Dampak Resentralisasi Pengelolaan SMK

mojibur-rohmanOleh:
Mojibur Rohman M.Pd
Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Kejuruan Universitas Negeri Malang

Perubahan terbaru UU Pemda memberikan mandat kepada pemerintah provinsi untuk mengambil alih pengelolaan SMK. Apa saja konsekuensinya? Unas SMK tahun ini menjadi pemungkas bagi pemkab/ pemkot. Dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, yang direvisi lewat Perppu No 2/2014, telah dibagi dengan jelas urusan pendidikan yang ditangani pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Urusan wajib bidang pendidikan dasar dan menengah yang dulu menjadi tanggung jawab pemkab/ pemkot kini harus dibagi dengan provinsi. Kabupaten/kota berkewajiban mengurusi pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar (SD dan SMP), serta pendidikan nonformal.
Dengan kata lain, wajib belajar sembilan tahun menjadi fokus kabupaten/kota. Provinsi mendapat tugas baru mengurusi jenjang pendidikan menengah, yakni SMK. Pemerintah pusat mengelola pendidikan tinggi.
Musababnya, pemerintah menilai kabupaten/kota kurang berhasil dalam memajukanSMK tersebut. Hal itu terbaca dalam naskah akademik revisi UU Pemda tersebut. Ego kedaerahan yang berwujud pembatasan yang sangat ketat bagi siswa lintas kabupaten/kota menjadi salah satu contoh.
Lebih dari satu dekade penerapan otonomi daerah juga tidak mampu mendongkrak secara signifikan IPM (indeks pembangunan manusia) Indonesia. Masih sulit bagi negeri ini untuk menyalip peringkat IPM negeri jiran. Pada 2014, UNDP merilis, Singapura menempati ranking ke-9, Malaysia (ke-62), dan Thailand (ke-89). Kita masih di peringkat ke-108. Bandingkan dengan angka IPM 2002, yakni Singapura (ke-25), Malaysia (ke-59), Thailand (ke- 70), dan Indonesia (ke-110).
Beban anggaran kabupaten/ kota yang cenderung berat ke gaji pegawai (belanja tidak langsung) ikut mengurangi perhatian pada pelayanan pendidikan. Di sisi lain, pemerintah provinsi yang mempunyai relatif banyak uang malah tidak menangani secara khusus pelayanan dasar. Padahal, dinas pendidikan juga dibentuk di tingkat provinsi.
Pengambilalihan urusan SMK oleh pemprov tersebut bisa disebut resentralisasi yang moderat. Artinya, tidak serta-merta menarik kewenangan kabupaten/ kota ke pusat. Namun, ke satu unit pemerintahan di daerah, yakni pemerintah provinsi.
Tetapi, benarkah urusan pendidikan menengah akan lebih baik jika diurusi pemerintah provinsi? Semoga begitu. Namun, sebaiknya pemerintah belajar dari urusan yang sama, meski tidak serupa.
Kita berkaca, misalnya, pada pengelolaan jalan di daerah. Urusan jalan di daerah dibagi menjadi jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, dalam persepsi banyak warga, semua jalan tersebut merupakan tanggung jawab kabupaten/kota, pemerintah terdekat di depan mata. Karena itu, nyaris semua keluhan dan cercaan tentang kerusakan jalan dialamatkan kepada pemkab/ pemkot. Sangat jarang keluhan kondisi jalan di daerah dialamatkan ke”pemilik” masing-masing.
Pemkab/pemkot, sesuai kewenangan, hanya memperbaiki jalan-jalan yang menjadi tanggung jawabnya. Anggarannya pun hanya boleh digunakan sesuai dengan kewenangan. Konsekuensinya, semakin jauh jalan dengan “pemilik”-nya, respons perbaikannya semakin lambat. Birokrasi kita memang sangat kaku dalam mengikuti aturan (rule-based bureaucracy), antara lain, karena takut kriminalisasi inovasi.
Pemerintah pusat dan provinsi selama ini mengimbau agar pemkab/pemkot melaporkan jika ada kerusakan di jalan nasional maupun provinsi. Namun, kesukarelaan dan imbauan bukanlah prinsip pemerintahan (yang seharusnya memerintah). Sebagaimana diingatkan Max Weber, aturan kuat yang mengikat birokrasi membuat mereka seperti hidup dalam sangkar besi (iron cage).
Penyerahan pengelolaan SMK berisiko seperti urusan jalan di daerah. Jarak pemprov dari pelosok kabupaten/kota menjadi tantangan. Bayangkan, pemerintah provinsi yang berkantor di Surabaya mengurusi SMK yang berlokasi, misalnya, di kecamatan-kecamatan daerah Pacitan, Sumenep, Magetan, dan Banyuwangi.
Urusannya pun banyak. Mulai soal infrastruktur bangunan sekolah, alat belajar-mengajar, mutasi guru, hingga manajemen mutu pendidikan. Pengalihan urusan tersebut dibarengi serah terima personel, peralatan, pembiayaan, dan dokumentasi (P3D) dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi. Tidak ada lagi alokasi APBD kabupaten/ kota untuk SMK, melainkan didanai langsung dari APBN. Kamar mandi sekolah yang rusak, langit-langit kelas yang jebol, atau guru yang berkeliaran saat jam sekolah kini menjadi tanggung jawab provinsi.
Masa depan generasi penerus bangsa ini, yakni siswa SMK, dipertaruhkan dalam ingsutan besar kebijakan ini. Jika sekolah tempat mereka belajar dikelola dengan baik karena pengawasannya memadai dan standar mutunya terjaga, masa depan yang baik bisa diraih. Mutu SMK kota dan pelosok akan tidak jauh berbeda, unda-undi.
Namun, sebaliknya, jika pemerintah provinsi tidak responsif terhadap segala kebutuhan, tuntutan, dan masalah yang timbul di SMK daerah, hal tersebut berpotensi menjadi “bencana sosial”. Fenomena saling lempar tanggung jawab dan memerintah dalam “sangkar besi” soal pengelolaan jalan adalah fakta menahun tentang birokrasi.
Salah satu caranya adalah memperpendek rentang kendali (span of control), mendekatkan diri dalam arti jarak fisik dan tanggung jawab di kabupaten/kota. Karena itu, kehadiran kantor dinas pendidikan provinsi di sana sangat perlu. Tidak usah alergi meniru cara Orde Baru dengan Kanwil Depdikbud di tingkat kabupaten/ kota. Bedanya, “Kanwil Depdikbud” versi baru itu hanya mengurusi pendidikan menengah.
Problem Baru
Pengalihan urusan pendidikan menengah (SMK) dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi menimbulkan tantangan baru. Prinsipnya, semakin pendidikan itu terdesentralisasi, malah semakin baik. Karena itu, penarikan urusan pendidikan lebih jauh ke tingkat provinsi (resentralisasi) justru semakin menjauhkan tata kelolanya dari lingkungan sekitar.
Sekolah yang dominan tersebut telah mengakibatkan peserta didik semakin terasing dengan dunia nyata. Selain itu, materi ajar yang diberikan di sekolah sangat bias kelas menengah perkotaan. Sekolah secara tidak sadar menanamkan nilai-nilai bahwa hidup di perkotaan jauh lebih baik. Akibatnya, urbanisasi semakin tidak terbendung.
Pendidikan menengah utama SMK harus mampu mengakomodasi kebutuhan lokal yang sangat beragam. Untuk daerah perkebunan dan pertanian, misalnya, tidak seharusnya sekolah dimulai pukul 7 pagi dan pulang pukul 1 siang. Tetapi, bisa disesuaikan. Misalnya, buka pukul 10 pagi hingga pukul 4 sore. Dengan begitu, anak-anak di daerah tersebut masih bisa berinteraksi dengan lingkungan sosial dan tetap mempunyai cita-cita untuk bertani serta berkebun.
Justru, lewat sekolah, urbanisasi bisa dibendung. Dengan demikian, Indonesia tetap mempunyai petani dan peternak muda untuk mencapai ketahanan pangan. Sekarang regenerasi petani dan peternak semakin sulit dilakukan. Sekolah yang terlalu formal dan seragam justru akan mempersempit akses serta semakin jauh dari relevansi kebutuhan masyarakat.

                                                                                                             ———– *** ————

Rate this article!
Tags: