Cerita Dr H Payono MPd, Meraih Gelar Doktor Diusia 58 Tahun

Memotivasi Anak Cucunya Agar Terus Sekolah Dijenjang Paling Tinggi
Kab Sidoarjo, Bhirawa
Bagi sebagian orang, hadits yang berbunyi “tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat” tidak begitu asing. Dalam hadits Nabi Muhammad SAW tersebut, dapat diketahui bahwa menuntut ilmu atau belajar itu tidak kenal batas usia dan waktu. Hal itu pula yang dilakukan Kepala SMA Negeri 1 Gedangan, Sidoarjo, Dr H Panoyo MPd. Diusianya yang hampir kepala enam, dia berhasil menuntaskan studi doktornya.
Dalam menuntaskan studi S3 itu, Panoyo memiliki motivasi khusus. Motivasi itu bukan untuk memperoleh jabatan lebih tinggi atau agar dipandang mentereng, namun demi memotivasi anak-anaknya dan memotivasi guru dan siswanya agar terus berlajar sekolah ke jenjang paling tinggi.
“Walaupun usia sudah mendekati purna tugas, tetapi masih bisa menyelesaikan gelar doktor dalam tiga tahun persis. Itu saya lakukan demi memotivasi anak dan cucu, serta untuk memotivasi guru dan siswa,” kata Panoyo.
Ia mengaku sangat senang sekolah, karena untuk mengejar ilmu pengetahuan, biar anak-anak dan cucu-cucunya paling tidak kalau bapaknya, kakeknya S3 mereka sudah mempunyai pandangan, mereka akan termotivasi kedepannya.
“Juga yang lebih penting untuk mendorong anak didik, bahwa pendidikan itu tidak terbatas usia. Buktinya saya masuk kuliah S3 pada usia 55 tahun, dan lulus pas usia 58 tahun, dengan IP 3,8,” ungkap warga kelahiran Surabaya, 25 Juni 1963.
Saat kuliah, Panoyo memiliki target harus kuliah negeri, karena waktu sekolah dasar di negeri, yakni SDN Kutisari, lanjut ke ST dan STM swasta. Begitu juga waktu kuliah S1 di Widya Darma dan S2-nya di Unipa. “Untuk S3-nya harus ditutup negeri. Itu sangat membanggakan saya, diawali negeri dan ditutup negeri,” ujar pria penggemar blangkon dan sudah mengkoleksi blangkon sebanyak 200 lebih.
Dalam menempuh doktoral jurusan Manajemen Pendidikan ini tidaklah mudah, harus berjuang keras penuh kesabaran. Pelajaran yang palit sulit baginya adalah bahasa Inggris.
“Dulu, usai sekolah SDN lanjut masuk ST dan STM, yang pelajaran Bahasa Inggrisnya kurang maksimal. Sehingga saya mengalami kedodoran. Coba bayangkan, ujian TUEFL (Test of English as a Forign Language) saja harus mengulang sampai 13 kali. Karena untuk bisa mengambil ijazah syaratnya harus lulus TUEFL,” ungkap mantan Kepala SMAN 1 Yosowilangun Lumajang.
Untuk mengatasi kesulitan dalam berbahasa inggris, harus berjuang keras dan sabar. Tidak cukup belajar sendiri, tetapi harus belajar dengan teman-teman yang pandai bahasa inggris. “Dan hasilnya, dua jurnal tulisan saya berhasil dimuat Scopus, sehingga saya termasuk salah satunya lulusan Unesa yang tanpa ujian terbuka. Karena berhasil menulis dua jurnal dan dimuat Scopus itu,” terang Pak Panoyo.
Banyak kebanggaan saat kuliah S3 ini, Panoyo masuk Juli 2017 dan lulus Juli 2020. Tiga tahun persis. Saat menulis Disertasi juga tepat waktu, setahun persis, tidak molor. Namun saat membuat Disertasi tentang Manajemen Penguatan Pendidikan Karakter di Kabupaten Sidoarjo (Studi Multi Kasus di SMAN 1 Krian dan SMAN 1 Taman) ini juga penuh perjuangan dan penuh semangat.
“Karena apa ?. Kondisi Disertasi yang sudah jadi, dan menurut saya sudah paling benar dan paling bagus, ternyata dibungkar sama pembimbingnya untuk diperbaiki. Dan itu terjadi sampai dua kali. Makanya, saya juga menyarankan kepada teman-teman yang kuliah mengambil S3, harus penuh berjuangan dan penuh kesabaran, yang penting semangat, semangat, semangat, jangan putus asa,” ungkap Panoyo yang juga sebagai Ketua MKKS SMA Negeri Sidoarjo.
Di sisi lain, Panoyo juga menemukan keunikan saat masuk kuliah S3 di Unesa, tiba senang dengan blangkon. Sejak itulah, pria bongsor ini kemana-mana selalu memakai Blangkon hingga sekarang menjadi ciri khas, guru yang mencintai kejarinan tradisional Blangkon.
Ia mengaku, blangkon selalu dipakai kemana saja dan dimana saja, baik untuk kuliah, untuk mengajar, bahkan saat menjadi khotib Jumat pun juga memakai blankon. “Tidak tahu ya, saya cuma senang saja memakai Blangkon, sudah ada 200 Blangkon lebih yang saya koleksi dari berbagai daerah. Terbanyak dari Yogyakarta dan Solo,” katanya.
“Ya sambil melestarikan budaya tradisional kita. Kalau saya memakai blangkon, dan banyak orang yang senang, terus ikut memakaiannya, otomatis mereka beli. Kalau mereka beli, berarti para pengrajin Blongkon ini juga ikut senang. Sehingga membuat hasil kerajinan mereka lestari,” pungkas Panoyo yang menjadi guru sejak 1989. [Achmad Suprayogi]

Tags: