Covid-19 dan Resistensi Sosial

Oleh:
Untung Dwiharjo
Peneliti Pada Lembaga Filantropi di Surabaya, Alumnus Fisip Unair

Wabah pendemi Covid-19 telah melanda hampir seluruh negara di di dunia ini. Virus ini tidak memandang negara kaya atau negara miskin semua ikut terimbas. Korban jutaan manusia pun ikut terpapar virus mematikan tersebut. Tidak terkecuali negara kita Indonesia. Korban dari masyarakat bawah sampai atas, dari masyarakat biasa sampai pejabat. Tidak terkecuali tenaga medis pun i ikut tumbang dalam usaha mereka untuk menyelamatkan pasien yang terpapar covid-19 ini.
Kini dampaknya tidak hanya aspek korban jiwa dari yang terpapar virus Covid-19 ini. Tapi juga sektor ekonomi dan keuangan masyarakat juga ikut terpuruk seiring pendemi Covid-19. Para pekerja harian seperti ojek online ( ojol), pedagang asongan, Pedagang kaki lima (PKL), dan pedagang di pasar tradisional. Demikian juga sektor ritel perdagangan modern pun ikut lumpuh. Mal-mal di kota besar sepi dari pembeli atau banyak yang sudah ditutup. Karena adanya anjuran untuk tinggal di rumah dan jaga jarak sosial (social distancing). Omset para pedagang terjun bebas sampai hampir nihil pemasukan. Dengarlah keluh kesah pedagang di sentra kuliner di salah salah satu bilangan di Surabaya bahwa dari tadinya yang sebelum Covid-19 setiap hari ada 1500-2000 pembeli sekarang hanya satu orang dan hampir tiada pembeli yang datang. Sehingga dengan kesadaran sendiri mereka menutup lapak warung mereka.
Tidak hanya dampak ekonomi saja yang dirasakan masyarakat akibat covid19 ini, dampak sosial juga miris kalau kita mendengar dan membaca berita di berbagai media baik cetak mapun elektronik. Dampak sosial yang paling nyata adalah penolakan masyarakat terhadap para korban Covid -19 untuk dimakamkan di daerah mereka. Mu lai daerah Sidoarjo (Jawa Timur), Ciamis (Jawa Barat), dan beberapa daerah di Luar Jawa. Penolakan terhadap Korban Covid-19 yang membuat kita sangat terkejut adalah penolakan seorang perawat yang meninggal karena merawat corban Covid-19 yang telah meninggal dunia di Semarang – Jawa Tengah oleh warga sekitar tempat pemakaman. Sehingga almarhum perawat tersebut pemakamannya di pindah. Padahal perawat tersebut telah mengorbankan segalanya untuk merawat pasien Covid-19 termasuk nyawa mereka. Sungguh suatu tragedi yang sangat memilukan.
Resistensi Sosial
Gejala penolakan (Resistensi) sosial terhadap pemakaman para korban Covid-19 ini sungguh sangat mencemaskan kita semua. Para korban Covid-19 harusnya diperlakukan secara wajar atau tidak ditolak ketika mereka di makamkan di pemakaman sekitar mereka tinggal, karena jenazah mereka telah melalui prosedur penanganan jenasah sesuai Protokol Covid-19. Sehingga sebenarnya tidak akan menularkan virus tersebut ke lingkungan sekitarnya. Jauh-jauh hari sebenarnya penolakan sosial terhadap orang yang dianggap bisa menyebarkan virus mematikan ini sudah terjadi. Misalnya penolakan masyarakat terahadap perawat yang bekerja di rumah Sakit rujukan Covid -19, sehingga mereka terpaksa pindah kos atau kontrakan. Penolakan terhadap anak-anak tenaga medis yang menangani Covid-19 untuk ber main ke rumah tetangga. Karena mereka dianggap berbahaya sebagai pembawa Covid-19. Para korban Covid-19, paramedis yang menangani mereka dan keluarga mereka telah memperoleh label sebagai “orang haram” yang harus dijauhi dan dihindari. Sungguh suatu kondisi yang membuat kita prihatin dan terkejut dengan perlakuan masyarakat terhadap mereka semua. Meminjam bahasa Bang Haji Roma Irama dengan istilah “Terlalu”.
Jalan Keluar
Melihat Kondisi tersebut maka kiranya perlu pemerintah melalui gugus tugas Penanganan Covid-19 memberikan edukasi ke masyarakat bahwa pasien Covid – 19 yang meninggal tidak beresiko menularkan virus kepada lingkungan di sekitar makam karena ditangani sesuai dengan protokol Covid -19. Kampaye ini perlu dilakukan secara masif dan terus menerus sehingga bisa merubah pola pikir dan perilaku masyarakat terhadap pasien yang meninggal karena paparan virus Covid-19. Diharapkan dengan kampanye ini masyarakat tidak perlu takut dan dapat menerima apabila jenasah pasien Covid-19 akan dimakamkan di lingkungan mereka. Kampanye ini juga berlaku bagi pasien yang sembuh sehingga mereka tidak diperlakukan sebagai pembawa virus sehingga diisolasi dari pergaulan masyarakat. Kedua, Perlunya pihak pemerintah (provinsi/ kabupaten/ Kota) menyediakan pemakaman khusus bagi pasien Covid-19. Sehingga memberikan kepastian tempat kepada jenasah pasien – Covid-19 dimana mereka akan dimakamkan. Sehingga penolakan pemakaman jenasah korban Covid -19 oleh masyarakat tidak terjadi lagi. Semoga.

————— *** —————–

Rate this article!
Tags: