Champions Bukan el-Clasico

Karikatur SepakbolaPUNCAK liga Champions (Eropa) bakal diselenggarakan di stadion Olympia, Berlin (Jerman), Minggu akhir pekan ini. Dipastikan bakal ditonton lebih dari 1 miliar pecinta bola di seluruh dunia. Semuanya (penyelenggara maupun penonton) merasa beruntung, karena final bukan pertandingan el-clasico. Tersingkirnya Real Madrid, juga sebagai “kutukan” terhadap juara bertahan Liga Champions. Tiada yang dapat meraihnya secara berturut-turut, selama seperempat abad ini.
Real Madrid, pernah menjadi juara lima kali berturut-turut (totalnya sepuluh kali) pada awal ajang Champions, tahun 1955-56 sampai tahun 1959-1960. Begitu pula Ajax Amsterdam, pernah tiga kali berturut-turut (1970-1971 sampai 1972-1973). Juara bertahan berakhir pada klub AC Milan (1989-1990). Setelah itu tiada yang mampu mempertahankan gelar juara. Juventus, yang akan maju menantang Barcelona, sebenarnya pernah tiga kali berturut-turut masuk final (1996, 1997 dan 1998). Namun hanya sekali juara (1996).
Tidak indah manakala final liga Champions hanya didominasi oleh klub-klub dari satu negara, walau final el-clasico sekalipun. Sebagaimana terjadi pada tahun 2012-2013) lalu yang menampilkan All German Final. Pertandingan antara Bayern Muenchen melawan Borussia Dortmund, nampak bagai Bundesliga (Jerman). Karena itu stadion Wembley, London (Inggris), tidak melimpah ruah. Rating siar televisi merosot drastis.   Penghasilan UEFA (Asosiasi Sepakbola Eropa) berkurang.
Hal yang sama juga terjadi pada final liga Champions tahun lalu, bahkan satu kota. Yakni, antara Real Madrid melawan Atletico Madrid. Stadion da-Luz, Lisboa (Portugal) sepi. Pertandingan sepakbola, harus diakui, bukan sekadar even olahraga, melainkan juga momentum selebrasi, hiburan dengan ketrampilan olahraga. Sehingga hadirnya bintang lapangan sangat berpengaruh pada minat menonton. Semakin banyak bintang sepakbola hadir di lapangan (bermain), maka penonton semakin banyak.
Televisi pun makin gencar memburu hak tayang, meski harus megeluarkan biaya puluhan milyar rupiah. Harga mahal hak tayang disebabkan hanya sekitar 5% penonton mengikuti jalannya pertandingan on the spot di stadion. Selebihnya, 95% mengikuti pertandingan melalui siaran televisi gratis maupun channel berbayar. Nonton di stadion, harga tiket saat ini ditawarkan senilai Rp 31 juta-an sampai Rp 52 jutaan. Padahal (yang paling murah) aslinya hanya 70,- euro (sekitar Rp 1 juta).
Kapasita stadion Olympia Berlin, diperkirakan menampung 71 ribu penonton. Sebanyak 46 ribu tiket dilepas untuk penonton umum, termasuk suporter masing-masing kesebelasan dijatah 20 ribu lembar. Ini sudah habis diborong fans fanatik Barcelona dan Juventus. Sisanya, 6 ribu lembar untuk penonton dari luar Spanyol dan  Italia. Sedangkan sekitar 25 ribu tiket diberikann untuk jatah panitia penyelenggara, UEFA, undangan, dan wartawan (media cetak dan elektronika).
Final liga Champions 2014-2015 kali ini disebut-sebut yang paling akbar. Hiruk pikuknya melebihi final tahun 1985, ketika Juventus mengalahkan Liverpool (1-0). Namun kemenangan itu harus “ditebus” dengan hilangnya 39 jiwa suporter Juve, akibat aksi brutal hooligans suporter Liverpool. Ekses insiden itu, FIFA menghukum seluruh tim Inggris berlaga pada ajang Eropa selama lima tahun.
Juventus, kini bagai mendekati makna nama klub, masa muda. Juve, ibaratnya baru saja  “bangun” panjang terlelap oleh Intermilan dan AC Milan. Juve baru bangun pada serie-A pada musim 2011-2012, dan menjadi juara sampai 2014-2015. Sejarah ajang final Champions, menunjukkan bahwa Juve bukan pendatang baru. Sudah 7 kali (5 kali runner-up) dengan 2 kali juara (tahun 1995-1996 serta 1984-1985). Tetapi harus diakui, bakal lawannya, Barcelona FC lebih sering juara (3 kali) plus 3 kali runner-up.
Konon, el-Barca lebih diunggulkan. Namun seperti semi final lalu, Juventus “merusak” keuangan bandar judi dengan menumbangkan Real Madrid.

                                                                                                           ——– 000 ———-

Rate this article!
Tags: