjata tajam, bahan peledak, narkoba dan premanisme. Namun Pemerintah (dan Pemerintah Daerah) wajib pula meningkatkan kinerja keamanan jalan. Misalnya melalui kinerja Dinas Perhubungan.
Yang perlu diwaspadai adalah, pola pikir remaja yang melampaui kejahatan orang dewasa. Harus diakui, banyak remaja salah asuhan yang berpotensi memiliki pemikiran kriminal  Dan mengerti benar hukumannya akan ringan. Tetapi yang miris, manakala ke-jahil-an remaja dipergoki masyarakat. Bisa berujung pengeroyokan,  dihajar masyarakat yang jengkel, sampai setengah mati.

                                                                                                  ————— *** —————

Rate this article!
Tags: