Cegah Putus Sekolah

foto ilustrasi

Akhir bulan (April) ini menjadi waktu paling kritis ke-pendidikan. Banyak orangtua murid golongan keluarga tidak mampu telah ancang-ancang “putus sekolah.” Terutama pada jenjang lulus SD (Sekolah Dasar), serta kelas VII dan kelas X. Selain untuk mengurangi beban ekonomi keluarga, anak baru gede (ABG) diharapkan bisa bekerja. Mencari uang untuk menyokong perekonomian keluarga. Murid perempuan, tergolong lebih rentan putus sekolah, termasuk alasan “budaya.”
Tak jarang, sekolah dianggap tidak menarik. Sudah cukup lulus SD, atau kelas VII (asal merasakan jenjang SMP). Berdasar data angka partisipasi pendidikan, putus sekolah paling banyak terjadi pada kelas VII. Urutan berikutnya pada siswa kelas X. Di Jawa Timur, rerata angka ke-pendidikan hanya sampai kelas VIII. Ini sudah tergolong lumayan. Di se-antero pulau Jawa, hanya Jakarta dan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang memiliki rerata pendidikan masyarakat sampai lulus SMP.
Bahkan masih terdapat komunitas khusus, menganggap sekolah tidak berguna. Misalnya kaum adat “Baduy Dalam” di Lebak (Banten). Begitu pula di Jawa Timur terdapat kaum “Samin” (komunitas tertinggal) di Bojonegoro. Meng-anggap sekolah menyebabkan anak-anak meninggalkan adat budaya, terpengaruh budaya luar komunitas. Di berbagai regional Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, lebih banyak lagi komunitas yang belum mengenal sekolah.
Komunitas minim sekolah, umumnya bertampat tinggal di kawasan T-3 (ter-isolasi, tertinggal, dan terluar. Akses ke lokasi pendidikan (sekolah) sangat jauh, menuruni pegunungan, atau menyeberangi sungai. Karena itu sejak tiga tahun lalu, pemerintah makin menggiatkan program pendidikan di kawasan T-3. Banyak sarjana (baru lulus) direkrut menjadi guru. Setelah dua tahun diangkat menjadi guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), dengan imbalan memadai. Banyak yang sukses.
Tetapi di daerah perkotaan, angka putus sekolah jenjang SD dan SMP juga masih sangat besar. Di Jawa Timur, misalnnya, jumlahnya mencapai 12 ribu-an. Seharusnya ini sudah patut dikategori KLB (Kejadian Luar Biasa) pendidikan. Sebab, putus sekolah bukan sekadar tanggungjawab pemerintah (dan pemerintah daerah), melainkan juga situasi sosial (dan keluarga). Tetapi seyogianya, pemerintah daerah (kabupaten dan kota) berbuat lebih banyak.
Antaralain sosialisasi, serta meningkatkan fasilitasi wajibnya pendidikan dasar. Lebih lagi pendidikan merupakan kewajiban yang diamanatkan UUD pasal 31ayat (2). Secara tekstual dinyatakan: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Amanat wajib UUD juga di-breakdown dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas).
Pada pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas dinyatakan: “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”  Pendidikan dasar, bukan cuma SD. Melainkan SD dan SMP. Sebagaimana dinyatakan pada pasal 17 ayat (2): “Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan … sederajat.”
Siapa harus melaksanakan wajibnya pendidikan dasar? Ternyata, orangtua, sebagai garda terdepan. Pada pasal 7 ayat (2), dinyatakan: “Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.”  Tetapi amanat UU Sisdiknas, tidak banyak diketahui masyarakat. Berdasarkan data UNICEF tahun ini sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan. Sebanyak 600 ribu diantaranya, merupakan anak usia SD.
Besarnya angka putus sekolah pendidikan dasar, boleh jadi bagai fenomena gunung es. Yang tercatat tak sebanyak fakta sesungguhnya. Seyogianya, akhir bulan ini dijadikan pendataan khusus siswa miskin, dan dicegah agar tidak putus sekolah.

                                                                                                               ———   000   ———

Rate this article!
Cegah Putus Sekolah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: