Dampak Teror Bom Terhadap Kesehatan Jiwa

Oleh :
M. Taufik Nurhuda
Ketua I Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat (Persakmi) Kota Pasuruan; Menempuh studi pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya

Serangan terorisme kembali terjadi di Indonesia. Pada hari Minggu (13/5) dan Senin (14/5) berturut-turut teror bom menyasar tiga gereja di Surabaya dan Mapolresta Surabaya pada keesokan harinya. Sejauh ini sudah 14 orang meninggal dan 41 orang luka-luka. Siapa pun pasti berduka, cemas, dan ikut terguncang mengikuti pemberitaan aksi teror yang di luar batas kemanusiaan tersebut. Walau sebagian besar tidak menjadi korban secara langsung, tapi rasa cemas mendadak timbul menghinggapi kita. Hal ini dikarenakan perasaan terancam dan kita merasa tidak punya kendali terhadap peristiwa tersebut. Para ahli psikologi menyebutnya sebagai phobia-teror. Ahli kejiwaan menyinggung bahwa menyebarkan ketakutan adalah tujuan utama teroris. Sebagai contoh dalam penyebaran foto korban, sama saja ikut andil menyebar ketakutan tersebut. Harus kita sadari bahwa tujuan teroris adalah menyebarkan ketakutan yang paling mendasar, yaitu takut mati. Jangankan membagikan gambar maupun video aksi terorisme, berlebihan membagikan kabar tentang hal itu saja sudah bisa memicu ketakutan. Rasa takut inilah yang merupakan gejala awal yang mempengaruhi gangguan kejiwaan dan mental yang sering terjadi di kalangan masyarakat kita.
Menurut World Health Organization (WHO), satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan mental atau neurologis dalam beberapa waktu di dalam hidup mereka. Publikasi yang sama menyebutkan sekitar 450 juta orang saat ini menderita gangguan mental, dan hampir 1 juta orang melakukan bunuh diri tiap tahun. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013, angka kejadian gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Angka yang cukup fantastis untuk menjadi masalah kesehatan jiwa.
Clausen mengatakan bahwa orang yang sehat jiwa adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai stresor (penyebab stres), serta dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas, makna, budaya, kepercayaan, agama, dan sebagainya. Kecenderungan kita secara manusiawi jika menghadapi bahaya mengancam adalah menghindar. Jika kita tidak bisa menghindar maka mekanisme adaptasi stres di dalam tubuh akan bereaksi dengan mengaktifkan sistem saraf otonom sebagai mekanisme tubuh berhadapan dengan stres. Reaksi tubuh tersebut tergambar dari gejala jantung berdebar atau berdegup lebih kencang, keluar keringat dingin, napas cepat, perut mual, pandangan kabur dan terkadang terjadi kejadian reaksi histerikal (berteriak-teriak sampai kehilangan kesadaran sesaat). Pada kondisi yang berat dan pada orang yang secara mekanisme adaptasi kurang baik, maka reaksi stres akut ini bisa berlangsung berhari-hari sampai sebulan. Jika kondisinya sudah mencapai sebulan maka bisa digolongkan sebagai Gangguan Stres Pasca Trauma. Pada Gangguan Stres Pasca Trauma biasanya akan disertai adanya kondisi merasakan kembali peristiwa (reexperience dan flashback), mimpi buruk, gejala-gejala reaksi akut yang tiba-tiba datang seperti di atas disebutkan dan bisa terjadi penurunan fungsi pribadi dan sosial yang terus berlangsung. Kondisi ini harus ditangani segera jika tidak ingin bisa semakin buruk dalam mengganggu fungsi pribadi dan sosial.
Terorisme muncul karena adanya persepsi terhadap nilai-nilai tertentu yang diyakini benar. Untuk mendukung kebenaran dan ketaatan atas nilai tersebut maka dilakukanlah cara-cara kekerasan, yang dianggap sebagai cara paling efektif. Pandangan terhadap suatu nilai merupakan ranah disiplin ilmu psikologi yang berhubungan erat dengan teori psikiatrik ketidaksehatan jiwa. Secara umum, hal yang menyebabkan teroris dianggap menderita ketidaksehatan jiwa adalah aksi teror dengan kekerasan bahkan hingga mengakibatkan korban jiwa termasuk jiwanya sendiri (bunuh diri). Teori Psikiatrik ketidaksehatan Jiwa juga menyatakan bahwa ketidaksehatan jiwa mendorong orang melakukan kekerasan yang ekstrim. Selain itu orang yang mempunyai perilaku fanatik akan berkarakter sadisme dan buas.
Dampak terorisme dalam kehidupan sosial sangat besar. Terorisme sebagai kejahatan sosial tentunya mempunyai dampak yang luar biasa. Tindakan terorisme seringkali diwujudkan dengan melakukan kekerasan dalam upaya menundukkan target operasinya (entri poin). Lebih jauh, tindakan tersebut tidak hanya melibatkan kedua belah pihak, akan tetapi juga melibatkan barbagai komponen masyarakat termasuk masyarakat sipil bahkan aparat kepolisian seperti yang kita alami di Mapolresta Surabaya kemarin.
Secara psikologis, terorisme yang disertai dengan kekerasan dapat menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat. Oleh karenanya mayarakat seringkali selalu dihantui ketakutan- ketakutan akan terorisme. Misalnya, pasca runtuhnya gedung kembar twin tower tahun 2001 di Amerika Serikat yang disinyalir melibatkan aktivis islam (Islamic movement) telah memunculkan respon negatif pada dunia islam. Striotip negatif inilah yang kemudian menjadi modal bagi sebagian pihak untuk selalu menjustifikasi islam teroris. Implikasinya, mereka senantiasa merasa risih dan terganggu atas kehadiran orang muslim (islamofobia). Begitu juga dengan kasus bom Bali yang terjadi pada paruh tahun 2002. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi ketika kasus pemboman di Surabaya baru-baru ini.
Menyikapi peristiwa teror tersebut walaupun meski kita merasa tidak berdaya menghadapi kejadian di sekitar, tapi kita bisa mengendalikan pikiran kita sehingga kecemasan itu tidak sampai mengganggu. Pertama, ambil jeda dalam mendapatkan berita. Kita memang jangan sampai ketinggalan berita dari sumber terpercaya, tapi ada kondisi yang disebut too much information. Saat ini kita terpapar informasi dari televisi, internet, media cetak, media sosial, dan juga grup percakapan. Berita dan informasi yang bertubi-tubi seputar peristiwa terorisme itu berdampak besar pada kondisi mental kita. Akibatnya kita akan menjadi cemas dan takut. Jika hal itu terjadi, sebaiknya ambil jeda untuk “tidak memberi makan otak dengan rasa takut”. Kedua, tetap lakukan rutinitas seperti biasa. Teorisme memang bukan hal sepele dan meningkatkan kewaspadaan memang perlu, tetapi menjalankan kehidupan secara normal bisa mengurangi rasa cemas. Ingat, tujuan utama para teroris itu adalah menciptakan ketakutan, jadi jangan berikan apa yang mereka mau. Ketiga, berusaha menerima ketidakpastian. Bila Anda merasa panik saat berada di tempat umum karena merasa akan ada serangan teror, mulailah untuk menerima ketidakpastian. Seberapa pun Anda menyiapkan diri, kemungkinan menjadi korban akan selalu ada. Sama halnya seperti Anda menjadi hadiah miliaran rupiah dari bank atau pun tersambar petir. Keempat, jika serangan teror telah terjadi menimpa anda, maka peristiwa ini bisa berpengaruh pada psikologis orang dalam berbagai bentuk, bahkan pada orang yang tidak ada di tempat kejadian atau tak punya hubungan dengan korban. Kebanyakan mencoba dengan keras untuk tak memikirkan kejadian itu agar perasaan lebih tenang. Hindari mengobati diri sendiri dengan obat-obatan tertentu setelah kejadian traumatik, tanpa konsultasi dengan dokter.
Akhirnya, selain mengintervensi faktor intern dalam diri kita dalam menghadapi teror agar tidak mengganggu kesehatan jiwa dan psikososial, maka faktor eksternal harus menjadi perhatian juga. Faktor eksternal disebabkan oleh aktivitas kelompok tertentu. Untuk mengatasinya, orang atau individu yang berpotensi melakukan aksi terorisme harus dipisahkan dari kelompok tersebut dan dibawa dalam kelompok atau lingkungan yang sehat. Pemerintah harus berperan aktif untuk melakukan deradikalisasi bagi orang yang sudah menganut paham radikal dengan melakukan pendekatan secara humanis dengan dukungan lingkungan yang sehat. Pemerintah juga harus melakukan kegiatan kontra radikalisme untuk membentengi paham radikalisme masuk ke dalam masyakarakat atau orang tertentu yang sedang mengalami krisis identitas.
———— *** ————-

Tags: