Cerpen: Sebuah Pengakuan

Mahan Jamil Hudani

Oleh:
Mahan Jamil Hudani

“Aku benar-benar kecewa padamu, Pik. Tapi memang sudah tak ada lagi gunanya aku marah. Toh kita telah memiliki kehidupan masing-masing!” Ucapan Jesika itu bisa kumengerti, dan kalimat itu yang memang aku harapkan terucap dari bibirnya. Kubiarkan ia diam cukup lama, tenggelam dan larut dalam suasana batinnya yang mungkin sedang tak karuan, kaget, kecewa, dan seakan tak percaya. Entah kenapa aku merasa lega walau mungkin yang kulakukan ini adalah sebuah kebodohan.
Jesika atau Jesi, begitu aku sering memanggil namanya. Tapi aku akan menuliskannya dengan nama ‘Jeassy atau Jeassyca’ dalam surat-suratku agar terlihat lebih keren. Dia sendiri tak mempermasalahkan saat aku menuliskan namanya seperti itu. “Itu biar menjadi panggilan khususku padamu Jes,” Kataku padanya. Dan ia akan terdiam malu dengan paras merona merah dengan sejumput senyum kecil terselip di bibirnya. Namanya sendiri adalah Yesika.
Aku berpacaran dengan Jeassy saat ia masih di bangku kelas tiga SMP dan aku di bangku kelas dua SMA. Kami berasal dari kampung yang sama, sebuah kampung kecil di pedalaman, di bawah kaki sebuah pegunungan yang membujur panjang dari Utara menuju Selatan. Itulah kenapa warga kampung kami banyak melanjutkan pendidikannya di SMP dan SMA di kota kabupaten karena fasilitas pendidikan belum memadai di kampung, dan kami akan kost di kota tersebut
Begitu juga aku dan Jeassy, kami sekolah di kota kabupaten. Kost kami tak terlalu berjauhan, juga sekolah kami. Aku cukup jalan kaki saja ke kostnya karena memang saat itu aku tak memiliki kendaraan roda dua. Meski kami tinggal tak berjauhan dan jauh dari pengawasan orang tua kami di kampung, namun kami pacaran masih dengan rasa malu-malu dan masih sangat menjaga jarak. Tak pernah aku dan dia mengobrol berdua di kost, pasti ada teman-teman atau saudara Jeassy yang menemani dan kami mengobrol bersama beramai-ramai, jika ada hal yang bersifat pribadi, pastilah akan aku tulis dalam surat – yang tak lupa selalu aku tulis sajak-sajak dan kata-kata romantis di dalamnya – dan kemudian aku berikan pada Jeassy langsung saat bertemu. Jeassy selalu senang membaca surat-suratku, itu yang selalu dikatakannya berkali-kali dengan malu-malu saat kami bertemu.
“Kamu romantis sekali ya Pik. Aku sering membaca suratmu berkali-kali.” Itu kalimat yang sering ia ulang-ulang. Aku sendiri sebenarnya mulai bosan dengan kondisi ini, aku ingin juga bisa mengobrol berdua saja atau mengajaknya jalan, makan di luar bersama, atau pergi ke tempat wisata.
Aku adalah cinta pertama Jeassy, begitu tuturnya. Aku bisa merasakan cintanya dari ucapan dan perilakunya yang malu-malu tersebut. Sebulan sekali aku dan Jeassy pulang kampung, walau tak sering bersama karena Jeassy dijemput kedua orang tuanya, namun kami bisa bertemu di kampung. Kami berpacaran satu setengah tahun. Lalu aku lulus sekolah dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di pulau seberang. Hubungan kami masih tetap berlanjut melalui surat-surat. Hingga dua tahun kemudian berjalan, Jeassy lulus SMA dan melanjutkan pendidikan di kota provinsi, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan alasan bahwa hubungan jarak jauh itu cukup menyiksa bagi oang yang telah beranjak dewasa dan suatu hal yang sia-sia.
“Kenapa kita harus putus Pik? Bukankah kita ingin membawa hubungan ini ke pernikahan?” Jeassy membalas dalam suratnya. Ia tak bisa menerima keputusanku sebenarnya. Menurutnya kami masih bisa bertemu di kampung atau bicara lewat Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ). Kalau aku tak punya uang untuk menelponnya, ia bisa ganti menelponku sambil kami tetap berkirim surat. Meski Jeassy tak bisa menerima keputusanku, namun aku menganggap hubungan kami telah berakhir.

Setelah hubungan kami berakhir, kami pada tiap lebatan dan liburan panjang – saat kami mudik – sering bertemu dan berbincang. Ia masih ingin bisa hubungan kami berjalan walau aku selalu bilang bahwa lebih baik kami menjalani hidup masing-masing. Jeassy selalu menganggapku lelaki yang baik dan setia sebenarnya. Ia masih yakin bahwa kami bisa tetap menjalani hubungan untuk kemudian bisa menikah. Tapi aku sudah benar-benar tak ingin hubungan ini berlanjut lagi, terlebih aku tahu, Yayat sahabatku sangat mencintai Jeassy. Yayat pernah mengatakannya sendiri padaku ketika ia tahu bahwa aku sudah tak memiliki hubungan kekasih dengan Jeassy.
Aku tanpa beban sering memberi dorongan pada Yayat untuk mendekati Jeassy. Beberapa tahun itu berlalu hingga aku telah selesai kuliah dan bekerja di ibukota. Dua tahun kemudian, kudengar juga Jeassy telah selesai kuliah dan bekerja di kota. Pada suatu lebaran saat kami bertemu, Jeassy mengatakan jika Yayat telah mengatakan cinta padanya. Dia ragu untuk menerima cintanya. Aku tahu itu mengapa.
“Yayat adalah lelaki yang baik Jes, dia adalah suami yang pantas untukmu,” Jeassy diam saja, tertunduk dan kulihat beberapa kali mengembuskan napas panjang. Sempat kulihat sepasang matanya berkaca-kaca, menahan tangis.
“Kamu sendiri mengapa belum menikah Pik? Rasanya tak mungkin kalau kamu belum memiliki kekasih.” Jeassy akhirnya bertanya sungguh-sungguh seperti melepaskan beban yang sangat berat di dadanya. Dan aku akan tersenyum mengalihkan pembicaraan.
Beberapa tahun kemudian aku mendengar kabar Jeassy menikah dengan Yayat. Aku merasa senang mendengarnya. Bagaimanapun juga itu hal yang baik untuknya. Setelah itu aku mencoba tak menemuinya saat mudik di kampung karena Jeassy telah menjadi istri sahabatku. Yayat suaminya adalah lelaki yang baik. Aku tak ingin mengganggu hubungan mereka. Juga rasanya tak elok.
“Ya, begitulah Jes. Aku tak sebaik yang kamu pikirkan.” Aku ceritakan pada Jeassy bahwa saat kami masih berpacaran di kota kabupaten kami dulu, aku juga pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Aku benar-benar merasa tak menikmati hubunganku dengan Jeassy. Itulah kenapa aku membutuhkan perempuan lain sebagai kekasih. Hal itu yang sangat mengejutkan sekaligus membuat Jeassy kecewa. Begitu juga setelah aku pindah untuk melanjutkan pendidikan di pulau seberang, aku beberapa kali memiliki kekasih. Jeassy menganggap bahwa aku masih mencintainya. Dan ia masih mengharapkanku menjadi kekasih dan suaminya. Padahal tidak, aku sedang menikmati petualanganku.
Lebaran ini aku mudik. Aku tak mengajak pulang kampung istri dan anakku yang masih berusia beberapa bulan. Dan aku mengajak Jeassy bertemu di kota kabupaten untuk berbincang dan mengobrol. Yayat, suami Jeassy sedang bekerja di luar negeri sebagai seorang TKI dalam waktu yang cukup lama. Aku ingin sekali mengatakan Jeassy hal yang selama ini aku tutupi darinya. Niat utamaku adalah agar ia bisa berbahagia dengan rumah tangganya tanpa ada bayang-bayangku dalam hidupnya. Ini kurasa waktu yang tepat karena kami telah sama-sama menikah dan memiliki anak.

“Sekarang kita telah sama-sama memiliki pasangan dan anak, Pik. Biar cerita tadi menjadi rahasia kita di masa lalu. Aku merasa lega meski sekaligus kecewa mendengarnya.” lanjut Jeassy.
“Memang tak mungkin rasanya pria seromantis dan secerdas kamu tak memiliki kekasih dahulu. Tentu mudah bagimu untuk bisa berganti-ganti pacar misalnya. Betapa bodohnya aku yang menganggap dirimu begitu mencintaiku. Itulah kenapa aku masih selalu bertahan dan memendam cintaku padamu,” tambahnya kemudian.
Pengakuanku pada Jeassy mungkin suatu kebodohan. Tapi aku juga merasa lega telah mengungkapkan itu semua. Setelah ini aku merasa yakin, Jeassy bisa lebih mantap menjalani rumah tangganya yang masih panjang. Sebagai cinta pertamanya, aku memang punya tempat yang sangat khusus di hatinya, tapi itu adalah masa lalu.
Sebaliknya, kini aku mungkin yang harus menerima kenyataan pahit. Rumah tangga yang kujalani sangat tragis. Pernikahanku seolah hanya sebuah status. Bahkan meski aku telah memiliki anak di kota, tapi istriku kini tak tinggal lagi bersamaku. Ia telah kembali bersama orang tuanya meski kami masih berada dalam ikatan sebagai suami istri. Itulah mengapa mudik kali ini aku tak bisa mengajak keluargaku pulang kampung. Tapi aku mencoba menutupi dari semua orang, termasuk Jeassy. Jika aku harus menceritakan pengakuan itu, selain aku ingin melihat Jeassy bahagia, aku juga ingin mengurangi dosa-dosa dan segala kesalahan-kesalahanku di masa lalu pada orang-orang yang masih sangat mencintaiku dan menganggapku lelaki yang baik dan setia. Sesungguhnya bukan hanya pada Jeassy, tapi juga pada yang lainnya.
“Selamat berbahagia Jeas. Biarkan kini aku menjalani takdirku.” Bisikku dalam hati. [*]

Biodata: Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Saat ini bergiat di sanggar Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS). Juga aktif di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang (KSI). Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya termuat di sejumlah media massa seperti Batam Pos, Riau Pos, Lampung Pos, Sumut Pos, Bangka Pos, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Rakyat Sumbar, Magelang Ekspress, Palembang Ekspress, Padang Ekspress, Solo Pos, Radar Mojokerto, Kabar Priangan, dan Rakyat Sultra. Sejumlah karya lain termuat dalam beberapa antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), dan Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019).

Rate this article!
Cerpen: Sebuah Pengakuan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: