Cuaca Ekstrem, Harga Komoditas Laut Naik di Bojonegoro

salah satu pedagang ikan laut di pasar kota Bojonegoro sedang menjajakan dagangannya. (achmad basir/bhirawa)

(Nelayan Pasuruan Dilarang Melaut) 

Bojonegoro, Bhirawa
Cuaca ekstrem tak menentu itu mengganggu jadwal nelayan melaut, menyebabkan suppli ikan laut akan terganggu. Sejumlah pedagang di Bojonegoro, menyatakan harga berbagai jenis ikan laut mengalami sedikit kenaikan.
Data di peroleh di lapangan menyebutkan harga ikan tongkol atau tuna Rp 35 ribu per kilogram, cumi berkisar Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu per kilogram, dan nus berkisar Rp 30 ribu sampai Rp40 ribu per kilogram.
Sedangkan harga ikan salem Rp 35 ribu per kilogram, udang berkisar Rp 40 ribu per sampai Rp 80 ribu per kilogram, teri nasi Rp 50 ribu per kilogram dan putihan Rp 35 ribu per kilogram.
Menurut Yanto, salah satu pedagan Pasar kota Bojonegoro mengatakan, harga berbagai jenis ikan air tawar juga stabil, mulai lele Rp 20 ribu per kilogram, nila Rp 25 ribu per kilogram, gurami Rp 38 ribu per kilogram, bandeng Rp 25 ribu per kilogram, dan ikan gabus Rp 60 per kilogram.
” Pasokan ikan air tawar cenderung berkurang. Kemungkinan produksi di daerah penghasil Lamongan, juga lokal mulai berkurang akibat cauaca ektrem,” katanya.
Terpisah, Kabid Usaha Perikanan, Dinas Peternakan dan Peternakan (Disnakan) Bojonegoro, Imam Suprayogi mengatakan, meski cuaca ekstrem di laut cukup mempengaruhi nelayan dalam mencari ikan, namun pasokan ikan laut di Bojonegoro masih stabil.
“Stok ikan laut tetap ada seperti tongkol dan cumi, namun harganya mengalami sedikit kenaikan bekisar antara Rp 2 ribu perkilogramnya,” ucap Imam, kemarin (27/1)
Dirinya menuturkan pasokan Ikan laut setiap harinya mencapai sekitar 1,5 ton ke pedagang.
“Kalau pasokan ikan hasil budidaya setiap harinya mampu memasok 3 sampai 3,5 ton ke pedagang pasar,” terang Imam.
Adapun jenis ikan hasil budidaya itu seperti ikan Jambal, Lele, Nila, Tawes dan Gurami.
Pasalnya jenis ikan tersebut juga sangat mudah dalam pemeliharaannya, sehingga banyak orang di Bojonegoro mencoba untuk mengelolanya, terlebih saat masa panen datang ikan hasil panen tersebut banyak laku di pasaran.
“Meski cuaca tak menentu itu, pasokan ikan laut dipastikan tetap ada di pasaran, tapi ada kenaikan harga,” pungkasnya.
Larang Melaut
Cuaca ekstrim disertai gelombang tinggi air laut membuat KSOP (Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan) mengeluarkan larangan keras bagi nelayan untuk sementara tidak boleh melaut.
Pelaksana Harian (PH) Kepala KSOP Pasuruan, Doddy Suryana menyampaikan larangan keras itu dikarenakan cuaca ekstrim melanda laut Pasuruan hingga laut Jawa hingga menyebabkan ketinggian gelombang air laut mencapai 4 meter.
“Segala aktifitas nelayan untuk mencari ikan dilaut dilarang. Menyusul gelombang air laut sangat tinggi hingga mencapai 4 meter lebih. Larangan ini tentu demi keselamatan bersama, terutama keselamatan nelayan,” ujar Doddy Suryana, Minggu (27/1).
Menurutnya, larangan melaut sudah dikeluarkan sejak adanya maklumat pelayaran dari Dirjen Hubla Kementerian Perhubungan RI, 20 Januari lalu dan berlaku hingga 26 Januari serta akan dievaluasi sesuai kondisi cuaca.
“Hari ini masih dilarang melaut. Selama larangan ini masih berlaku, kami tidak mengeluarkan surat persetujuan berlayar. Jika masih ada dan terlihat melaut, maka itu kami pastikan tak mengantongi ijin dari kami, alias ilegal,” jelas Doddy Suryana.
Pantauan Bhirawa di lokasi, puluhan kapal milik nelayan pesisir utara di Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan tengah disandarkan atau diparkir disepanjang Pelabuhan di Kota Pasuruan. Aktifitas nelayan tak melaut adalah memperbaiki perahu dan jaring hingga kerja apa adanya.
“Hanya memperbaiki perahu dan jaring ikan selama tak melaut. Untuk kebutuhan sehari-hari alhamdulillah cukup, karena saya ada tabungan sedikit. Saat gelombang tinggi seperti ini, saya pakai uang itu,” kata Harso, nelayan asal Panggungrejo, Kota Pasuruan. Berbeda diucapkan Baidi, warga Ngeplakrejo, Kota Pasuruan. Saat gelombang tinggi menerpa laut Jawa, ia lebih memilih ke luar Kota Pasuruan untuk bekerja serabutan. Hal itu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Kalau gelombang tinggi, biasanya hampir dua minggu lebih. Dan jika itu terjadi maka saya putuskan bekerja serabutan. Misalnya jadi kuli bangunan atau lainnya. Terpenting, bisa menafkahi anak istri saya. Itu terjadi terhadap ratusan nelayan di pesisir Kota Pasuruan,” kata Baidi, nelayan lainnya. [bas.hil]

Tags: