Daftar Sekolah (terasa) Mahal

foto ilustrasi

Tahun ajaran baru akan segera dimulai, tetapi masih banyak orangtua tidak mampu mendaftarkan anaknya. Maka pemerintah daerah (provinsi serta kabupaten dan kota) mesti mengawasi benar seluruh lembaga pendidikan. Terutama sekolah tingkat lanjutan (SLTP dan SLTA) yang menjadi tanggungjawabnya. Sejak awal bulan Juli, banyak pegadaian dan toko emas diserbu ibu-ibu. Ini menjadi masa paling sibuk ke-ekonomi-an orangtua, dan meningkatkan belanja rumahtangga.
Proses Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) sudah dilakukan. Selain persyaratan hasil Unas dan Usek, juga menggunakan tes potensi akademik (TPA). Sebab, tidak semua peserta didik cukup “beruntung” saat menjalani Unas maupun Usek, karena berbagai faktor. Termasuk kendala kesehatan, serta tidak mampu mengikuti bimbel (bimbingan belajar) bertarif mahal. Maka TPA bisa membuka kesempatan pada murid dengan potensi akademik lebih tinggi.
Namun perekonomian keluarga, menjadi faktor utama PPDB. Sehingga awal tahun ajaran baru menjadi beban berat perekonomian. Di seluruh Indonesia, lebih dari 7,5 juta peserta didik telah sukses mengikuti ujian nasional (Unas) SMP dan Usek (Ujian Sekolah, SD). Sebagian terbesarnya (80%) diperkirakan bakal melanjutkan. Tetapi sisanya, sekitar 1,5 juta anak, tidak dapat melanjutkan sekolah. Rata-rata penyebabnya karena kesulitan ekonomi orangtua.
Jawa Timur, berada di urutan ketiga tingkat pendidikan nasional. Dibawah Jakarta, dan Yogyakarta. Berdasarkan catatan APM (Angka Partisipasi Murni) Jawa Timur, masih cukup banyak yang putus sekolah. Yakni, masih lebih dari 240 ribu anak usia SMP (12-15 tahun) tidak bersekolah. Sedangkan anak usia SLTA (16-18 tahun) yang tidak bersekolah masih sebanyak 800-an ribu anak. Karena itu rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Jawa Timur masih 8,1 tahun.
Artinya, rata-rata pendidikan warga Jawa Timur sampai kelas 2 SMP. Belum mencerminkan keberhasilan amanat konstitusi. Pemerintah Daerah “berhutang” amanat wajib belajar 9 tahun, sebagaimana amanat UU 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Lebih lagi terdapat amanat UUD pasal 31 ayat (4) tentang anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD. Saat ini beberapa Pemda masih bebal, karena mengira alokasi anggaran pendidikan terlalu besar.
Padahal, andai ditaati, pastilah problem pendidikan bisa diselesaikan dengan baik. Bahkan banyak pula lulusan SD dan SMP tahun ini, terpaksa langsung bekerja untuk menyokong perekonomian keluarga. Sudah banyak daerah (antaralain Surabaya, Kota Malang, Kota Bandung, serta seluruh Jakarta) sudah memulai wajib belajar 12 tahun. Serta pemberian KIP (Kartu Indonesia Pintar). Namun di daerah lain terjadi penambahan putus sekolah.
Diantara penyebab putus sekolah, adalah perekonomian keluarga makin jeblok. Selain itu, penyebaran KIP belum merata, dan ter-indikasi nepotisme di tingkat desa serta  kelurahan. Banyak sanak keluarga kerabat perangkat kampung (RT, RW dan Kelurahan) mampu memperoleh KIP. Padahal perekonomiannya berkecukupuan. Sebaliknya, banyak keluarga miskin tidak memperoleh KIP karena tidak terdaftar.
Maka bulan (Juli) ini merupakan saat tepat Pemerintah Daerah mengawasi pembagian KIP. Boleh jadi, akan banyak peserta didik lulusan SD, SMP dan MTs tidak dapat melanjutkan sekolah. Karena itu diperlukan validasi data penerima KIP, serta data penerima BOS dan Bosda. Sebab, selama dua tahun, niscaya terjadi perubahan tingkat perekonomian keluarga. Juga perlu pendampingan tim independen validasi, untuk menghindari nepotisme pemberian beasiswa.
Terasa ironi, manakala konstitusi (UUD) telah menjamin biaya pendidikan, tetapi masih sangat banyak anak tidak dapat melanjutkan sekolah. Menyebabkan Indonesia berada pada peringkat ke-enam tingkat pembangunan manusia di ASEAN. Jika sistem pemberian beasiswa dari APBN (dan APBD) berjalan baik, maka tragedi putus sekolah bisa dicegah.

                                                                                                                   ———   000   ———  

Rate this article!
Tags: