Covid-19 dan Refleksi Relasi Manusia-Lingkungan

Husamah

Oleh:
Husamah, S.Pd., M.Pd.
(Pendidikan di Prodi Pendidikan Biologi FKIP UMM).

Wabah COVID-19 yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah menghentak dunia. Berdasarkan rilis situs yang saat ini menjadi jujugan utama pencari data, Worldometer (https://www.worldometers.info/coronavirus/, dimiliki oleh Dadax, sebuah lembaga independen), update terakhir 20 Maret 2020- 00:35 GMT, jumlah kasus di dunia 244.979, 10.035, sembuh 87.408. COVID-19 telah menjadi pandemi di 179 negara di dunia dan 1 international conveyance (kapal pesiar Diamond Princess berlabuh di Yokohama, Jepang).
Di Indonesia, jumlah pasien positif berdasarkan rilis tim Pemerintah Pusat untuk penanganan virus corona per Kamis (19/3) pukul 12.00 WIB, bertambah menjadi 309 orang, dengan 25 orang di antaranya meninggal dunia. Angka kasus di Indonesia memiliki grafik yang terus menanjak, menyalip Negara-negara yang lebih dulu melaporkan adanya kasus. Persentase pasien COVID-19 yang meninggal di Indonesia mencapai sekitar 8 persen (di atas Italia yang memiliki angka kasus sebanyak 41,035).
Kita selalu berharap agar wabah ini segera berlalu, mendukung setiap upaya tim yang bertugas untuk memerangi wabah, dan sembari melakukan tindakan preventif mandiri (misal dengan social distancing, isolasi, peningkatan imunitas tubuh, dan terus menjaga kebersihan). Bukan saatnya lagi berdebat atas kelalaian, keterlambatan, dan kegagapan para pengambil kebijakan. Sementara itu, sebagai umat beragama yang memiliki keyakinan teguh bahwa ada Zat Yang Maha Kuasa kita harus terus berdo’a, meminta ampun, dan melakukan refleksi untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian. Maka, dalam konteks ini saya mencoba untuk menariknya dari sisi relasi manusia dengan lingkungan.
Wajah buruk relasi manusia-lingkungan
Beberapa ilmuwan telah mencoba mengkaji perubahan hubungan manusia-alam dan dalam tatanan lebih lanjut mencoba melihat dampaknya terhadap kesehatan manusia. Dalam konteks itu, Valentine Seymour dari University College London, London, UK (Frontiers Public Health, 4:260, 2016), misalnya menyediakan rambu-rambu bahwa kajian itu tidak boleh parsial yang dapat mengabaikan sumber-sumber penting lainnya serta kompleksitas yang ada antara keterkaitan, arah sebab akibat, proses, dan hubungan tersebut. Keduanya saling mempengaruhi.
Salah satu masalah global yang menjadi fokus utama saat ini adalah masalah lingkungan. Kesimpulan ini bisa kita lihat dalam artikel yang ditulis oleh Bick et al (2018), Nash et al (2019), serta Singh and Singh (2017). Hasil survei dan studi komprehensif yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) tentang ancaman global yang dihadapi dunia pada tahun 2017 menunjukkan bahwa ada masalah yang serius di bidang lingkungan dunia. Intensifikasi bahaya lingkungan adalah salah satu dari beberapa masalah utama masalah yang akan dihadapi oleh populasi dunia dalam 10 tahun ke depan. Hasil survei WEF (2017) tentang keberlanjutan negara dinilai dari aspek Lingkungan, Sosial, dan Pemerintah (ESG) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 54 dari 65 negara, yang berarti bahwa keberlanjutan negara Indonesia masih sangat rendah.
Secara global, dunia juga memiliki masalah sosial-ilmiah yang serupa, terkait dengan kasus limbah dan polusi. Kerusakan lingkungan akibat penambangan illegal, polusi (air, tanah, udara), konversi lahan, serta kebakaran hutan dan lahan. Pada titik ini, laju problematika lingkungan seakan tidak terhenti dan sangat sukar untuk dicari solusinya. Di sinilah sangat tampak, betapa buruknya dampak aneka “aktivitas manusia” terhadap lingkungan.
“Sisi positif” dari wabah COVID-19
Wabah COVID-19 membuat kehidupan seakan melambat. Jalan, tempat wisata, lembaga pendidikan, dan pusat-pusat keramaian di berbagai belahan dunia menjadi sepi. Adanya kebijakan lockdown dan social distancing menyebabkan ruang gerak menjadi menyempit. Sebagian besar orang lebih memilih tinggal di rumah, bekerja di rumah, dan hanya sesekali ke tempat kerja, itu pun bila terpaksa. Sebagian besar hanya menghabiskan hari-harinya dengan ber-media sosial (medsos).
Adakah sisi poritifnya? Ada. Saya mencoba mereview berbagai berita dari harian atau website ternama, sebagai upaya memastikan itu bukanlah ‘hoax”. Catherine Clifford dari CNBC (Mar 18, 2020) menulis bahwa gambar satelit terbaru dari NASA di China juga menunjukkan menurunnya polusi udara secara signifikan, karena menurunnya aktivitas transportasi dan manufaktur. Debby Withe dari New York Post (March 18, 2020), lewat artikel berjudul “Coronavirus may have saved thousands by reducing air pollution”, juga menguatkan hal tersebut. Marshall Burke, Ahli kualitas udara, memperkirakan bahwa di China saja, mengurangi pengurangan emisi berbahaya “telah menyelamatkan nyawa 4.000 anak di bawah lima tahun dan 73.000 orang dewasa, khususnya manula.” Berita ini juga dirilis oleh https://www.sciencealert.com/.
Data yang diperoleh dari satelit European Space Agency (ESA) menunjukkan tingkat NO2 telah berkurang tajam di Italia utara, wilayah yang menjadi pusat infeksi COVID-19 di negara iu (Kumpuran, 17 Maret 2020). Saluran air Venice yang biasanya gelap dan keruh telah berubah menjadi lebih jernih. Air terlihat lebih jernih karena lebih sedikit lalu lintas di kanal, memungkinkan endapan tetap di dasar (CNBC/Mar 18, 2020).
Pemerintah China juga telah menetapkan aturan bahwa perdagangan satwa liar adalah illegal. Hal ini setelah beberapa pakar mengatakan bahwa virus ini berasal dari hewan liar yang dikonsumsi oleh masyarakat China. Tentu ini menjadi kabar baik, terutama karena China adalah Negara dengan tingkat perdagangan satwa liar terbesar di dunia. Angkanya mencapai jutaan. Indonesia adalah salah satu Negara penyuplai. Mengutip dari Mongabay.co.id (14/03/2020), sepuluh tahun terakhir, sebanyak 26 ribu trenggiling dari Indonesia diselundupkan ke China. Hal tersebut diungkap Database and Analysis Officer Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia, Yunita Dwi Setyorini, dalam sebuah acara di Jakarta.
Akhirnya, tentu kita berharap wabah COVID-19 ini segera berakhir. Dan kitapun berharap masalah lingkungan juga terus berkurang. Sehingga, pasca wabah ini sudah seharunya kita menata ulang relasi kita dengan lingkungan. Gaya hidup cinta lingkungan harus dikedepankan. Hidup harmonis dan selaras dengan alam adalah solusi jangka panjang, yang perlu melibatkan semua pihak, tanpa terkecuali. Wallaahua’alam bisshowab.
————- *** —————

Tags: