Cerita Satriyo Wiweko-Siti Annurijati Raih Doktor Lingkungan Hidup

Satriyo Wiweko bersama Dr Hj Siti Annurijati Hatidja MT diantara peserta wisuda Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Brawijaya. [karyadi]

Dikenal Pasangan ‘Pendekar Sampah’, Raih Cumlaude Berkat Penelitian Sampah
Kota Mojokerto, Bhirawa
Tidak banyak orang yang mau bergelut dibidang yang tidak populis menurut sebagian orang. Tapi tidak bagi Satrijo Wiweko atau yang akrab disapa dengan Mas Kokok. Bersama sang istri tercinta, Siti Annurijati Hatidja, pasangan pendekar sampah ini, meraih gelar doktor lingkungan secara bersamaan. Tentu saja prestasi akademik tertinggi, yang diraih pasangan suami istri dalam waktu bersamaan, adalah sesuatu yang luar biasa, atau bahkan sangat jarang terjadi.
Terkait pencapaian ini, Kokok menceritakan, penelitian sang istri – yang merupakan karyawati di sebuah BUMN yang bergerak di bidang farmasi–, sempat membuat decak kagum para pengujinya. “Menurut para penguji, hasil penelitian istri saya, masih bisa dikembangkan lagi menjadi penelitian lain,” ujarnya.
Tampaknya, penelitian belahan jiwa Kokok alias sang istri, tidak jauh-jauh dari hal yang berbau pelestarian lingkungan, yang digeluti Kokok, yakni Kajian Pemanfaatan Limbah Industri Migas Sebagai Alternatif Sumber bahan Produksi Iodium.
“Istri saya cukup jeli melihat apa yang bisa dimanfaatkan dari limbah industri biasanya dibuang menjadi limbah tapi bias direuse dimanfaatkan lagi. Hingga diangkatnya sebagai kajian untuk meraih gelar doktor,” ungkap Koko.
Lelaki yang memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap lingkungan ini menambahkan, jika disertasinya, mengangkat tema dengan dunia yang sering digelutinya. “Jangan kaget, saya menempuh kuliah S3 hingga meraih gelar doktor ini juga tak lepas dari pemanfaatan sampah,” ceritanya.
Kokok mengisahkan, gelar doktornya mengambil tema tentang partipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah. “Biaya yang dihabiskan untuk mengelola sampah di perkotaan seperti Surabaya, bisa menghabiskan anggaran sebesar Rp90 miliar,” ungkap Koko.
Karena itulah, dirinya berinovasi, bagaimana meningkatkan peran serta masyarakat untuk peduli terhadap pengelolaan sampah. “Judul disertasi doktor saya, ‘Model Partisipasi Masyarakat Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dalam Mewujudkan Surabaya Green and Clean’,” paparnya.
Mengapa harus Surabaya?. Menurut Kokok karena Surabaya merupakan Kota Metropolitan, yang sarat dengan kaum urban, jika sampah tidak dikelola secara serius, maka sampah bisa menjadi bom waktu.
Saat menempuh sidang doktoral di Universitas Brawijaya Malang, ada yang membuat perasaan Kokok dan istri mengharu biru. Yakni dengan kehadiran ibu kandung Kokok beserta ibu mertua. “Dua perempuan sepuh itu, ibu saya, Hj Siti Soemuati Tri harjono yang sudah berusia 91 tahun dan ibu mertua Hj Siti Maryam M hasan ynang sudah berusia 82 tahun, ikut hadir menunggu kami ujian terbuka,” kisahnya dengan nada haru.
Lantas Kokok menceritakan, sejak kecil orang tuanya dahulu sudah menanamkan sikap pada anak-anaknya, termasuk dirinya untuk cinta lingkungan. “Dulu kami sering dibelikan ayam, kemudian diberikan tanggung jawab untuk memeliharanya, atau kami diberi tanggung jawab satu tanaman di rumah, agar dirawat sebaik mungkin,” kisahnya dengan mata menerawang.
Kokok yang dilahirkan dan besar di Surabaya, saat ini memilih tinggal bersama keluarganya di kota kecil Mojokerto. Kecintaannya pada lingkungan, dan pelestarian alam, tercermin dari rumah tinggalnya yang teduh, dipenuhi pepohon meski berada di perumahan yang sulit mencari lahan terbuka untuk bercocok tanam. Kampungnya mendapatkan penghargaan dari Gubernur Tahun 2012 Kampoeng Green and Clean. Kiprah Satrijo Wiweko juga diapresiasi Wali Kota Mojokerto Tahun 2016 mendapatkan penghargaan sebagi Pembina Lingkungan Hidup.
Satrijo Wiweko juga mendirikan sekolah lingkungan untuk anak-anak usia dini yang didirikan di lingkungannya yang terletak di Jalan Apel, Magersari Indah, Kota Mojokerto. Di sekolah ini, siswa-siswinya boleh membayar dengan sampah untuk biaya pendidikan.
“Di sekolah alam ini, anak-anak sejak usia dini diajarkan cara memilah sampah plastik, sampah basah, sampah kering dan sampah lainnya. Ketika sejak dini mereka dikenalkan pada pelestarian alam, saat tiga puluh tahun ke depan, mereka akan tetap mengingat pelajaran yang diperolehnya saat kanak-kanak. Dan ini akan membentuk karakter mereka saat menjadi pejabat, pembuat keputusan yang berwawasan lingkungan,” papar Satrijo Wiweko.
Pendekatan yang humanis membuat langkah edukasi tentang lingkungan yang dilakukan Koko mudah diterima oleh banyak kalangan. Mulai dari pemulung, ibu-ibu penggerak PKK, sampai kalangan birokrasi hingga akademisi. Aktivitasnya menjadi pembina persampahan tidak hanya dilakukan di Surabaya, tetapi juga dilakukan di daerah lain di Indonesia. “Kadang saya mengeluarkan biaya sendiri untuk melakukan perjalanan ke daerah lain untuk memberikan edukasi soal pelestarian lingkungan,” kisah Satrijo Wiweko.
Dengan diraihnya gelar tertinggi di bidang akademik yakni Doktor Lingkungan, oleh Satrijo Wiweko beserta sang istri, akan membukakan mata banyak orang. Ternyata banyak hal yang bisa digali dari sisi penngelolaan sampah dan limbah industri. “Tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, cita-cita melestarikan lingkungan yang Bersih Hijau dan Lestari dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse dan Recycle ) akan lama tercapainya,” papar Koko.
Pada 2017 pernah mendapatkan penghargaan mahasiswa berprestasi Program Doktor ilmu Lingkungan di Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang dengan IPK 4.
Tahun 2015 Meraih penghargaan Kalpataru Tingkat Jawa Timur dari Gubernur Jatim, Saat banyak orang lebih memilih menjadi pengusaha atau mencari proyek pembangunan fisik yang nilainya miliaran rupiah, Satrijo Wiweko lebih memilih berkomitmen pada lingkungan untuk tetap menjadi garda terdepan pelestarian.
“Ini bukan bidang untuk menumpuk materi duniawi, tetapi lebih pada keberkahan Yang Kuasa pada alam dan lingkungan untuk orang banyak. Kita manusia seharusnya hidup di dunia bukan untuk mencemari, tapi merawat dan menjaga lingkungan seperti yang sudah dianugerahkan Tuhan pada kita. Semua itu butuh uluran tangan kita,” tutupnya. [karyadi]

Tags: