Cegah Politik Identitas

Politik idetitas, ber-altar SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) menjadi kewaspadaan bersama pada tahun politik, sepanjang 2023-2024. Kebersatuan, dan pluralisme kebangsaan bisa tercabik-cabik dengan politik identitas. Berujung tawur sosial. Terutama “perang” saudara di media social (medsos). Tetapi aparat penegak hukum (dan Keamanan) telah memiliki pengalaman menangani politik identitas Pilkada Jakarta (2017), dan Pilpres 2019. Nyata-nyata mengancam persatuan nasional, dan (keniscayaan) ke-bhineka-an Indonesia.

Berbicara (dan ber-medsos) dengan bahasa yang santun, menjadi kunci utama menghindari politik identitas. Sehingga kampanye politik seharusnya menjadi ajang memaparkan visi dan misi setiap parpol, setiap calon legislatif, serta setiap pasangan calon kontestan Pilkada, dan Pilpres. Dengan cara santun, kampanye akan menjadi cara terakhir merebut hati rakyat. Boleh meng-unggul-kan calon, tetapi tidak boleh menista (kampanye hitam) calon lain.

Sesuai amanat UU Pemilu tahun 2017, kampanye merupakan pendidikan politik masyarakat. Pada UU Pemilu, kampanye diatur dalam 72 pasal, mulai pasal 267 sampai pasal 339. Dengan beberapa ayat dalam satu pasal, bahasan kampanye nenjadi norma pengaturan paling panjang pada UU tentang Pemilu. Antara lain jadwal kampanye diatur dalam pasal 276 ayat (1). Yakni, dimulai tiga hari setelah penetapan pasangan Capres dan Wapres, sampai tiga hari menjelang coblosan.

Waktu yang cukup panjang, sekitar tujuh bulan, bisa digunakan untuk meningkatkan elektabilitas pasangan Capres-wapres. Melalui kampanye bisa dinyatakan keunggulan masing-masing paslon. Sebenarnya, kedua Capres sudah dikenal luas. Sehingga kampanye seharusnya tinggal memaparkan visi dan misi Capres-Cawapres dengan cara santun. Kampanye akan menjadi cara terakhir merebut hati rakyat.

UU Pemilu juga mengenal “larangan” dalam ber-kampanye. Dimulai pasal 280 ayat (1), huruf a hingga j. Khususnya pada huruf c, dilarang: “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.” Serta pasal 280 ayat (1) huruf d, dilarang: “menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.” Sanksi paling berat tercantum pada pasal 286, berupa pembatalan sebagai paslon (Capres-Wapres) maupun Caleg.

Larangan “kampanye hitam” juga tercantum dalam PKPU (Peraturan KPU) Nomor 23 tahun 2018. Pada pasal 21 ayat (1) huruf d, menyatakan, bahwa materi kampanye disampaikan secara “bijak, dan beradab, yaitu tidak menyerang pribadi, kelompok, golongan, atau Pasangan Calon lain.” Serta pasal 21 ayat (1) huruf d, “tidak bersifat provokatif.” Juga terdapat pasal 36 ayat (1), menyatakan, “Pelaksana Kampanye wajib mendaftarkan akun resmi Media Sosial.”

Tetapi diduga kuat, akan banyak akun kampanye “liar” yang tidak didaftarkan. Akun “liar” sengaja diterbitkan sebagai ajang perundungan, sampai berita hoax, dan fitnah. Serta banyak meng-unggah tagar (tanda pagar) olok-olok. Konon pabrik hoax, panen pesanan. Termasuk pembuatan peristiwa, dan data palsu disiagakan untuk “mem-bombardir” pihak lawan. KPU bersama Bawaslu (Badan Pengaws Pemilu) telah sepakat menegakkan UU Pemilu, khususnya yang berkait pnecegahan politik identitas.

Selain UU Pemilu, aparat penegak hukum juga memiliki “senjata” berupa UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Kinerja penyelenggara Pemilu dan aparat keamanan, akan didukung BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara). Biasanya, politik identitas akan berlindung di balik UUD pasal 28F tentang hak berkomunikasi dan memperoleh sampai menyampaikan informasi. Namun konstitusi juga memberi batas pelaksanaan hak asasi manusia, diamanatkan dalam pasal 28J ayat (2).

Mengelola ke-bhineka-an, patut menjadi pertimbangan seluruh pimpinan parpol, Caleg, dan seluruh kontestan dalam Pilkada, dan Pilpres. Dengan tetap berdasar pada prinsip demokrasi Pancasila.

——— 000 ———

Rate this article!
Cegah Politik Identitas,5 / 5 ( 1votes )
Tags: