Covid-19 dan Pesta Pora Elit Politik

Oleh :
Abdus Salam
Penulis adalah Direktur Kedai Jambu Institute dan Sedang menempuh S3 Sosiologi Universitas Brawijaya Malang

Tidak ada makan siang gratis, istilah ini sudah mafhum dalam realitas politik negeri ini. Demokrasi liberal berimplikasi terhadap ongkos politik yang sangat mahal. Dan pada giliranya, elit politik tidak sedikitpun ada ruang dalam pikirannya untuk mensejahterakan rakyat, yang terjadi adalah bagaimana mengembalikan dana saat proses kontestasi politik dalam perebutan kekuasaan.

Fakta itu membenarkan analisisnya Firmanzah dalam bukunya Marketing Politik (2012) Firmanzah menjelaskan bahwa untuk memenangkan pertarungan kontestasi politik kekuasaan, rakyat tidak bertanya tentang visi misi para kontestan, atau bertanya tentang apa yang akan dilakukan setelah menjadi anggota legislative atau kepala daerah bahkan pemimpin nasional. Rakyat bertanya berapa gizi atau uang yang dimikili oleh kontestan tersebut.

Rendahnya nalar dan daya kritis masyarakat diakibatkan karena mandulnya bahkan tidak berfungsinya partai politik. Pendidikan politik yang sejatinya melakukan edukasi, penyadaran tentang hak dan kewajiban rakyat mengenai pentingnya partisipasi politik dalam momentum rotasi kekuasaan dan kepemimpinan nyaris tidak dilakukan oleh partai politik. Tragisnya, hal itu sengaja dibiarkan oleh partai politik agar rakyat mudah dimobilisasi untuk kepentingan politik jangka pendek

Politik kekuasaan identik dengan gizi politik, jika tidak memiliki sumber daya dan gizi politik jangan berharap akan memenangkan pertarungan dalam perebutan kursi empuk kekuasaan. Jika ada politisi atau baru menjadi politisi bermimpi untuk meruntuhkan mitos bahwa integritas politik akan mengalahkan politik isi tas atau gizi politik, sungguh memiliki cita-cita mulya dan halusinasi di luar mainstream tentang wabah pragmatisme politik yang menggerogoti negeri ini.

Pragmatisme politik telah menjadi perilaku elit politik negeri ini. Hal ini terjadi lantaran rakyat budaya politiknya masih rendah. Meminjam Bahasa Gabriel A. Almond dan Sidney Verba bahwa budaya politik rakyat terjerembab ke dalam tiga hal. Pertama Budaya politik parokial, yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Kedua Budaya politik kaula atau subyek, yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju tetapi masih bersifat pasif. Ketiga Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Selama partai politik itu sakit, maka budaya politik yang partisipan tidak akan menjadi pilihan politik rakta. Rakyat hanya menjadi korban bagi elit politik dan partai politik yang mengalami disfungsi dan disorientasi. Partai politik yang memiliki tugas utama dalam melakukan pendidikan politik tidak pernah dilakukan. Keberadaanya hanya bisa dilihat setiap momentum konstestasi politik kekuasaan seperti Pilkada, Pileg dan Piplres.

Cita-cita politik sebagaimana yang didambakan oleh pemikir politik klasik Abu al-Hasan Ali bin Habib al-Mawardi (974 -1058 M) atau yang lebih dikenal dengan Al-Mawardi bahwa politik adalah Al-imâmah maudh?’atun likhilafati al- nubuwwah fi ?irasati al-din wa siyasati al-dunya, kepemimpinan politik dilembagakan sebagai pengganti peran kenabian untuk melindungi agama dan mengatur urusan dunia (Syafie Maarif: 2). Cita-cita mulya itu saat disandingkan dengan realitas politik dewasa ini dalam tataran praksisnya politik telah menjlema seperti vampir yang sadis, bengis dan memangsa uang rakyat untuk kepentingan diri dan kelompoknya

Politik sudah mengalami pergeseran makna dan cita-cita. Regulasi yang memihak rakyat tidak lagi menjadi orientasi dan gerak langkah politisi kita. Politik kekuasaan telah menumpulkan bahkan membutakan nuraninya sebagai manusia. Dan pada gilirannya, menempatkan politik sebagai ajang pesta pora untuk menumpuk uang dilakukan dengan ragam cara.tidak perduli uang rakyat, tidak berpikir perilakunya akan menambah kesengsaraan rakyat

Covid-19 Dalam Lingkaran Korupsi

Satu tahun lebih negara dalam keadaan darurat pandemi. Ribuan orang meninggal lantaran terpapar corona virus disease (covid) 19. Sampai detik ini jumlah orang yang terpapar covid-19 semakin meningkat. Jika dirinci yakni yang Positif 2.053.995 orang yang sembuh 1.826.504 orang dan yang meninggal mencapai 55.949 orang (24/6/21) https://covid19.go.id

Duka publik tak bisa ditolak. Tidak hanya kehilangan sanak family dan handai tolan. Lebih dari itu, ratapan orang miskin lantaran kehilangan pekerjaan akibat terkena PHK tidak bisa dielakan. Lonjakan kemiskinan secara nasional akibat covid-19 sampai saat ini mencapai 27,55 Juta.

Bencana kemanusiaan yang mengakibatkan tatanan sosial menjadi morat marit dan ekonomi nasional roktok direspon oleh pemerintah. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menaikkan anggaran covid-19 dan pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada tahun 2021. Anggaran yang awalnya senilai Rp.619 Triliun naik menjadi Rp.627,9 triliun. (7/2/21)

Komitmen pemerintah untuk memulihkan perekonomian nasional tentu perlu diapresiasi. Akan tetapi di sisi lain bantuan sosial untuk orang miskin justru dikorupsi oleh pemerintah itu sendiri. Terbukti keterlibatan eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara yang menilap Bansos tak bisa dimungkiri. Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menduga bansos yang dikorupsi mencapai Rp.2.7 triliun ((15/6/21)sementara penyidik senior KPK Novel Baswedan dana bansos yang dikorupsi mencapai 100 triliun.

Politisi tuna moral dan miskin nurani tak sedikitpun bergeming dan memiliki empati terhadap penderitaan orang miskin. Di tengah-tengah duka publik dan derita orang miskin masih ada ruang untuk berbuat busuk seperti melakukan korupsi dana bansos. Syahwat politiknya untuk meraup keuntungan dari dana bansos telah melumuri nurani kemanusiannya.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: