Code of Silence dalam Kasus ‘Polisi Tembak Polisi’

Oleh :
Wahyu Kuncoro
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya; Sedang menyelesaikan program Doktoral (S3) Ilmu Sosial Universitas Airlangga.

Sebanyak 25 polisi yang diduga menghambat pengungkapan kasus Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J dimutasi. Ke-25 polisi itu diduga melanggar kode etik berkaitan penanganan kasus kematian Brigadir J.
“Terhadap 25 personel yang saat ini telah dilakukan pemeriksaan, kita akan menjalankan proses pemeriksaan terkait dengan pelanggaran kode etik. Dan tentunya apabila ditemukan adanya proses pidana, kita juga akan memproses pidana yang dimaksud,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Kompas, Kamis (4/7)
Langkah tegas yang dilakukan Polri tersebut bisa jadi mengobati kegelisahn publik sekaligus menjawab sejumlah pertanyaan bahwa ada pihak-pihak di internal Polri yang diduga menghalangi pengungkapan kasus tersebut. Pertanyaan publik tersebut sungguh tidak berlebihan mengingat banyak kejanggalan-kejanggalan yang terlihat terkait dengan beberapa informasi yang disampaikan oleh pihak kepolisian di awal awal kasus.
Kasus ‘polisi tembak polisi’ yang terjadi di rumah Kadiv Propam Polri yang saat itu dijabat Irjen Pol Ferdy Sambo (sekarang sudah dimutasi) memang sangat menarik perhatian masyarakat. Menarik karena sejumlah hal, di antaranya waktu kejadian, lokasi kejadian, kronologis kejadian, dan para pihak yang terlibat dalam insiden berdarah yang menewaskan Brigadir J itu. Anehnya, penjelsan awal yang disampaikan pihak kepolisian saat itu dianggap janggal dan dipaksakan. Selanjutnya, beredar banyak komentar, analisis di ruang publik yang mengkritisi kronologis kejadian versi kepolisian.
Liarnya komentar dan analisis yang membanjir media sosial bisa jadi juga ikut memantik jajaran Kepolisian untuk mengungkap kasus ini secara terang benderang. Bagaimanapun, upaya menutup-nutupi kasus ini sebagaimana yang nampak di awal tidak mungkin lagi dilanjutkan. Hal itu hanya akan membuat citra dan reputasi polri yang bisa berada dalam bahaya.

Fenomena Code of Silence
Dalam kajian psikologi forensik menemukan fenomena yang disebut sebagai code of silence atau kode keheningan. A code of silence is a condition in effect when a person opts to withhold what is believed to be vital or important information voluntarily or involuntarily. The code of silence is usually either kept because of threat of force, or danger to oneself, or being branded as a traitor or an outcast within the unit.
Fenomena ini marak terjadi di berbagai institusi kepolisian di banyak negara. Code of slience ditandai oleh kecenderungan sesama polisi untuk menutupi kesalahan sesama kolega, baik itu melindungi atasan, menjaga nama baik institusi, hingga memastikan kepercayaan masyarakat. Sayangnya, tujuan baik itu kerap dilakukan dengan cara keliru dengan code of silence. Langkah Kapolri memutasi 25 Polri karena menghalang-halangi pengungkapan kasus tersebut semakin menegaskan praktik code of silence di kepolisian. Dengan demikian, tugas Kepolisan berikutnya adalah mengungkap kasus ini sejelas-jelasnya.
Keberadaan code of silence pada organisasi kepolisian atau lembaga apapun tentu akan menghadirkan budaya negatif yang kronis dan bisa merusak norma aturan yang berlaku berupa kode etik (ethic code) dan kode pelaksanaan tugas (code of conduct) bagi organisasi. Polri harus secara serius menyikapi gejala atau tanda-tanda (symptom) tersebut dan hal ini harus dilawan dengan prosedur penegakan hukum secara konsisten dan mengembangkan budaya transparansi serta kontrol.
Code of silence menjadi paradigma yang memperkuat tumbuhnya budaya-budaya negatif lainnya seperti praktik korupsi yang terjadi di institusi dan atau penyimpangan lainnya. Tumbuhnya budaya ini tidak lain karena lemahnya sistem kontrol dari dalam organisasi kepolisian (internal) maupun maupun sistem kontrol (external) publik.
Begitu riuhnya dunia media sosial dalam konteks kasus ini tentu bisa dimaknai ikut menjadi kontrol yang baik, karena siapapun kita tidak bisa bermain-main dengan informasi. Orang atau institusi tidak lagi bisa menyembunyikan fakta. Publik dengan ditopang teknologi yang mampu menerobos sisi – sisi privasi kehidupan membuat fakta dan informasi memang harus disampaikan secara apa adanya tanpa bisa direkayasa ataupun dimanipulasi.
Keberadaan kejahatan atau penyimpangan di sebuah institusi termasuk di kepolisian menjadi semakin rusak bahkan bertambah parah dengan adanya code of silence, karena di hampir semua aktivitas kepolisian sangat berkaitan erat dengan fungsi-fungsi otoritas kekuasaan sebagaimana disebutkan diatas. Tumbuh suburnya kerusakan pada system-sistem di kepolisian adalah karena sebagian besar petugas memegang dan mempedomani code of silence sebagai sebuah kehormatan dan jati diri yang sebenarnya salah arah. Karena Institusi kepolisian memiliki code of conduct dan code of ethic yang menjadi dasar dan pedoman bertindak.
Dalam praktiknya, code of silence dilakukan dengan didasari oleh saling tahu, saling menjaga, saling melindungi. Pola hubungan code of silence ini berlaku dalam berbagai jenjang tingkat kepangkatan, baik antar sesama, antara senior dan junior, maupun antar bawahan dan atasan.
Hal tersebut menjadi suatu kebiasaan yang terpola dan berlangsung terus menerus, sehingga menjadi virus akut yang terus tumbuh subur menyebar ke seluruh sistem dalam tubuh organisasi. Jika organisasi polisi sudah seperti ini, maka yang terjadi adalah ketidakefisienan (inefficient), ketidakefektifan (ineffective) ketidakpercayaan (untrusted), tidak dapat diandalkan (unreliable) dan pada akhirnya menjadi beban bagi stakeholder-nya, yaitu masyarakat dan negara.
Bukanlah hal yang mudah memang, untuk memerangi budaya code of silence dalam berbagai bentuk kasus kejahatan yang terjadi di sebuah institusi termasuk misalnya di kepolisian telah terjadi dan perlu menjadi kesadaran bersama bahayanya jika hal ini terus berlangsung tanpa mekanisme sistem kontrol, baik internal maupun eksternal. Hal ini terjadi karena lemahnya profesionalisme dan mentalitas petugas yang dihadapkan pada berbagai tuntutan dan tantangan lingkungan.

Pertaruhan Polri
Polri sebagai institusi Pemerintah yang bertanggung jawab pada publik, harus mempercepat dan memperluas diseminasi aturan-aturan internal Polri terkait mekanisme keterbukaan informasi publik yang menjangkau seluruh satuan kerjanya. Selain itu pelatihan keterampilan memberikan pelayanan informasi kepada publik juga harus segera dilakukan.
Akan sangat berisiko jika pihak kepolisian pada proses penyidikan kasus ini ternyata tidak transparan dan independen. Kerja bareng tim khusus gabungan dari internal dan eksternal Polri (Kompolnas dan Komnas HAM) menjadi modal baik untuk memenuhi unsur keterbukaan dan independensi ini.
Kasus ini memang rumit dan berat. Lantaran itu nama besar institusi Polri tentu harus yang diselamatkan. Kapolri terbukti sudah secara tegas memberi sanksi jajaran internal Polri yang diduga menghalang-halangi pengungkapan kasus. Namun itu saja jelas tidak cukup. Publik masih menunggu langkah berikutnya sehingga tabir yang menutupi kasus ‘polisi tembak polisi’ ini segara bisa terbuka terang benderang. Kasus ini adalah pertaruhan citra Polri.
Pengungkapan secara tuntas dan transparan kasus tembak-menembak ini akan mengangkat citra kepolisian sebagai penegak hukum, pengayom masyarakat, dan penjaga ketertiban umum. Jika kasus internal ini gagal diselesaikan, lantas bagaimana nanti dengan kasus-kasus berat lainnya? Yang paling kita takutkan adalah jika kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian sebagai lembaga penegak hukum terus menurun. Akan semakin marak aksi main hakim sendiri, hukum rimba, pengadilan jalanan, dan sebagainya.
Kita tidak berharap itu terjadi karena akibatnya bisa fatal. Karena itu, kasus ini adalah momentum pembuktian bahwa Polri benar-benar bekerja profesional, independen, dan presisi.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

—— *** ——–

Tags: