Dampak Stunting Terhadap Kecerdasan dan Ekonomi

Oleh :
Sutawi
Guru BesarUniversitas Muhammadiyah Malang

Indonesia diperkirakan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia pada beberapa dekade mendatang. PricewaterhouseCoopers (PwC)memprediksi ekonomi Indonesia masuk dalamlima besar dunia pada 2030, bahkan menjadi ke-4 negara dengan ekonomi terbesar dunia pada 2050. Pada tahun 2030-2050 Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi, di mana penduduk yang berusia produktif lebih banyak dibanding dengan penduduk usia tidak produktif. Dalam laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 318,96 juta pada 2045. Dari jumlah tersebut, penduduk usia produktif (15-64 tahun) diperkirakan mencapai 207,99 juta (65%), sedangkan penduduk usia tidak produktif mencapai 110,97 juta (35%), terdiri 44,99 juta penduduk usia tidak produktif (di atas 65 tahun) dan 65,98 juta penduduk usia belum produktif (0-14 tahun).

Pemanfaatan bonus demografi sebagai modal dasar membentuk kekuatan ekonomi terbesardunia menghadapi kendala berupa “stunting” (balita kerdil). Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0-59 bulan, di mana tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2 standar deviasi dari standar median Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). BKKBN menyebutkan sebanyak 1,2 juta (24%) di antara 5 juta kelahiran setiap tahun dalam kondisi stunting yang diukur melalui ukuran panjang tubuh tidak sampai 48 sentimeter dan berat badan tidak sampai 2,5 kilogram. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting masih berada pada angka 24,4% atau 5,33 juta balita. Angka ini lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan WHO yaitu kurang dari 20% jumlah balita. Persentase stunting Indonesia lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23%), Filipina (20%), Malaysia (17%), dan Thailand (16%). WHO menempatkan status Indonesia berada di urutan keempat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara terkait jumlah balita stunting. Penurunan prevalensi stunting merupakan program super prioritas pemerintah dengan target 3-3,5% setiap tahun, sehingga maksimum 14% pada tahun 2024.

Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian pemerintah saat ini karena dampak negatifnya sangat seriusterhadapkecerdasandanekonomi. Penderita stunting tidak hanya akan mengalami gagal tumbuh dengan daya tahan tubuh sangat buruk, namun juga memiliki tingkat kecerdasan (IQ, Intelligence Quotient) yang rendah. IQ menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir, mengingat, memahami, mengevaluasi, mengolah, menguasai lingkungan, dan bertindak secara terarah. Biasanya, IQ memiliki kaitan yang erat dengan intelektual, logika, kemampuan menganalisis, pemecahan masalah matematis, dan strategis. Menurut World Population Review 2022 rata-rata skor IQ penduduk Indonesia pada tahun 2022 hanya mencapai angka 78,49 (Tingkat IQ Rendah) dan menempati urutan ke-130 dari 199 negara di dunia. Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia berada di bawah peringkat Laos (80,99), Philipina (87,58), Brunei Darussalam (87,58), Malaysia (87,58), Thailand (88,87), Vietnam (89,53), Myanmar (91,18), Kamboja (99,75), dan Singapura (105,89).

Dampak negatif stunting terhadap kecerdasan anak telah dibuktikan oleh berbagai hasil penelitian. Berdasarkan pengalaman selama 20 tahun, Prof. Dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K) dari Fakultas Kedokteran UI mengungkapkan bahwa anak yang mengalami gizi buruk di bawah usia satu tahun, 25% berisiko memiliki tingkat kecerdasan di bawah 70, dan 40% lainnya berisiko memiliki IQ antara 71-90. Anak berusia 9-12 tahun yang mengalami stunting berisiko 9,226 kali lebih besar untuk memiliki nilai IQ di bawah rata-rata dibandingkan subyek yang berstatus gizi normal (Puspitasari, 2011). Kondisi stunting pada balita juga dapat menurunkan IQ sebesar 5-11 poin (Solihin, 2013). Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan UNICEF bahwa anak dengan kondisi stunting memiliki rata-rata IQ 11 poin lebih rendah dibandingkan rata-rata anak yang tidak stunting. Anak-anak stunting berisiko 4,57 kali untuk mendapatkan kecerdasan intelektual rata-rata ke bawah dibandingkan pada anak yang tidak stunting (Aurora dkk., 2020). Anak yang mengalami stunting memiliki skor IQ sebesar 59,09 dan anak yang tidak mengalami stunting memiliki skor IQ sebesar 71,57 (Pradita, 2009). Anak yang mengalami stunting pada dua tahun pertama kemungkinan 4,5 kali mendapatkan IQ rata-rata di bawah 89 dibandingkan dengan kecerdasan anak yang tidak mengalami stunting (Daracantika dkk., 2021).Persoalan rendahnya IQ anak stunting perlu mendapat perhatian serius bangsa Indonesia mengingat perkembangan dunia pada tahun 2030-2050 membutuhkan peran sumberdayamanusia yang tidak hanya sehat jasmani dan rohani, tetapi juga cerdasotak.

Stunting diyakini berdampak besar terhadap menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Bank Dunia (2016) menyatakan bahwa dalam jangka panjang stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2022 tercatat PDB Indonesia sebesar Rp 16.970 triliun, sehingga potensi kerugian akibat stunting mencapai Rp 339,4 – 509,1 triliun per tahun. Jika dibagi jumlah penduduk 273 juta, maka potensi kerugian ekonomi stunting mencapai Rp 1,243 – 1,865 juta/kapita/tahun. Jika dibagi pendapatan Rp 62,2 juta/kapita/tahun, maka kerugian stunting tersebut mencapai 2-3%daripendapatan per kapitapenduduk. Kerugianekonomiinidapatmemperlambatupayapengentasankemiskinan yang saatinimencapai 26,36juta (9,57%) dari 273 jutapenduduk.

Stunting dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia ketika berada pada usia produktifsebesar 2-9% (Horton, 1999). Hal iniberdampakterhadapsukses karir dan gaji di lingkungan pekerjaanbagipenderita stunting.Ketika dewasa, anak yang mengalami kondisi stunting berpeluang mendapatkan penghasilan 20% lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting.PenelitianGao dan Smyth (2010) di 12 kotadi China menunjukkan peningkatan tinggi badan sebanyak 1 cm dapat meningkatkan pendapatan sebesar 4,5% padalaki-lakidan 7,3% pada perempuan. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan seseorang dengan tinggi badan 6 feet atau 1,82 m rata-rata menghasilkan gaji selama 30 tahun berkarir sekitar USD 166.000 lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang dengan tinggi badan 5 feet 5 inci atau 1,55 m (Judge & Cable, 2004). Hal ini membuktikanbahwa tinggi badan seseorang memengaruhi jenis pekerjaan, produktivitas kerja, danpendapatannya.

——— *** ———-

Tags: