Cerita Budidaya Hidroponik Warga Kota Probolinggo

Pasangan suami istri Wagimun dan Maria Wantiyah kini tak perlu beli sayur karena menekuni hidroponik.

Belajarlah dari YouTube, Maria Wantiyah Kini Sayur pun Tak Perlu Beli
Kota Probolinggo, Bhirawa
Tidak memiliki pengetahuan di bidang pertanian, tidak membuat pasangan suami istri Wagimun dan Maria Wantiyah, enggan menekuni hobi berkebun. Dengan belajar secara otodidak, mereka membudidaya sayur di lahan terbatas secara hidroponik. Seperti apa ceritanya ?
Perumahan tumbuh subur di Kota Probolinggo. Terutama di kawasan selatan. Kondisi ini membuat lahan pertanian semakin terbatas dan akhirnya membuat warga Kota Probolinggo, lebih senang membeli produk pertanian seperti sayur mayur di pasar.
Di tengah makin sempitnya lahan pertanian, pasangan suami istri Wagimun dan Maria Wantiyah, warga Kelurahan Sukabumi, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, berusaha memanfaatkan lahan pekarangannya. Karenanya, ketika memerlukan sayur untuk dikonsumsi keluarga, pasutri ini jarang membeli di pasar.
“Kami hanya membeli sayur tertentu saja yang memang tidak tersedia di sini. Seperti wortel, itu tidak ada. Kalau sawi, kale, selada, kangkung, bayam, bayam merah, ya ambil sendiri di sini,” ujar Maria di lahan budi daya sayurnya, saat ditemui Bhirawa, Senin (7/9).
Sudah lama suami istri yang tinggal di Jalan Mawar Merah, Kelurahan Sukabumi, ini berkebun secara hidroponik. Di halaman depan rumahnya, terdapat dua rangkaian paralon yang digunakan untuk bercocok tanam. Satu paralon masih kosong, karena baru dimulai penanaman baru. Satu rangkaian lagi tumbuh subur tanaman sayuran, seperti selada, bayam, dan kale yang tumbuh subur.
Dari rangkaian paralon terdengar suara mesin. Rupanya itu mesin blower yang berfungsi mengatur sirkulasi air dalam paralon. “Mesinnya ini sama dengan yang ada di kolam supaya airnya mengalir dan tidak menggenang. Jika menggenang khawatir malah ditempati jentik nyamuk,” ujar Maria.
Sudah terhitung cukup lama mereka bercocok tanam secara hidroponik. Mereka memulainya sejak sebelum Wagimun pensiun dari pekerjaannya sebagai guru pada 2012. “Awalnya anak saya yang coba-coba menanam melalui sistem hidroponik, ternyata tumbuh. Kemudian belajarlah dari YouTube sampai seperti ini,” jelas Maria.
Pasutri ini rupanya tidak ingin setengah-setengah bercocok tanam dengan cara hidroponik. Pada 2017, setelah Maria pensiun mereka mulai mengembangkan green house. Green house itu berada di belakang rumah dengan luas sekitar 6 x 8 meter. Di dalamnya terdapat lebih dari 15 media tanam berbahan paralon dengan panjang sekitar 7 meter.
Media tanam ini ditempatkan dengan penyangga setinggi sekitar 50-60 sentimeter. Deretan tanaman hijau dan rimbun terhampar dengan daun-daun yang segar. Ada berbagai macam tanaman yang dibudidayakan di sana. Seperti kangkung, sawi hijau, sawi merah, sawi daging, kailan, dan bayam. “Menanam hidroponik ini tidak menggunakan pupuk, tapi ada nutrisi yang dimasukkan dalam air. Nutrisi ini menyerap ke akar tanaman tanpa melalui tanah,” jelasnya.
Dalam pot panjang itu dilengkapi dengan styrofoam berlubang. Di lubang itulah ditempatkan media tanam khusus hidroponik berupa rockwall. “Bisa bijinya yang ditanam di sana langsung. Ada juga biji yang ditumbuhkan dulu di tanah dan baru dipindah ke sana,” tuturnya.
Untuk menanam secara hidroponik ini, kakek empat cucu ini memilih menggunakan pestisida alami. Pestisida itu dibuat dari campuran bawang putih dan bawang merah. Hasil panennya, kata Wagimun, tidak hanya dikonsumsi sendiri.
“Ada yang menjualkan. Bahkan, untuk kangkung sudah ada yang mamasarkan. Enaknya bertanam dengan hidroponik, karena bisa diatur waktu panennya Dalam sebulan bisa mendapat laba bersih Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu,” jelasnya.
Menurut Maria, bercocok tanam secara hidroponik tidak hanya bertanam di air. Ada beberapa macam media tanam tanpa menggunakan tanah, tapi tetap disebut hidroponik. “Seperti yang kami gunakan ini rockwall. Bisa juga menggunakan sekam yang dibakar,” tambahnya. [Wiwit Agus P]

Tags: