Cerdas dan Kreatif Berliterasi

Oleh :
Uzlifatul Rusydiana, SPd
Guru SDN Magersari 2 Kota Mojokerto

Kegiatan literasi yang didengungkan Kemdikbud pada pertengahan 2015 sama sekali bukan program baru. Kegiatan membaca sebenarnya selalu dibawa oleh setiap Mendikbud. Tapi, sebagai sebuah kebijakan yang diatur dalam Permendikbud, baru kali ini dilakukan.
Perubahan fokus kebijakan pendidikan yang mengarah pada kecakapan abad ke-21 (literasi, kompetensi, dan karakter) diformulasikan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud ini kemudian menginisiasi lahirnya Gerakan Indonesia Membaca dan Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Indonesia Membaca melingkupi gerakan literasi pada ranah masyarakat dan keluarga, sementara gerakan literasi sekolah mencakup gerakan literasi di lingkungan sekolah.
Gerakan literasi di lingkungan sekolah sudah banyak dilakukan oleh sebagian besar sekolah di Indonesia melalui kegiatan 15 menit membaca. Alokasi 15 menit untuk membaca tersebut adalah waktu minimal untuk membaca dan kegiatannya pun tidak harus sebelum pelajaran dimulai. Sekolah diberi keleluasaan untuk menentukan kapan 15 menit untuk membaca itu digunakan.
Mengapa 15 menit? Pada dasarnya berapapun waktu yang dihabiskan siswa dalam satu kegiatan membaca bukanlah soal. Yang terpenting, siswa melakukan kegiatan membaca secara berulang-ulang dan setiap hari. Seperti yang diungkapkan oleh Janice L. Pilgreen (The SSR Handbook, 2000) bahwa gemar membaca tidak terletak pada durasi waktu membaca, melainkan frekuensi kegiatan membaca. Kunci utama menjadikan siswa gemar membaca adalah meletakkan membaca sebagai kegiatan reguler siswa. Namun, kegiatan rutin membaca 15 menit dalam satu hari menyisakan problema tersendiri bagi beberapa sekolah. Banyak siswa merasa jenuh dengan kegiatan tersebut lantaran kegiatannya monoton dan buku yang dibaca tidak menarik. Keterbatasan bahan baca siswa ini menjadi salah satu masalah tersendiri yang perlu dicarikan solusi cerdas tidak hanya dari pemerintah, namun guru juga mempunyai peran sentral sebagai pihak yang paling dekat dengan siswa.
Pentingnya Kreativitas Guru
Keterbatasan bahan baca dapat disiasati dengan menggunakan minimal 5% dana BOS untuk membeli buku teks dan nonteks. Guru juga bisa berinovasi dengan menyalurkan ide kreatif terkait penyediaan bahan baca siswa ini. Secara aktif guru bisa mengajak siswa untuk berpartisipasi menambah referensi pustaka kelas melalui berbagai program. Gerakan Lima Ratus Rupiah (Gelira), adalah kegiatan mengumpulkan uang lima ratus rupiah tiap siswa tiap pekan. Uang yang terkumpul digunakan untuk membeli buku secara berkala dan buku tersebut menjadi inventaris kelas dalam sudut baca.
SasiTima (Satu Siswa Tiga Majalah), di mana setiap siswa membawa tiga majalah anak dan tidak harus baru. Majalah tersebut diletakkan pada meja sudut baca masing-masing kelas, siswa saling meminjam untuk dibaca. Pada akhir tahun, majalah tersebut boleh ditarik kembali ataupun disumbangkan ke sekolah. Mengapa majalah anak? Karena majalah anak pada umumnya lebih menarik dengan perpaduan cerita, kuis, hiburan, dilengkapi gambar dan warna cantik yang disajikan. Dengan membaca majalah yang fullcolour tersebut, minat siswa membaca lebih meningkat. Selain itu, siswa juga dilatih untuk memiliki sikap saling berbagi dengan teman dengan saling meminjamkan bukunya untuk dibaca.
Literasi antarkelas juga bisa dilakukan sebagai upaya menambah khazanah baca siswa. Dengan aneka jenis majalah yang dimiliki oleh setiap kelas sebagai produk SasiTima, sangat dimungkinkan siswa dari kelas yang satu berkunjung ke kelas lain untuk saling membaca majalah yang dimiliki oleh kelas lain.
Berliterasi melalui tayangan video. Dalam kegiatan ini, siswa diajak melihat video singkat yang berisi cerita fiksi sarat muatan karakter. Selanjutnya, siswa diminta tagihan singkat untuk menuliskan pesan moral yang tersirat dari tayangan video tersebut. Dalam Billy Antoro (2017:36) Conrad William Watson mengatakan bahwa cerita fiksi memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk corak khas suatu bangsa. Sementara dongeng dan cerita rakyat mewariskan kebajikan atau menanamkan nilai luhur yang lain. Sedangkan menurut Dunbar dalam penelitiannya juga menyingkap pengaruh cerita fiksi terhadap otak manusia yang dapat memicu pelepasan endorfin, senyawa kimia yang menimbulkan perasaan senang.
Budaya literasi pada dasarnya tidak sekadar membaca. Menulis dan berhitung pun menjadi salah satu bagian di dalamnya. Untuk menghindari kejenuhan pada siswa, budaya baca bisa juga diselingi dengan budaya berhitung melalui program sarapan pagi. Sama dengan budaya membaca, waktu yang disediakan selama 15 menit. Sebagai upaya pemantapan berhitung siswa, guru memberikan satu soal yang ditulis siswa pada buku khusus yaitu buku sarapan pagi. Untuk kegiatan menulis, siswa diajak secara aktif menuliskan sebuah karya untuk dipajang di mading kelas.
Gerakan Indonesia Membaca Perkuat Gerakan Literasi Sekolah
Keberhasilan gerakan literasi sekolah tak bisa lepas dari Gerakan Indonesia Membaca yang meliputi gerakan literasi pada ranah masyarakat dan keluarga. Keduanya harus saling berkolaborasi. Gerakan literasi yang bercirikan pelibatan semua pemangku kepentingan berjalan selaras dengan program penguatan pendidikan karakter (PPK) yang juga berupaya menarik keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan di sekolah. Sudah semestinya orang tua menjadi teladan bagi anak dalam geliat literasi ini, misalnya membacakan dongeng sebelum tidur, membaca buku cerita bersama anak, membuat perpustakaan di rumah, memilih tontonan televisi yang sarat muatan karakter, serta teladan lainnya. Begitu juga pelibatan masyarakat dalam budaya baca bisa ditunjukkan dengan adanya perpustakaan-perpustakaan yang berdiri di setiap kelurahan. Siswa diajak mengunjungi dan membaca buku di sana setiap pekan. Atmosfer literasi yang begitu humanis diharapkan mampu memperkuat program literasi yang digalakkan pemerintah.
Gerakan literasi ini boleh saja timbul tenggelam di tengah dinamika masyarakat yang senantiasa berubah, tetapi gerakan literasi harus terus berdenyut dan dirasakan oleh semakin banyak elemen masayarakat. Ia merasuk dalam setiap pola pikir dan perilaku setiap insan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: