Cerita Inspiratif ST Wati Sulasminingsih Mendirikan SD Sains Jatim

Kasek SD Sains Jatim ST Wati Sulasminingsih mendampingi sebagian siswa siswi autis saat menuntun membaca berita Harian Bhirawa di kompleks sekolah. [sawawi]

Dihuni Siswa Autis-Down Syndrome, Berprestasi Berkat Pembelajaran Mandiri dan Berakhlak
Kabupaten Situbondo, Bhirawa
Sejak 2015 silam, di Kabupaten Situbondo berdiri sekolah SD Sains Jatim (Sekolah Dasar Sentra Anak Inklusi Situbondo). Sekolah yang salah satu pembelajarannya banyak mengenalkan alam dan olahraga itu sebagian besar dihuni oleh anak autis-down syndrome dan sebagian kecil siswa reguler (siswa normal). Yang unik, sekolah ini awalnya tanpa ada pihak yang memberikan perhatian, namun kini sebaliknya banyak orang tua yang memilih SD Sains sebagai tempat anak anaknya menimba ilmu.
Saat itu Kepala Sekolah SD Sains Jatim, ST Wati Sulasminingsih, tidak berada di sekolah karena mendampingi anak-anak didiknya dalam sebuah pembelajarn di lapangan. Namun beberapa saat setelah ditunggu perempuan yang akrab disapa Wati itu datang dan mempersilahkan Bhirawa untuk duduk di kursi sederhana, yang terbuat dari bambu.
Wati lalu menceritakan ikhwal pendirian sekolah inklusi di Kota Santri tersebut. Sekolah yang dibangun dengan serba pohon bambu itu beralamat di Jalan Baluran Nomor 25, Dusun Pareyaan, Desa Sumberkolak, Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo.
Keberadana SD SainS Jatim berawal dari adanya sebuah sanggar belajar non formal. Saat itu sekolah hanya bisa menampung siswa yang mau belajar namun secara gratis. Dari sanalah, mulai banyak dari sekolah lain yang tidak bisa menampung siswa autis dan down sindrome memasukkan siswa-siswinya ke SD Sains Situbondo. “Kebanyakan dipicu oleh permasalahan psikis yang masuk kesini (SD Sains Situbondo). Dan bukan karena masalah fisik,” ujar Wati.
Wanita alumni UT Jember itu menambahkan, kala itu Wati mulai mengadakan pendampingan dan banyak sekolah yang menolak karena belum ada SD yang mau menangani siswa autis dan sejenisnya. Kemudian dia intens berusaha sambil menjadi pemerhati pendidikan ditengah masyarakat. Harapan mulianya untuk bisa memiliki sekolah formal belum juga mendapat dukungan dan perhatian.
“Bahkan kami kala itu sempat dicemooh dan dicela ngapain capek capek dan sibuk ngurus sekolah siswa khusus autis. Tetapi karena saya bersama guru yang lain masih punya empati, lama lama akhirnya banyak wali murid mau mewadahi dan berhasil menampung 60 siswa,” ujar Wati.
Dari siswa sebanyak itu, urainya, ternyata semuanya belum pernah mengenyam belajar di sekolah. Karena waktu itu Wati dan koleganya ingin punya sekolah formal, maka ia dan koleganya nekat dan memberanikan bertemu Bupati Situbondo untuk menyampaikan keinginan mulai tersebut. Termasuk juga, aku Wati, ia dan rekan guru yang lain mengadakan pertemuan dengan Komisi IV DPRD Situbondo.
“Kami sempat juga ketemu IbuHasanah Thahir (Ketua Komisi IV DPRD Situbondo) untuk menyampaikan keinginan tersebut. Namun nyatanya yang ada hanya respon dan belum cepat merealisasikan keinginan mendirikan sekolah formal. Padahal kami tidak membutuhkan jasa, tetapi yang dibutuhkan adalah pendirian sekolah formal,” terang Wati lagi.
Seiring perjalanan waktu, tahun 2013-2014, ia mencoba melihat kurukulum Dinas Pendidikan namun ternyata dari kurikulum itu masih ngambang soal sekolah formal khusus inklusi. Akhirya untuk mensiasati sekolah formal cepat berdiri, Wati hendak membuat kurikulum sendiri yang setara dengan Dinas Pendidikan namun kala itu masih rancu karena berat dipihak pengajar. Nah baru tahun 2015, ulas Wati, ia mulai membedah kurikulum dengan sistem berlevel, namun tidak membuang isi kurukulum 2013 dengan tetap memakai standar yang lebih tinggi pengembangannya.
“Kita berusaha terus menyesuaikan dengan anak disini. Jika itu ada anak tuna netra maka ada kelemahan dibidang olahraga karena tidak punya skil dimata. Lalu anak yang punya gangguan psyikis, kita membenahi anak sesuai dengan kesempatan belajar yang pas dengan kemampuannya,” ungkap Wati.
Nasib baik menghinggap dipundak Wati, karena saat sudah mulai ada hasil yang dulu diimpikan bersama. Bahkan kini sudah mulai nampak, katanya, terbukti mulai terlihat hasil dari animo para orang tua. Dengan sendirinya, kini SD Sains Jatim banyak diminati para orang tua yang anaknya memiliki gangguan psyikis. Bahkan kini banyak masyarakat yang bertanya, ulas Wati, karena siswa siswinya bisa patuh, tenang dan bisa memiliki tata krama serta bisa bersosialisasi dengan baik.
“Lama kelamaan banyak siswa lain yang pindah kesini. Sebagian dari siswa sekolah formal juga pindah ke SD Sains ini dengan diantar gurunya langsung. Mereka mengaku sudah tidak mampu mendidik lagi,” kupas Wati.
Saat ini, lanjut Wati, siswa di SD Sains Jatim sudah bisa membaca dan berhitung sejak mulai memasuki kelas 3 hingga kelas 6. Padahal sebelumnya, aku Wati, pindahan siswa dari sekolah lain belum bisa membaca dan berhitung, meski siswanya sama berasal dari kelas 3 hingga kelas 6. Setelah didalami, ucap wati, penyebab itu bukan karena adanya gangguan psykis (autis) tetapi anak belum diberi porsi materi belajar yang sesuai dengan kemampuan para siswa.
“Rata-rata awalnya mereka bukan karena gangguan belajar sehingga tidak bisa membaca dan berhitung meski fisiknya normal, tetapi karena mereka sering di bully. Ternyata disini siswa bisa menuntaskan membaca dan bisa berhitung. Bahkan anak disini sama dengan anak anak yang diluar, yang punya prestasi dan unggul di bidang olahrada. Mereka juga bisa tartil membaca alquran,” ujar Wati.
Salah satu pendidik SD Sains Jatim bernama Rian, menimpali, disekolah SD Sains Jatim kini terus beradaptasi dan terus memberikan perhatian lebih kepada siswa siswinya yang mayoritas anak berkebutuhan khusus (ABK) dan sebagian normal. Bahkan, aku Rian, ia juga memberi perhatian kepada siswa yang membutuhkan huruf braile sehingga mereka kini bisa mampu menguasai kejiwaannya. “Kami juga intens mengadakan terapi dan screning awal, sehingga bisa mengetahui kelebihan yang dimiliki siswa baru,” tutur Rian.
Yunita, salah satu orang tua murid SD Sains Jatim bernama Srengenge Lanang, menceritakan kisah anaknya saat itu lahir dalam keadaan normal dan baru berusia 1,5 tahun memiliki kelainan pada sisi suara dan pencernaan makanan. Oleh Yunita, anak semata wayangnya dibawa ke dokter dan ternyata divonis menderita kelainan psykis (autis).
Sejak saat itu, Yunita mulai menyadari bahwa anaknya masuk katagori anak berkebutuhan khusus. Namun, aku Yunita, ia mengaku bangga karena anaknya memiliki sejumlah kelebihan. Diantaranya, bisa menguasai tiga bahasa dunia. “Srengenge Lanang itu bisa menguasai tiga bahasa. Yakni Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang,” ucap Yunita, yang mengaku pernah menjadi seorang pendidik itu.
Dari mana ilmu menguasai tiga bahasa itu ? Yunita membeberkan, bahwa anak kandungnya tersebut belajar tiga bahasa dari HP dan laptop. Biasanya, aku Yunita, anaknya mengunduh kosakata tiga bahasa asing itu dari medsos. Karena Lanang memiliki daya ingat yang sangat kuat sehingga saat diuji oleh guru gurunya langsung bisa. Bahkan, kata Yunita, menurut paparan guru gurunya, Srengenge Lanang kerapkali punya ide ide kreatif yang tanpa melihat buku bacaan (out the box). “Tapi kadang juga emosinya naik dan sempat teriak teriak dikala dia tidak dalam keadaan kondisi yang nyaman,” pungkasnya. [sawawi]

Tags: